Aku meregangkan otot-otot leherku yang tegang, efek terlalu lama menatap laptop dengan posisi yang sama selama beberapa jam. Mataku juga sudah mulai perih jadi ku putuskan berhenti sebentar, mengistirahatkan netra.
Aku bangkit dan berjalan ke arah jendela kaca, menyibak gorden memperhatikan kucuran air hujan di luar sana. Hujan lebat disertai petir sesekali sudah berlangsung kira-kira dua jam.
"Lia!"
Aku menoleh ke arah suara,
"Aku pulang dulu ya, udah dijemput Ayang." pamit Loni membereskan mejanya.
"Oke." Ku acungkan jempolku
"Apa mau ikut pulang bareng?" tanya Loni saat aku melangkahkan kaki menuju mejaku kembali. Loni dijemput tunangannya dengan mobil tapi tujuan pulang kami tidak searah, aku tipe orang yang tidak suka merepotkan orang lain kecuali terpaksa jadi ku tolak ajakan Loni.
"Tanggung nih, dikit lagi selesai gambarku." sahutku beralasan lalu menghempaskan bokongku di kursi kerjaku.
"Ga papa nih? Sendirian loh."
Daguku menunjuk Leo, rekan kerja yang duduk di seberang ku, sedang mengetik di laptop.
"Masih ada Leo." kataku santai.
"Okey, gapapa nih, tah tinggal yah.. " Loni menegaskan kembali.
"Ya, eh desain mu udah kamu siapkan yah?" tanyaku cepat teringat sesuatu sebelum Loni keluar ruangan kerja ini.
"Udah ku kirim ke email mu." ucap Loni, "Lia, hati-hati yah banyak kejadian seram loh di kantor nih. " lanjutnya lalu terkekeh melihat wajahku yang seketika menegang.
"Yah termasuk kamu itu!" celetukku sebal.
"Ga percaya? Coba tanya Leo. " Loni masih menggodaku. Kayaknya senang sekali jika aku ketakutan. Heh! Biarpun ada rasa takutnya aku tak mau terlalu kentara di mata Loni.
'Udah pulang sana, entar ditinggal ayang-mu." Usirku mengibaskan tangan ke udara. Loni kembali terkekeh.
"Oke aku balik yah, Lia, Leo.. " Loni buru-buru pergi karena ponselnya sudah berdering, mungkin saja tunangannya yang nelpon. Leo hanya mengangkat tangannya.
Sekitar jam 17.50, Leo pun pamit pulang.
"Lia, ini perkiraan biaya pameran sama desain ruangannya." ucap Leo sambil menyerahkan proposalnya.
"Oke, makasih yah.. Besok kita tinjau tempatnya." usulku.
"Siap, aku mau pulang, kamu gimana? Dijemput Tio ga?" tanya Leo .
"Belum tahu nih, tadi ku chat masih centang satu."
"Apa mau ku antar?" Leo menawarkan diri.
"Ga usah deh, ku bisa pake jasa ojek. " senyumku.
Leo manggut-manggut, "Oke,hati-hati yah, Lia."
"Ya.. Bentar lagi ku pulang kok." Senyumku.
"Eh, Leo.. " panggilku. Leo yang hendak memutar handle pintu memutar balik tubuhnya menghadap ku.
"Ya....?" Dia mengernyit dahi karena aku masih diam ragu berucap.
"Ada apa, Lia? Kamu berubah pikiran? Mau kuantar?" tanyanya dengan wajah serius.
"Heem bukan itu, kata Loni.. " Aku menjeda, akh malu juga bertanya soal itu, ketahuan kan aku takut hantu.
"Oh itu? Udah ga usah dipikirin walau aku pernah alami itu." kata Leo, dia cepat tanggap juga.
"Hah? Serius?!" Mulutku langsung terbuka dengan mata yang membola saking kagetnya. Berarti Loni benar?
"Iya dulu sih, tapi yang kayak gitu jangan dipikiri lah, itu kan bisa terbentuk karena pikiran kita sendiri."
