"Kamu lucu sekali, Na! Hahaahahhhh.. Mrs. Doubfire?Huaaahaa..."
Gelak tawa Tio memenuhi ruangan cafe setelah aku menceritakan insiden-insiden tak sengaja nan memalukan dengan atasanku di kantor.
"Kamu kok bisa kentut di depan Boss mu? Huaaaa hahahha." Tawa Tio kembali bergema sambil mengusap rembesan air mata di sudut matanya.
Seketika beberapa orang yang ada di situ mengalihkan pandangannya ke arah kami, aku dan Tio yang sedang menghabiskan malam minggu di tempat itu.
Aku membulatkan mata dan merengut sebal. Tio tidak peka melihat situasi, masa di tempat yang ramai begini dia bisa tertawa terbahak-bahak membuat kami menjadi pusat perhatian orang-orang di ruangan cafe ini.
Lewat ekor mataku ku lihat beberapa orang senyum-senyum mendengar celotehan Tio, bahkan ada beberapa anak muda yang duduk di pojokan tak jauh dari tempat kami duduk, menutup mulut menahan tawa. Aku jadi semakin risih.
"Tio, jangan kencang-kencang ! Malu nih!?" desis ku dengan suara tertahan. Wajahku memanas merah padam mungkin lebih-lebih dari kepiting rebus.
"Sorry.. Hahahah.. Aku ga bisa nahan tawa.. " ujarnya di sela-sela cekikikannya.
"Tio, kamu kok anggap lucu sih. Kamu tahu ga ? Aku hampir mati tersedak loh.kalo ga ditolong Pak Mesaach." protes ku cemberut. Mengingat kembali kejadian itu membuatku merinding tapi Tio malah menganggapnya lucu bukannya berempati.
"Soalnya aku pernah nonton film itu semasa SD, emang lucu, Na. " Tio memberi alasan.
"Iya tapi kalo kata Loni, itu si Robin Williams kan nolong si pacar mantan istrinya. Nah aku kan cewe pasti malu dong ditolong dengan cara gitu sama Pak Boss, mana pelukannya kuat lagi sampe kancing kemeja ku terbuka loh. Belum lagi diliatin teman-teman." ujarku memperinci kejadiannya niat memancing kecemburuan Tio.
Namun, pria yang kucintai ini hanya tersenyum lebar, tak tersirat tanda-tanda ada api cemburu.
"Na, yang penting sekarang kamu ada di hadapanku, itu lebih dari cukup, aku ga kehilanganmu kan?" Tio melengkungkan kedua sudut bibirnya, hasilnya manis semanis kata -katanya.
Aku ikut tersenyum, iya sih Tio memang tipe cowo yang tidak suka mengumbar kecemburuan, seharusnya aku tak perlu khawatir kadar cinta nya kan? Biarpun kata orang kalau tidak cemburu artinya tidak cinta.
Tak lama kemudian seorang pramusaji wanita cantik berbalut rok ketat pendek mengantar pesanan kami lalu dia meletakkannya di atas meja sembari berkata, "Silahkan dinikmati...." Senyum manisnya.
Aku menganggukkan kepala begitu juga Tio tapi kerlingan mata kagumnya mengiringi langkah si gadis yang menjauh. Gadis itu memang cantik dengan bentuk tubuh yang sexy pasti menambah nilai plus, pria mana sih yang tidak kagum? Tapi walau begitu masa harus ditampakkan di depan pacar?
"Cantik dan sexy yah?" sindir ku seraya mengambil garpu dan pisau bersiap memotong steak ku.
"Iya, badannya bagus.. Sexy.." gumam Tio tak menampik.
Aku mengerucutkan bibir. Apa sekarang dia bakal membandingkan aku dengan gadis itu?
Ck! Alih-alih mau memancing kecemburuannya malah aku sendiri yang terpancing.
"Iya cowo emang suka yang sexy-sexy. " gerutuku sebal, menusuk daging steak dengan garpu, kasar.
Pria yang duduk di hadapanku ini terkekeh.
