"Masuk!" Terdengar suara dari dalam ruangan sesudah aku mengetuk pintu ruang Pak Boss itu dua kali.
Sejenak ku hela napas panjang menenangkan diri sebelum handle pintu itu kutekan ke bawah dengan pelan. Akupun masuk dan menutup pintu kembali.
Tampak di hadapanku Pak Boss duduk di kursi kebesarannya. Dia menunjuk dengan dagu pada kursi yang ada di depannya. Aku mengangguk mengerti maksudnya.
Kutarik pelan kursi warna biru itu. Lewat sudut mata kulihat dia tidak melepaskan tatapannya daripadaku sepertinya dia sedang mengamati ku intens.
Apa dia takut aku jatuh lagi kayak kemarin? Batinku ge er.
"Maaf, Pak, agak telat... " kataku menunduk setelah bokongku menyentuh dudukan kursi.
Dia berdecak, mungkin masih kesal?
"Jadi? Kamu sudah punya ide buat meeting nanti?" tanyanya kemudian, to the point.
"Iya, Pak, nanti aku jabarkan pas meeting nanti." jawabku .
"Okay, masih ada satu bulan persiapan, aku harap kamu bisa kerja dengan cepat. Tahu kenapa aku memilih kamu jadi leader team?"
Aku mengangguk tegas meyakinkan Pak Boss jika pilihannya tak salah.
Harus percaya diri kan? Itu yang k*****a di buku motivasi.
"Kerja yang benar. Aku pengen tahu apa ide mu itu?" tanya Pak Boss mencondongkan tubuhnya. Wangi parfumnya melintasi indera penciumanku.
Aku hampir saja terhipnotis dengan bau parfumnya yang menyegarkan, cepat-cepat ku alihkan fokusku.
Aku segera membuka tas ku, mengeluarkan buku sketsa ku lalu memperlihatkannya pada Pak Messach.
"Pak, kira-kira ini ideku.. " jawabku sambil menyerahkan sketsaku. Dia meraihnya, jemarinya sedikit menyentuh punggung telapak tanganku. Terasa lembut. Aku rasa Pak Boss ini tidak pernah kerja kasar makanya kulit tangannya halus begitu.
Pria ini memiliki alis tebal, kelopak mata lebar, hidung mancung, bibir tipis, lesung pipinya terlihat jika tersenyum, belum lagi matanya yang kadang tajam dan teduh itu menghias wajah oval nya dengan sedikit garis keras di rahang.
Hm, aku mengamatinya diam-diam saat dia sedang memeriksa sketsaku. Tak ada salahnya kan menikmati ciptaan Tuhan?
Jujur sih pria di depanku ini sangat tampan, hanya saja terlihat angkuh apalagi jika sedang marah-marah makanya dia dijuluki Boss Killer. Pria model begini bukan tipe pria idamanku. Aku tidak suka pria sedingin salju, aku lebih nyaman dengan pria yang bisa membuat ku tertawa seperti Tio, kekasihku. Hm, Tio, apa kabarnya ya? Andai saja dia tahu aku rindu dirinya, aku rindu menghabiskan waktu seperti dulu lagi, aku rindu candaannya yang selalu menghiburku di kala aku stress dengan kerjaan.
"Liana,sebaiknya kamu merubah sedikit gambarmu.. "
"Liana!"
Mataku mengerjap, apa ada yang ku lewatkan?
"Kamu mendengar apa yang ku katakan tadi?"
Deg.
Apa ? Ini karena aku melamun sesaat, aku ga nyimak.
"Kamu tahu, aku kalo kerja itu selalu fokus! Gimana bisa dapat hasil baik jika fokus aja susah! Jadi kamu itu harus belajar fokus! Kamu punya potensi, hanya suka melamun!" cetus Pak Messach.
"Maaf, Pak.. " ucapku melipat bibir.
"Kerja ya kerja, urusan rumah jangan dibawa kerja, begitu pun sebaliknya!" Pak Messach membuang napas, membuang kekesalannya mungkin.
Aku mengangguk- anggukan kepala.. Apa yang dikatakannya tak salah, entahlah bila soal Tio, fokusku bisa mendadak lenyap.
"Yah, sudah! Jelaskan padaku programmu ini sebelum presentasi."
Lalu kami menghabiskan waktu setengah jam lebih membicarakan rencana progam pameran besar yang melibatkan perusahaan Jepang termasuk atribut yang akan dipakai di dalam acara tersebut.