"Oooh gitu yah. .. " Aku manggut-manggut.
Namun entah kenapa tiba-tiba bulu kudukku meremang, apa ini akibat rasa takut maka aku merasa ada sesuatu tak kasat mata hadir di sini? Mataku memutar memperhatikan sekitar ruangan dengan perasaan ngeri.
"Hahhaha.... Lia, hanya becanda loh ga usah ditanggapi yah. " Leo mengedipkan mata sebelah. Dia tertawa mungkin aku terlihat lucu di matanya.
"Ck! Dasar kalian, kurang kerjaan!" dumelku memonyongkan bibir. Ini bisa dikategorikan tertawa di atas penderitaan orang lain'kan?
.
Leo tersenyum lebar, deretan gigi putihnya terlihat bagai iklan pasta gigi.
"Yah udah aku balik yah
" Aku mengangguk.
"Dari tadi ditawarin pulang bareng ga mau." katanya geleng - geleng kepala.
"Sekali-kali terima bantuan orang lain, Lia." sambungnya sembari melangkahkan kaki keluar dari pintu. Aku melirik sekilas lalu menghela napas. Aku bukan tak mau menerima bantuannya hanya saja aku menjaga jarak dengan laki-laki lain selain Tio. Aku kan menjaga perasaan Tio.
Sepeninggalan Leo, dalam kesendirian, tiba-tiba aku merasa bulu kudukku berdiri kembali.
Ah, ini mungkin hanya sugesti, batinku.
Namun makin ke sini kok makin merinding ya, mana aku sendirian lagi.
Sebaiknya ku coba call Tio lagi. Moga-moga dia bisa jemput aku.
Tuuut.. Tuut.
Nada dering masuk namun tak terjawab, mau kucoba sekali lagi tapi ku urungkan niatku, paling Tio sibuk.
Ting.
Notifikasi chat wa masuk dari Tio, k*****a dengan seksama.
Na, maaf yah aku lagi di luar kota, Lagi di jalan signal jelek.
"Pantesan, ga telpon balik. " Monologku.
Ya, sudahlah, aku harus mulai terbiasa tanpa Tio, kalau dulu selalu antar jemput aku, kali ini aku harus belajar maklum, Tio sudah tidak sekantor lagi dengan aku.
Masalahnya hujan belum berhenti juga. Mau sampai jam berapa aku nunggu di sini?
Perasaanku makin tidak enak nih, mending ku lanjutkan besok saja pekerjaanku ini padahal tinggal sedikit lagi kelar. Sesudah mematikan komputer, kubereskan berkas-berkas memasukkan ke dalam filling cabinet.
Kupastikan sekali lagi tidak ada yang tertinggal lalu aku siap pulang.
Kreeet!
Deg.
Suara apa itu ? Batinku was-was.
Bunyinya cukup terdengar jelas di telingaku. Bulu tengkuk leherku meremang. Pelan aku mengelusnya. Perasaan takut mulai menghinggapi membuatku semakin merinding saja.
.
Tak menunggu lama, kuraih tas ku langsung keluar dari ruang kerja dengan langkah lebar, pantang menoleh kanan kiri lagi lalu aku berjalan tergesa-gesa menuju pintu lift.
Baam!!
Langkahku terhenti demi mendengar suara keras itu!
"Astaga! Apa itu?!" Monologku. Jantungku berdebar kencang seperti orang yang habis marathon. Aku ingin menoleh tetapi rasa takutku lebih mendominasi jiwaku daripada rasa ingin tahu maka semakin kupercepat langkah tanpa menoleh kebelakang, setengah berlari menuju pintu lift. Sampai di sana aku mendengar suara derap langkah kaki yang semakin mendekat.
Tap.. Tap.. Tap.
Langkahnya seperti orang yang berjalan sambil menyeret kakinya. Fantasiku mulai bermain di otak kananku.
Jangan-jangan dia seorang psikopat yang membawa rantai? Suara kreeet yang kudengar tadi adalah bunyi gesekan rantainya? Bisa jadi kan?