"Wajar dong, Na, yang cowo liat kan visualnya. Biasa mah itu, jangan insecure gitu dong! Kamu kalo mau juga bisa asal ga sering makan malam biar ga melar kayak sekarang." ujarnya tanpa sungkan.
Daging steak yang hampir masuk ke mulutku menggantung di udara, mulutku yang menganga pun mengatup kembali dan dengan perasaan kesal ku kembalikan ke piring. Nafsu makanku mendadak hilang! Jelas sudah dia mulai membanding-bandingkan aku dengan gadis pramusaji tadi.
"Maksudmu aku gemuk sekali ya?!"delik ku.
"Agak berisi aja." jawab Tio datar tapi sedetik kemudian keningnya mengernyit melihatku tidak jadi makan.
"Kok ga dimakan?" tanyanya menunjuk dengan dagu isi piring ku yang masih utuh.
"Mau jaga badan biar ga melar!" ketus ku mendorong piring agak ke tengah.
"Kamu ngambek, Na? Gitu aja kok ngambek sih." tukasnya lalu. memasukkan potongan steak ke mulutnya
"Cewe tuh pantang diomongin gemuk pas mau makan." Aku melipat tangan bertumpu pada meja, melengos ke samping kanan.
"Walah, hanya guyon loh. Kok jadi baperan sih.. ?!" Nada suaranya sedikit tinggi, jengkel barangkali.
Aku menghembuskan napas kasar. Tio sudah dua kali bilang aku gemuk selama kami pacaran enam tahun. Dulu dia tak pernah peduli dengan bentuk tubuhku yang melebar, kenapa sekarang kok jadi getol?
"Udahlah, Na. Jangan ngambek gitu, dimakan aja lah tuh. " Suaranya merendah.
"Hilang nafsu makan... " gumamku lirih menunduk menatap lesu sepiring steak itu.
"Kalau nafsu yang itu..?" tanyanya mengedipkan mata sebelah dan tersenyum nakal.
Aku mendongak, mataku membulat.
"Ck.. Dasar otak m***m!" Aku berdecak sebal.
Tio tertawa kecil.
"Sorry ya bikin kamu tersinggung, udahan ngambeknya, oke? Abis makan kita nonton ya?" bujuk Tio, lalu dengan garpu dia menyuapkan potongan kecil daging ke mulutku.
"Mau lagi?" tanyanya. Aku menggeleng sambil mengunyah daging steak itu.
"Udah, aku bisa sendiri." kataku lalu meraih piring berisi steak itu.
Baiklah! Aku tak boleh merusak suasana dengan menjadi sensitif. Sudah lama kami tidak kencan sejak sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Tio dengan jabatan manager di perusahaan baru dan aku dengan tugas penting dari Pak Boss. Baru kali ini setelah hampir sebulan tak bertemu, kami bisa menghabiskan waktu bersama lagi. Walaupun masih ada ganjalan karena celetukan Tio tadi, aku tak boleh terlalu memasukkannya ke dalam hati supaya tidak timbul pertengkaran-pertengkaran di antara kami.
Sesudah makan malam, kami berdua pergi menonton film.
Masih ada waktu dua puluh menit sebelum film dimulai, kami pun mencari camilan ringan.
"Bagi dua aja ya?" usulku saat Tio hendak memesan dua popcorn.
"Oke kalo gitu, " sahut Tio
Dia lalu memesan satu bungkus popcorn dan dua botol air mineral.
Aku duduk di bangku panjang sedangkan Tio menunggu antrian.
"Liana!" Seseorang memanggilku.
Aku menoleh ke arah suara, tampak olehku, Alena, sahabat sejak SMA datang mendekat.
"He? Kamu nonton juga? Sama sapa?" tanyanya celingak -celinguk.
Daguku menunjuk Tio yang sedang berjalan ke arah kami. Mata Alena mengikuti arah pandangku.
"Oh, sama Tio..?" Senyum tipisnya.
"Hai, Alena.. " sapa Tio mempersempit jarak.
"Hai juga." balas Alena.
"Lah, kamu sendiri sama siapa, Ale?" tanyaku balik seraya berdiri, kulihat dia hanya sendirian.
"Sama tunanganku, dia lagi antri crepes di luar."