Pak Messach kelihatan cukup puas dengan ideku, dia juga memberikan beberapa masukan. Sekarang tinggal mengeksekusinya setelah diadakan meeting beberapa kali nanti dengan teamku.
"Oke, kamu siapkan semua, jam sembilan kita meeting." ucap Pak Boss menyerahkan kembali sketsaku itu.
"Siap, Pak."
"Ingat pesan ku!"
Aku mengangguk lalu pamit kembali ke ruang kerjaku.
***
Di warung Bu Ijah yang tak jauh dari .kantor, tepatnya terletak di gang belakang gedung perkantoran itu, tempat aku dan Loni biasa menghabiskan waktu makan siang, aku duduk di hadapan teman kerja ku yang sedang lahap menikmati nasi campur andalan warung ini.
"Loni... "
"Hmm.. " Loni mendongak sambil memasukan satu suapan ke mulutnya. Alisnya terangkat.
"Nurut kamu presentasi ku tadi gimana, jujur yah.. " Aku meminta pendapat.
"Bagus koq.. Buat pemula udah cukup bagus." Dia mengacungkan jempolnya.
"Kadang-kadang aku takut loh ga bisa memuaskan Pak Boss apalagi ini event lumayan besar." kataku mengaduk es lemon tea
"Liana, kalo itu si Boss udah kasih kamu tanggung jawab artinya dia tahu potensi kamu."
"Tadi pagi dia juga bilang begitu, hanya katanya aku kurang fokus saja."
"Ya, aku sependapat. Aku yah heran kamu kadang-kadang suka melamun sejak Tio, pacarmu itu ga kerja di sini lagi." Loni mengelap mulutnya dengan tissue lalu menyesap teh manisnya.
Aku diam, meneguk teh lemonku.
"Liana, kamu fokus kerja dulu. Persoalanmu ama Tio tunda dulu mikirnya . Kalo kamu sukses di event ini jenjang karirmu bakal naik dan bisa jadi kamu dijadikan istri sama Boss."
"Iih.. Si Killer bukan tipeku, buat kamu aja." cibikku.
"Sayang dia ga mau sama aku.. " Loni memasang muka sedih.
Aku tertawa melihat mimik yang dibuatnya. Aku tahu dia bercanda karena Loni sendiri pun sudah punya pacar bahkan sudah berencana nikah setelah pacaran satu setengah tahun.
"Tapi heran yah, kenapa si Boss ga nikah-nikah yah? Dia gay ga sih?" Loni memelankan suaranya sambil menoleh kanan kiri takut ada yang dengar.
Aku menggidikkan bahu.
"Kayaknya ga sih, soalnya aku lihat dia udah mulai tertarik padamu, efek Mrs doubtfire. " ledeknya.
"Mulai deh.. " Aku melemparkan remasan tissue ke arahnya.
Dia terkekeh.
Akhir dari perbincangan singkat kami, aku menarik satu kesimpulan bahwa aku tidak boleh terlalu terbawa perasaan oleh karena kurangnya intensitas pertemuanku dengan Tio, pacar aku.
Aku dan Tio sama-sama meniti karir yang baru dimulai, semuanya demi masa depan kami juga supaya ketika kami memasuki area pernikahan, kami tak lagi dipusingkan dengan perkara finansial sebab kami sudah siap.
Biarlah hubungan kami berjalan apa adanya dulu, tokh aku dan Tio sudah saling mengenal, kesetiaan sudah teruji kan? Enam tahun bukan waktu yang singkat. Dan selama itu kami berdua tidak mengkhianati cinta kami. Hanya perkara waktu saja. Telat nikah sedikit bukan perkara luar biasa kan? Aku yakin koq someday Tio akan membawaku ke pelaminan, bisa saja kan bulan depan dia melamar ku? Mama yang cerewet akan ku atasi. Mama juga pasti mengerti jika saat ini karir ku sedang menanjak.
Namun di lubuk hatiku yang paling dalam, aku menyimpan satu rahasia, itu lah yang membuatku ketakutan ditinggalkan Tio. Tak ada satupun yang tahu ini, tidak teman, sahabat bahkan mamaku sendiri.
Aku hanya bisa berdoa setelah apa yang terjadi beberapa minggu lalu, Tio-ku masih Tio yang dulu, terlepas dari apapun kondisiku saat ini.
Faithful love.
*****