"Ya, Tuhan, tolong aku!" Doaku sambil memencet tombol pintu lift dengan tangan gemetar dikarenakan aku sangat ketakutan.
Tiba-tiba gelap! Listrik mati! Astaga! Apes banget! Tapi untunglah aku belum berada di dalam lift. Tentu akan semakin mencekam di dalam sana. Namun, tetap saja di luar lift juga mengerikan, aku terjebak di dalam kantor dalam keadaan gelap gulita, hujan besar di luar sana, dan sedang dikejar-kejar orang! Aku sangat menyesal menolak ajakan pulang bareng Loni dan Leo. Mustinya aku sudah sampai tempat kost bukan terjebak di sini.
Aku segera menyalakan senter.ponselku, dengan cahaya yang minim aku berjalan cepat mencari ruang kantor yang tak terkunci sebagai tempat persembunyian.
Sampailah aku di depan pintu, entah ruangan siapa, aku sudah tak perduli yang penting aku bisa sembunyi dari orang yang mengejarku, belum sempat aku menekan handle pintu itu, tiba-tiba aku merasakan sentuhan di pundakku. Dalam imajinasiku, ini pasti tangan seseorang yang bertubuh tinggi besar. Apa dia akan mendekap mulutku sekarang? Oh, Tidak!
Ya Tuhan, tolong aku! Teriakku dalam hati, hampir menangis ketakutan.
Aku memejam mata, aku tak boleh mati konyol, aku harus melawan siapapun dia yang mau mencelakakanku.
Kukumpulkan keberanianku yang tercerai-berai lalu dengan sekuat tenaga kutepiskan tangan itu dari bahuku sambil membentak.
"Jangan sentuh aku!"
"Sss.. " Orang itu mendesis.
Mumpung dia masih kaget, aku berbalik dan kutendang sekuat tenaga, tendangan ku tepat sasaran karena orang itu langsung berteriak kencang.
"Aaaaauh!"
Suara itu seperti aku kenal? Bukankah itu...?
Sekonyong-konyong sekitarku menjadi terang benderang. Listrik nyala kembali!
Namun aku melongo tertegun di tempat, kulihat Pak Boss meringis kesakitan sambil membungkuk. Spontan aku menutup mulutku yang terbuka lebar.
"Astaga!Mmmmph... Ma.. Maaf. " cicitku dengan suara tertahan, aku panik apalagi kulihat wajahnya yang memerah menahan sakit.
Apa yang telah kulakukan? Aku hanya membela diri, apa aku bisa disalahkan?
Reflek aku ikut membungkuk hendak menolongnya, berniat menyentuh bagian yang sakit tapi dia mengibaskan tangannya ke udara. Aku baru tersadar melihat tangan kanannya yang memegang bagian yang sakit itu, di antara kedua pahanya yang merapat. Astaga! Untung belum ku sentuh! Tak heran dia menolaknya.
"Maaf, Pak.. Aku ga tahu itu bapak.. " cicitku lagi kembali berdiri tegak memberi jarak di antara kami.
Aku bingung harus bagaimana, ku gigit bibirku merasa bersalah telah melukainya.
"Kamu itu.. Ck!" Suara itu meninggi walau disertai ringisan.
"Maaf, Pak.. Aduh sakit sekali ya, Pak?"
Ck! Pertanyaan bodoh apa ini, jelas dia kesakitan kena tendangan high heels ku.
Beberapa menit kami berdiam diri, aku terpaku tak tahu harus berbuat apa. Aku gugup, jemariku meremas ujung rok.
Pak Messach perlahan berdiri tegak kembali.
Aku menunduk tak berani menatapnya, mata itu pasti menyala sekarang siap menghanguskan diriku.
"Kamu kenapa mau masuk ke ruanganku?!" tanyanya sengit.
Hah?
Aku reflek menoleh ke belakang, mataku membulat melihat tulisan yang menempel di pintu " Ruangan Direktur. "
Yah, ampun! Jadi tadi aku berusaha membuka pintu ruangannya?
Ku tatap sekilas wajahnya lalu cepat menundukkan kepala lagi. Terpekur menatap ubin lantai kantor. Aku takut dimarahi habis-habisan.
"Maaf, Pak.. Aku ga sengaja, aku takut dengar suara-suara seram tadi, aku pikir aku dikejar-kejar orang, mana mati lampu lagi... " Aduh, rasanya aku mau nangis, apa suaraku terdengar lirih?
"Ck! Kamu itu ada- ada saja! Tadi aku sedang di kamar mandi luar. Kamar mandi di dalam ruanganku itu kran airnya sedang bermasalah. Itu mungkin kali yang kamu dengar." urai Pak Boss.
Aku mendongak sedikit kepalaku, mataku hanya menatap dadanya saja.
"Itu kayak suara benda jatuh." sanggahku, melipat bibir.
"Ya itu suara ember jatuh ketendang dan aku jatuh terpeleset. Kakiku ini sakit ,jalanku jadi pincang. " jelasnya.
Aku tersenyum kecil. Ah, rupanya ini hanya salah paham saja.
"Kamu senyum-senyum, apa kamu udah puas nyakitin aku? Kaki sakit, ini sakit lagi!" Dia menunjuk ke arah selangkangannya.
"Oh enggak, Pak, bukan maksudku tertawain bapak.." Aku buru- buru menjawab dengan kepala menunduk dalam dan mata terpejam rapat saking takutnya disemprot lahar panas.
"Kalau bicara sama atasan, jangan menunduk! Apa aku punya muka seram?!" Hembusan napasnya serasa begitu dekat,
Pelan aku mengangkat kepalaku, takut-takut. Mataku membulat mendapati jarak kami yang hanya setengah meter. Sejak kapan dia berdiri sedekat ini?
Lalu tanpa sengaja mata kami beradu pandang. Sinar matanya itu ternyata sangat teduh, tidak seperti yang kubayangkan, menyala bagai api.
Serr! Kenapa hatiku jadi berdesir yah? Ck! Ku akui Pak Messach memang tampan bahkan dengan jarak begitu dekat aku dapat melihat lekukan wajahnya yang berhias senyum tipis.
Sadar, Liana! Kamu sedang berhadapan dengan atasan killer!
"Masuk ke ruanganku, kamu harus dihukum!" tegas Pak Messach.
"A.. Apa? Di... Dihukum, Pak?" Aku terkejut menelan ludah kasar. Wajahku menegang, kenapa aku merasa sedang berhadapan dengan kepala sekolah?
"Iya, kamu harus dihukum sudah bikin aku sakit begini! Kamu pantas dihukum!" ujarnya dengan senyum seringai.
Kenapa dia tersenyum seperti itu? Apa ini sisi lain dari Pak Messach? Oh! Jangan sampe!
"Aku.. Dihukum apa?" tanyaku memberanikan diri sembari melangkah ke samping memberi jalan buat Pak Messach. Pria itu tidak menjawab.
Jantungku berdebar, cobaan apa lagi ini? Di saat yang lain sudah rebahan di kasur empuk, aku malah masih di kantor menanti hukuman dari Pak Boss yang misterius. Akh! Ini semua akibat tendangan mautku.
Jangan sampai aku mengalami seperti para gadis di dalam novel yang sering k****a, yang dilecehkan atasannya bahkan sampai hamil.
Memang setahuku Pak Boss bukan type pria yang suka melecehkan pegawainya, bahkan ada rumours kalau dia itu gay tetapi bagaimana kalau dia berkepribadian ganda? Aku tetap harus waspada kan?
"Masuk, Liana!"
Keasyikan melamun aku tak sadar Pak Boss sudah berada di dalam ruangannya.
Baiklah, aku akan masuk ke dalam menghadapi resiko apapun. Seandainya pun pria itu mau macam-macam denganku, aku sudah tahu jurus menaklukkannya. Tendangan maut lagi!