"Ooh.Kamu nonton film apa?" tanya ku, siapa tahu sama, bisa bareng.
"Film horor." jawabnya enteng.
"Seleramu belum berubah yah, Ale. " Aku tergidik.
"Hahhaha kamu takut yah.. Justru itu seru loh. " Ale menertawakan ku.
"Bisa ga tidur dia kalo nonton film horor, Alena." timpal Tio.
"Kan seru yah kalau pasangan." senyum simpul Alena.
"Seru apanya.... " sanggah ku.
"Seru dong, pas takut tinggal meluk." seloroh Alena.
"Kalo mau peluk mah ga usah tunggu film horor kali." Tio ikut nimbrung sembari memberikan sebotol air mineral padaku lalu berdiri di sampingku.
"Iya sih, kalian pasangan abadi ni. Kapan nikahnya?" tanya Alena yang bikin hatiku berdenyut. Pertanyaan itu lagi!
Aku melirik Tio yang berdiri di samping kananku, dia hanya senyum-senyum saja.
"Oiya, kalian kayaknya barusan rayakan hari jadi yah?" tanya Alena.
Hari jadi? Kan bulan depan? Batinku.
"Ng.. Ga juga, masih lama kok" jelasku.
"Oh masa? Soalnya aku ketemu Tio di toko bunga tante aku, dia pesan buket bunga.. Ya kan Tio?" Alena menatap Tio. Tatapan matanya sulit diartikan.
"Oya? " Keningku berkerut heran karana merasa tidak menerima.
"Aku pikir Tio pesan buat kamu loh" kata Alena lagi angkat bahu.
"Emang iya? Kapan?" tanyaku bingung, memandang Alena dan Tio bergantian.
"Minggu lalu kan, Tio?" Alena tersenyum pada Tio. entah mengapa, feeling ku berkata kalau sahabatku ini menyimpan sesuatu. Bagiku senyumnya terlihat aneh.
Apalagi Tio, sikapnya jadi canggung dadakan. Dia mengelus tengkuk lehernya, mengurai senyum yang dipaksakan. Terlihat salah tingkah.
"Ng.. Begini, Na, aku emang ketemu Alena pas pesan buket itu tapi hmm.. Bukan buat kamu sih, kan hari jadi kita bulan depan. Itu pesanan papa aku buat mama buat ulang tahunnya." Tio memberi penjelasan yang bagiku malah semakin tidak nyambung.
"Ulang tahun? Perasaan ultah mamamu bulan Desember deh, masih lama..." Aku mengernyit dahi heran, tentu saja aku tahu kapan ultah calon mertuaku. Aku sering terlibat dalam acara keluarga besar Tio tiga tahun terakhir ini.
"Bukan hari lahir, Na tapi ultah nikahnya. " ralat Tio cepat, matanya memutar, tidak fokus padahal kami sedang berhadapan.
"Oh gitu... " dengusku.
"Iya!" tegasnya berusaha meyakinkan ku tetapi aku sudah terlanjur merasa ada yang janggal dengan sikap Tio, mengapa dia menghindari kontak mata dengan ku? Dia tidak sedang berbohong kan?
"Pantesan! Bunga mawar emang cocok buat pasangan. Tanda cinta!" celetuk Alena sembari memilin ujung rambut panjangnya. Sudut bibir kanannya terangkat dengan sorot mata tajam. Alena sedang tersenyum sinis? Tapi kenapa?
Aku tiba-tiba teringat obrolan kami via phone beberapa minggu lalu, jika ada hal penting yang mau dia sampaikan padaku, apakah itu ada hubungannya dengan Tio?
Kami memang tidak saling kontak lagi beberapa minggu ini karena kesibukan masing-masing. Alena harus konsentrasi mengurus t***k bengek persiapan pernikahannya dan aku sendiri juga sangat sibuk dengan pekerjaan. Aku juga sudah lupa.
Teringat kembali akan ucapan Alena waktu itu membuat jantungku berpacu lebih cepat.
Ku hela napas menenangkan diri.
