Bab 7. Biarkan Mengalir

995 Kata
Krinng.. Kring.. Kring. Aku terjaga dari tidur nyenyakku namun mataku masih terpejam, tanganku meraba-raba mencari ponsel hendak mematikan alarm yang berbunyi sejak tadi. Setelah ku dapati ponselku di bawah guling, mataku memicing melihat jam yang tertera di sudut layar ponselku. "Udah jam 5.05." gumamku malas karena aku masih ngantuk. "Ayo, Liana, bangkit!" "Bentar lagi, masih ngantuk... " "Kamu kan mau meeting hari ini" "Iya tahu! Berisik! Lima menit lagi!" "Terserah! Kalo kamu telat, Pak Messach... " What?! Satu nama itu mampu mengalahkan peperangan batinku. Secepat kilat aku terduduk meraih segelas air minum dan meneguknya. Rasa kering di mulut seketika hilang. Jangan sampai telat! Batinku sembari meraih handuk yang bertengger di sandaran kursi. Aku harus tampil beda hari ini soalnya semua mata akan tertuju padaku, batinku lagi seraya berjalan masuk ke kamar mandi. Kira-kira sepuluh menit di dalam sana dengan perasaan kesal. Betapa ga? Panggilan alam di pagi hari ini tidak berjalan lancar. Aku sudah menghabiskan waktu beberapa menit, duduk di atas jamban toilet tanpa hasil. Aduh! Kalo gini caranya bisa -bisa telat ke kantor, belum lagi kena macet mending aku setor di kantor aja, masih ada waktu kayaknya kalo aku berangkat lebih awal, batinku. Kemudian aku putuskan segera mandi dan sikat gigi setelah itu aku membuat sereal havermut dengan potongan alpukat untuk sarapan pagi ku. Hari ini aku ingin berpenampilan beda, kuputuskan memakai blazer hitam pendek dengan dalaman krah v warna krem dan celana bahan warna hitam. Aku suka warna hitam karena menyamarkan tubuhku yang sedikit gemuk. Lalu aku berdandan secantik mungkin tetapi tidak menor. Rambutku ku bikin girly kemudian ku ikat ke atas dengan jepitan mutiara. Selesai sudah. Aku tersenyum pada pantulan cermin. Puas dengan dandananku sendiri. Biasanya aku berangkat kerja dengan ojek motor, hari ini dengan grab mobil biar rambutku tidak berantakan. Jam tangan yang melingkar di lengan ku menunjukkan pukul 07.30 saat ku lirik ketika kakiku sudah menginjak halaman gedung perkantoran. Masih pagi, kantor masuk jam 8.30, masih ada waktu, batinku melangkahkan kaki mencari lift. Pada saat itulah perutku kembali mules melilit. Panggilan alam lagi. Ku percepat langkah menuju pintu lift. Kupencet tombol open lift lalu bergegas masuk ketika pintu lift terbuka. Aku merasa lega karena hanya aku sendiri di dalam lift. Ini kesempatanku membuang gas karena sudah sedari tadi kutahan. Saat aku hendak memencet tombol close pintu lift, ku dengar langkah kaki seseorang mendekat maka ku batalkan memencet tombol. Dan tebak siapa itu? Pak Messach! Pria berjas biru tua itu dengan wajah tampan kaku yang memiliki senyum mahal melangkah dengan gagahnya masuk ke dalam lift. Aduh, bagaimana ini? Aku sudah terlanjur membuang gas yang pasti mengeluarkan bau tak sedap. Semoga hidungnya tidak mencium bau itu, hanya wangi parfumku saja yang memenuhi ruang lift ini. "Selamat pagi, Pak.. " Sapaku tersenyum ramah sembari menganggukkan kepala. "Pagi.. " sapanya balik dengan suara datar lalu mengambil posisi berdiri di sampingku sedangkan aku bergeser sedikit ke kiri memberi jarak lebar di antara kami. Dia kemudian memencet tombol angka tujih, tempat kantor berada. Sesaat kami diam tak bersuara, lift