Rasanya aku ingin menarik Alena menjauh dan minta dia menjelaskan apa maksud dari perkataannya itu tapi tidak mungkin karena pasti akan menyinggung perasaan Tio, maka ku telan saja rasa penasaran ini.
Sejurus kemudian tunangan Alena datang menghampiri, pria jangkung itu memeluk pinggang gadisnya lalu mereka pun pamit karena filmnya sebentar lagi akan di mulai.
Aku tidak begitu kenal dengan kekasih Alena, dia bukan satu angkatan denganku.
Aku dan Tio juga melangkah masuk ke dalam bioskop 21.
Di dalam bioskop dengan pencahayaan lampu remang-remang, aku duduk bersandar pada bahu Tio sambil ngemil popcorn. Iklan diputar sebelum masuk ke inti film.
"Tio.... " panggilku.
"Hmm." Tangannya membelai lenganku.
"Apa tahun ini akan ada kemajuan?"
"Maksudmu.. ?"
"Hubungan kita, Tio. Kamu bilang... "
"Iya! Aku ga lupa. Kamu yang sabar yah... " selanya sebelum aku selesai mengutarakan maksudku.
"Mama sampai ancam, katanya mau jodohkan aku sama duda kalo tahun ini kamu ga lamar aku... " adu ku, berharap Tio mau melaksanakan niatnya segera melamar ku karana ancaman mama.
"Kasih tahu dong kita sibuk kumpulin duit buat masa depan juga kan?!" Ada nada kesal dalam suaranya.
"Udah... " Kataku pasrah menggigit bibir bawahku. Aku jadi serba salah.
Film action comedy Jacky chan sudah diputar. Aku tak mau ganggu Tio lagi, dia sedang fokus nonton. Sekali-kali terdengar tawa penonton termasuk Tio karena adegan lucu Jacky chan sedangkan aku tidak konsentrasi, tak bisa menikmati setiap adegan film itu.
Aku terus berpikir dan berpikir di tengah keriuhan tawa para penonton.
Tio mulai menampakkan perubahan sejak bekerja di perusahaan baru.
Tio sering sulit dihubungi. Ini aja karena desakan aku yang ngotot mau bersua.
Tio memang sibuk tapi apa ga ada kangen-kangen nya sama aku?
Tio juga mulai suka kritik bentuk tubuhku? Asal tahu aja aku juga udah berusaha nurunin berat badan tapi kan ga bisa drastis melorot kan?
Dan yang terakhir ini, ada apa dengan buket bunga mawar? Kenapa yah aku merasakan dia salting, kayak ada yang disembunyikan.
Apa salah jika aku mulai mencurigai Tio?
Aku tak tahu harus bagaimana jika dia pindah hati karena aku....
"Araaagkh!! " teriakku mengeluarkan emosi negatif saking kesalnya pada diri sendiri.
Aduh! Aku koq lupa sedang berada di dalam bioskop!
Suaraku lumayan kencang sampai mengagetkan orang-orang yang duduk di sekitar kami. Mereka berdecak bahkan ada yang berdesis mengeluarkan kata norak.
"Kamu kenapa sih teriak?! Kayak orang nonton film horor aja! Orang lagi tertawa lucu kamu malah teriak!" ucap Tio menoleh ke arahku. Suaranya penuh penekanan, kaget juga kali dia.
"Aku mimpi buruk... " jawabku ngasal.
"Diajak nonton malah tidur, ck!" gerutu Tio, tatapan matanya kembali ke depan layar bioskop.
"Sorry.... " lirih suaraku.
Aku menegakkan punggungku, tak lagi bersandar di pundak Tio. Tangannya Tio juga sudah diturunkan tak lagi merangkulku.
Tio sangat menikmati film itu sedangkan aku merasa terasing, di dunia antah berantah dengan semrawut benang-benang kusut melilit otakku.
Tak lama kemudian film pun usai. Syukur lah jadi aku bisa cepat pulang.
Dalam perjalanan pulang dengan kendaraan roda empat milik Tio, aku duduk di samping Tio yang sedang menyetir mobilnya.
Ku lirik pria berwajah tampan itu yang diam seribu bahasa semenjak keluar dari gedung bioskop. Entah apa yang dipikirkannya aku tak mau duga-duga sebab aku sendiri sibuk dengan pikiranku sendiri. Otakku terus bekerja menarik benang merah dari setiap peristiwa yang telah lewat, menghubungkan satu persatu mencari titik pusat di antara keruwetan agar ketemu akar dari kondisi hubungan kami ini.
Sampailah kami di tempat kost ku. Mobil berhenti tepat di depan pagar kos-kosan. Aku membuka seatbelt tapi terasa sulit akhirnya aku dibantu sama Tio.
"Makasih... " ucapku tersenyum padanya.
Tio tiba-tiba membingkai wajahku, mataku melebar terkejut, belum hilang keterkejutan ku, bibirnya sudah menempel di bibirku, melumatnya pelan beberapa detik.
Lalu bisiknya di telingaku, "Na, malam ini inap di apartemenku yah?"
Aku menggeleng pelan.
"Kamu ga kepingin lagi?" Suaranya serak mungkin sedang menahan gejolak.
"Tio... " Aku mendesah lirih karena kurasakan tangan kirinya mengelus-elus paha dalamku.
"Aku mau kamu, Liana.. " bisiknya lalu bibirnya menempel di tekuk leherku, menyesapnya pelan membuat bulu kudukku meremang.
Dengan gemetar aku menyingkirkan tangannya yang mulai bergerilya di sekitar organ intim ku.
"Tio.. Plis hentikan!" pintaku susah payah menahan hasrat yang bergejolak di tubuhku.
"Ayo, sayang, kita tuntaskan di apartemenku atau di sini saja?" ajaknya sambil tangannya berusaha membuka kancing blusku.
"Tio.. Udah! Aku ga mau bikin dosa lagi!" seruku seraya mendorong dadanya yang menempel di dadaku. Apa jadinya jika aku nuruti keinginannya di sini? Bisa-bisa digrebek se- RT.
"Ck!" Tio menarik tubuhnya dan kembali ke posisi semula, duduk bersandar pada sandaran kursi mobil.
Aku menggigit bibir, dadaku naik turun, "Maafkan aku.. Aku ga bisa.. "
Tio membuang napas kasar lalu berkata, "Aku yang harusnya minta maaf."
"Aku.... "
"Kamu masuklah sudah malam! " titahnya.
"Kamu ga marah kan?" tanyaku takut-takut. Jujur aku takut sekali Tio marah dan meninggalkanku.
Tio terdiam sesaat lalu menoleh menatapku tersenyum.
"Liana, aku yang salah mengapa aku harus marah padamu?" Tio mengelus wajahku lembut membuat hatiku lebih tenang.
"Udah yah jangan banyak pikiran." Dia menyentil hidung bangir ku.
Aku mengangguk tersenyum tipis. Rasanya lega dia tidak marah.
Kring.. Kring..
Ponsel Tio berdering, dia merogoh benda segi empat itu dari kantong celananya.
"Oke... Aku segera ke sana yah..tunggu aku." Jawabnya pada si Penelepon sambil matanya menatapku.
"Okey sayang, aku pulang yah.. " pamitnya padaku sehabis menutup obrolannya dengan lawan bicaranya via phone.
"Ya, sampai jumpa sabtu depan ya " ucapku kemudian keluar dari mobil.
Sesudah itu mobil Tio pun berjalan dengan kecepetan sedang, sorot lampu mobilnya membelah kegelapan malam.
Aku melirik jam tangan di pergelangan tanganku yang menunjuk pukul 23.20, ternyata sudah larut malam.
Jam segini kemana Tio akan pergi? Siapa yang menelpon nya malam-malam begini? Batinku.
Ku tepis. perasaan curiga ku, jangan sampai meracuni pikiranku lagi
Tio masih bujangan, dia punya hak kumpul-kumpul dengan teman-temannya, ini juga malam minggu kan? Malam yang panjang bagi bujangan?
Ku langkahkan kaki masuk ke kamar kost ku. Aku sekali-kali menguap, mataku sudah lima watt. Aku mau rebahan di kasur empuk ku segera.
***