pun perlahan menanjak naik. Aku melirik dengan ekor mataku dengan perasaan cemas. Jujur, aku sangat gelisah dikarenakan perutku semakin melilit saja ditambah aku harus menahan gas di dalam ususku ini yang ingin keluar lagi. Pak Messach mulai mendengus bau busuk yang belum hilang ini. Pria berlesung pipi itu lalu menggosok hidung mancungnya dengan jari telunjuk. Tindak-tanduknya dapat kulihat dari pantulan kaca dinding lift sedangkan aku pura-pura tidak mencium bau apapun. berusaha se normal mungkin. Aku berharap dia tidak menuduhku biarpun akulah pelakunya. "Liana, nanti kamu langsung ke ruang ku." katanya tiba-tiba dengan pandangan tetap ke depan. Sebenarnya aku lagi tak mau bicara karena sedang berkonsentrasi penuh menahan perut mules ku tetapi mau tak mau aku harus merespon perkataan Pak Boss. Tak bisa kudiamkan begitu saja'kan? "Yah, siap, Pak!" jawabku bersamaan dengan bunyi puuut yang cukup keras dan bau itu pun langung menyebar di ruangan lift. Ya,ampun! Aku kentut lagi, kali ini di depan boss! Rasanya aku ingin menghilang saja saking malunya. Duh Tuhan.. Kenapa terjadi lagi insiden memalukan? Pak Messach spontan menutup hidungnya dengan telapak tangan. Dia menoleh ke arahku, tatapan matanya yang menyala sukses membakar wajahku. Aku tercekat, menelan ludah dengan susah payah. Mau tak mau aku harus mengakuinya karena tidak ada siapapun di ruang lift ini selain kami berdua, yang bisa aku tuduh. "Ma.. Ma..af, Pak, " cicitku mirip bunyi tikus terjepit. Kugigit bibirku, meremas kuat tali tas kerjaku yang menggelantung di bahu untuk mengatasi kegugupanku. Takut disemprot lahar panas.. "Ck!" "Maaf, Pak. tak sengaja.." cicitku lagi menahan malu luar biasa. Dapat kulihat matanya yang melebar sempurna. "Kamu itu makan apa, Liana?!" celetuknya kesal. Belum sempat aku jawab, pintu lift sudah terbuka, dengan tergopoh-gopoh Pak Boss keluar dari lift disusul oleh aku. Atasan ku itu berjalan ke arah kanan dan aku ke arah kiri mencari toilet terdekat. Aku tidak tahu lagi harus berkata apa tentang kejadian ini. Selama aku kerja di sini tak sekalipun aku satu lift dengan Pak Messach dan baru kali ini kami bisa kebetulan berada di satu lift, Andaikata seperti cerita novel atau film drama Korea, seorang bos terpesona dengan penampilan pegawainya, dia menghirup parfum wangi yang melekat di tubuh pegawainya, pasti memberi kesan romantis. Tapi ini? Atasanku hampir muntah mencium bau gas yang ku keluarkan. Parfum wangi yang kupakai pun tak bisa menyamarkan bau busuk itu. Pasti dipikirannya aku seorang yang tak sopan, tak segan buang gas di depan atasan! Ini murni ketidaksengajaan, aku pun sudah sekuat tenaga menahannya tetapi lolos juga. Aku harus bagaimana? Ck! Mana aku harus bertemu dengannya lagi sebelum presentasiku. Mau taruh dimana muka ini, coba?! Ayo, Liana, jangan insecure! Abaikan hal memalukan ini! Kamu harus fokus! Batinku memotivasi diri. Aku memandang pantulan wajahku pada cermin wastafel di ruangan toilet setelah urusan panggilan alam ini usai. Aku memastikan diri sudah rapi dan memeriksa gigiku apa ada makanan yang terselip di sana lalu terakhir memoleskan lipstik merah muda tipis ke bibir mungil ku. "Oke, Liana! Semua sudah beres! Lupakan yang tadi, fokus kerja!" tegasku pada diri sendiri. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN