. Mataku tak mau diajak kompromi, padahal aku sudah mati-matian menahannya tapi tetap saja perlahan buka tutup, lagi dan lagi. Rasanya kelopak mata ini semakin ditahan semakin layu saja. Dan entah berapa kali sudah aku menguap. walau kututup mulut yang menganga ini dengan telapak tangan tetap saja gestur wajahku tak bisa dibohongi, ngantuk parah!
Apa aku tahan saja dengan lidi? Batinku kesal.
Andai aku berada di ranjang empuk tentu aku akan menarik selimut dan membenamkan diri di sana dan masuk ke alam mimpi.
Namun...
Aku sedang berada di ruang meeting di kantor!
Oh! s**t!
Menyadari itu cepat kutegaikkan kepalaku yang hampir lunglai ke samping kanan.
Mata malas ku memutar mencari seseorang yang barangkali juga sedang alami hal yang sama denganku? Adakah?
Oh! Ternyata teman kantorku yang ikut meeting ini semuanya sedang antusias mendengarkan kalimat-kalimat yang meluncur dari mulut Pak Bos Mr. Messakh " Killer " yang duduk di kursi "emas singgasana" dengan gagahnya laksana Raja yang sedang memberi tugas kepada para menterinya.
Hanya aku yang tidak bisa konsentrasi penuh. Oh OMG. Andai Pak Boss tahu maka aku akan...
Aku menggelengkan kepala cepat sebelum aku benar-benar masuk dunia mimpi. Kondisiku saat ini sangat rawan, hampir tak bisa membedakan yang nyata dan fantasi lagi.
Ku pijit memutar pelipis ku dengan jari telunjuk menstimulasi otakku bekerja extra. Fokus! Fokus!
Tapi yah ampun! Aku malah keenakan, dan terkantuk-kantuk lagi nih kepala.
Lenganku disikut seseorang.
Aku terkejut, tersadar dari kantuk. Sesaat mataku seketika terang, nyawaku kembali.
"Ngantuk?" bisik Loni pelan. Dia duduk di samping kananku.
Ku anggukan kepala, pasti dia dari tadi melirikku.
Aku mengulas senyum ketika tanpa sengaja mataku bertubrukan dengan si mata Killer saat aku menoleh ke arahnya. Aku mengangguk-anggukan kepala seolah mengerti apa yang dibicarakan tapi sebenarnya suaranya seperti dengung lebah di telingaku. Oh, God! Jangan sampai dia tahu aku tidak menyimak apa yang dikatakannya. Pantang bagi Boss killer ini jika di antara kami, pegawainya mengantuk saat meeting.
Tuk!
Pulpen yang kupegang jatuh, suaranya mungkin kalah dengan suara bariton Pak Messach tapi jelas aku menjatuhkannya karena si kantuk menyerang ku lagi. Ya ampun! Aku harus bagaimana ini?
Loni kembali menyikutku. Yah, Loni, sikut aku terus biar otakku kembali sadar.
"Liana? Pak Mess udah lirik kamu?!" bisiknya memberi peringatan.
Aku diam dan menunduk. Aku takut diteriakin Si Killer.
"Mau permen kopi? " bisik Loni lagi.
Permen kopi?
Yess! Kenapa dari tadi tak terpikirkan olehku? Mengunyah permen pasti mataku akan kembali terang 'kan? Lebih mudah fokus?
Aku mengangguk cepat. Loni merogoh kantong blazer-nya mengeluarkan satu permen berwarna coklat tua itu memberikan padaku secara diam-diam.
Aku meraih dan membukanya, suara kresek pun terdengar. Tapi aku tak peduli, segera kumasukkan si permen kopi ke mulut mungilku, permen penyelamatku?
Tiba-tiba.
"Liana!" Suara bariton itu bagai petir di gendang telinga.
Aku kaget! Pupil mataku melebar sempurna. Karena keterkejutan ku permen yang harusnya di kunyah malah ku telan. Si permen kopi meluncur ke tenggorokanku dan berhenti di tengah-tengah, nyangkut!
Aku tersedak! Ya, Tuhan!
Aku yakin mataku sudah seperti ikan mas koki, membulat sempurna dan memerah.
Aku panik! Dari duduk manis aku berdiri sambil menepuk dadaku, memukul tengkuk leherku! Aku berusaha memuntahkannya tapi tidak bisa! Benda ini tak bisa masuk apalagi keluar!
"Uwek!" Sekuat tenaga aku muntahkan. Lagi-lagi tidak bisa!
Lewat sudut mata ku lihat semua terbengong menatapku, terheran dengan tingkahku. Ada yang sampai ikut berdiri tapi hanya diam mendekap mulut.
"Kesurupan!" desis seseorang di samping kiriku.
Sialan!
Aku menunjuk mulutku yang menganga.
Tolong! Aku tersedak!
Yang keluar hanya bunyi, " Uuh.. Aakh! "
Loni yang duduk di samping kanan ku pasti tahu apa yang terjadi padaku.
Mataku sekilas melihat dia berdiri cepat.
"Liana tersedak!" teriaknya.
Lalu dengan sigap dia memukul punggungku dengan maksud ikut membantuku mengeluarkan si permen.
Buk! Buk! Buk! Cukup keras pukulannya.
Tapi si permen masih betah nyangkut di tenggorokan.
Ekor mataku melihat Loni ikutan panik, dia mundur saat pertolongannya tak membuahkan hasil.
Ku dengar suara bising di telingaku. Mungkin semua kaget dan tak tahu harus bagaimana.
"Ya, ampun!" teriak seseorang.
"Tolong dia!" Hanya suara teriakan tapi tak seorangpun yang bergerak menghampiriku.
Pukulan di punggungku oleh Loni tidak menimbulkan efek apapun.
Aku meliuk-liukkan tubuhku, masih berusaha mengeluarkan benda sialan itu sampai mataku mengeluarkan air mata.
"Owek!" Kucoba sekali lagi.
Tercekat!
Aku kehabisan tenaga. Oksigen pun semakin menipis, aku sesak napas. Dadaku naik turun. Aku linglung, sudah setengah sadar.
Apa aku akan mati?
Sampai di sini nyawaku?
Umurku pendek sekali!
Oh, Tuhan! Tolong aku!
Aku belum menikah.
Aku belum punya anak.
Aku ga mau mati sekarang!
Aku masih muda!
Tolong aku, plis....
Apa karena dosaku itu? Kau ambil nyawaku sekarang?
Batinku berteriak-teriak.
Rasanya aku tak sanggup lagi.
Inilah akhir hidup seorang Liana.
Ma, maafkan anakmu ini....
Tuhan ampuni dosaku..
Tio, selamat tinggal...
"Mingggir!!!" Aku mendengar suara menggelegar sebelum kakiku melemas. Entah suara siapa, aku sudah tidak fokus.
Kupingku masih bisa mendengar jelas namun pandanganku mulai gelap. Apa mataku kini sudah terbalik, hanya terlihat putih saja? Apa setelah ini aku akan melihat malaikat? Sebentar lagi aku akan melihat cahaya putih? Aku bakal mati
. Hiks..
Aku terhuyung hampir limbung.
Tiba-tiba di tengah keputusasaan ku, aku merasakan dua tangan kekar memeluk perutku dari belakang kencang.lalu ada dorongan maju mundur cukup keras dari orang yang menempel di punggungku itu membuat tubuhku terdorong ke depan, ikut maju mundur, tergoncang-goncang, berkali-kali.
Oleh hentakan kuat itu aku mulai merasa permen yang nyangkut di tenggorokanku bergerak naik ke atas lalu satu dorongan terakhir yang lebih kuat berhasil membuat aku memuntahkan si permen kopi.
"Uweeek!!"
Permen itu melompat keluar beberapa meter dari tenggorokanku, mengenai wajah seseorang di depanku. Dia pun menjerit.
"Iiiiiih!!"
Sedetik itu juga aku merasakan pelukan erat di perutku mengendor. Langkah kaki menjauhi diriku.
"Ufff....!" Aku terduduk lemas. Ku raup oksigen dengan rakus. Rasanya lega sekali. Aku tak jadi mati!
Siapapun yang sudah menolong ku keluar dari jurang maut, aku harus berterima kasih padanya.
"Terima kasih banyak..... " desahku menelungkupkan kepalaku di atas meja.
"Lain kali jangan begadang! Tukang ngantuk!" Suara bariton yang sangat ku kukenal sukses membuat kepalaku tegak kembali.
Kutolehkan kepalaku 180 derajat ke belakang, ekor mataku menangkap seseorang, bercelana hitam, bersepatu pantofel hitam.
Saat kepalaku mendongak ke atas,
mataku pun terbelalak dengan mulut menganga mirip mulut ikan, mungkin.
Astaga! Wajahku yang memerah memucat seketika.
Pak Messach sedang berdiri di belakangku dengan penampilan rambut acak-acakan, sedang melonggarkan dasinya, di keningnya mengalir butiran keringat, berdiri menatapku.
Entah apa arti tatapan itu, aku tidak sempat berpikir.
Ternyata dia yang menolongku tadi. Pantas tenaganya begitu kuat. Tak mungkin tenaga seorang perempuan.
"Mmmpph.. " Suaraku tercekat.
"Cuci muka sana! Bikin heboh saja!" Serunya cukup kencang. Wajah galaknya seakan mau melahap ku hidup-hidup.
Aku yang hampir kehilangan nyawa tadi, kakiku yang masih lemas tiba-tiba saja seperti mendapat kekuatan baru melompat laksana rusa dan dengan tergesa-gesa ku seret kakiku ke toilet. Tak butuh dua kali perintah, kakiku sudah melangkah cepat mendatangi toilet.
Aku belum sempat melihat sekelilingku tapi sebaiknya ku acuhkan saja.
Ku rasakan wajahku memanas ketika sayup-sayup kudengar bisikan-bisikan orang-orang di sekitarku. Pastinya kaum adam!
"Mrs.Doubtfire!"
"Sexy banget!"
"b****g sexy!"
"d**a montok!"
Shit! Bisa-bisanya mereka bilang begitu di saat aku hampir meregang nyawa!
"Semua kembali ke tempat!" Suara bariton menghentikan dengungan lebah itu. Aku mencibir, rasain!
Di dalam toilet kantor, aku berdiri di depan kaca memandang wajahku. Rambut ku tak kalah awut-awutan dari rambut Pak Boss. Keringat juga mengucur di dahiku. Namun saat arah pandang mataku menurun aku terperanjat.
Ya ampun!
Kancing kemejaku terbuka 3 biji, mungkin karena hentakan kuat itu. Buah dadaku sampai menyembul keluar. Pantas para kaum adam ini bisik-bisik tadi. Pasti dengan senyum seringai. Ck! Tontonan gratis!
Eh, tunggu! Apa ada yang merekam? Kadang situasi begini bukannya menolong orang malah merekam untuk dijadikan konten viral?
Ada enam cowok dan lima cewek di ruangan tadi. Aku harap tak ada satupun di antara mereka yang punya sifat usil. Menari di atas penderitaan orang lain.
"Aaahh! Bikin malu saja!" decak ku kesal menggigit bibir.
Mimpi apa aku semalam sampai mengalami insiden memalukan ini?
Ku sisir rambutku dan merapikan bajuku.
"Liana!" Satu tepukan mendarat di bahuku.. Dari cermin wastafel aku tahu siapa pelakunya.
"Loni!"
"Aduh, kamu tadi bikin kita semua shock loh!" serunya.
"Aku kira kamu bakal mati.... " lanjutnya sambil menepuk-nepuk bahuku.
Aku tersenyum kecut.
"Iya, aku kira aku bakal mati.... Huff! Seperti sudah di ujung dunia fana dan baka.. " Mengingat kembali kejadian tadi membuat bulu kudukku merinding.
"Kami semua takut ga tahu harus gimana? Takutnya malah bikin tambah parah... " Katanya berdiri bersisian denganku.
"Iya... " Aku berusaha memaklumi kediaman mereka saat aku butuh bantuan.
"Pak Messach... " Jeda Loni menatapku lewat cermin.
"Dia sampe berlari menerobos kami buat nolong kamu loh.. " lanjutnya lagi.
Aku menelan ludah. Yah! Kalau tidak ada dia mungkin aku sudah menjadi almarhumah.
Terima kasih, Tuhan.. Ucap syukurku.
"Tapi.... " Loni mengedipkan mata.
"Napa?" Aku mengernyitkan dahi.
"Caranya dia itu loh... Seperti film Mrs. Doubtfire... " Senyum simpul Loni.
Sudah dua kali aku mendengar nama itu disebut, keningku kembali berkerut.
"Kamu tahu kan.. Itu film Robin Williams yang nyamar jadi nenek.. Trus dia menolong pacar mantan istrinya yang tersedak.. Hmm mungkin Pak Bos pernah nonton film itu.. "
Aku tidak tahu karena memang jarang nonton film.
Tiba-tiba Loni merangkulku dari belakang, menempel di punggungku. Memperagakan kembali aksi Pak Messach tadi.
"Heh?!" protesku. Risih.
"Liana.. Apa kamu merasakan sesuatu yang tegang nempel di b****g mu?" bisiknya.
"Iih apaan... Sih?!" Aku menepis tangannya.
Liana terkekeh melepaskan rangkulannya.
"Tadi emang seru.. Wuiih.. Kayak... " Matanya mengedip menggodaku.
Ku pukul pundaknya gemas.
"Kamu ini.. Iih?! Apa ga tau aku hampir mati.. Tega banget sih sempat -sempat pikir jorok!" gerutuku.
Loni makin terkekeh sampai tubuhnya tergoncang-goncang.
Aku merengut. Kucubit pinggangnya.
"Ufff..!" Dia menghentikan tawanya sambil mengusap air di sudut mata akibat tertawa tadi.
"Liana, aku yakin Pak Bos pasti tidak bisa tidur malam ini.. Terbayang terus... " Dia tersenyum lebar.
Ah! Sebal! Tambah malu deh!
"Liana, kamu di panggil Pak Messach!" Dewi, Sang sekretaris tahu-tahu sudah ada di depan pintu toilet.
"Iya!" Jawabku.
"Nah kan?" Loni mengedipkan mata, ku majukan bibir bawahku.
Aku segera keluar menyusul si sekretaris menemui Pak Bos.
Jantungku berdebar.
Apa kali ini Pak Messach akan menceramahi ku, menyemburkan lahar api amarahnya kepadaku?
Aish! Pasti setelah ini akan banyak gunjingan berseliweran.
Pak Messach itu pria ganteng yang kaku. Dia tentu akan terganggu dengan situasi ini.
Liana, kenapa kamu bisa seceroboh ini? Gimana kalo Pak Bos murka, kamu malah dipecat? Aku ngedumel dalam hati sambil terus berjalan ke arah ruang Pak Messach, pria berumur sekitar 35 an tahun itu.
Langkahku terhenti tepat di depan pintu ruangannya.
Deg! Jantung kembali berdebar kencang.
"Masuk!" Suara tegas dari dalam ruangan.
Ku hela napas sambil memegang knop pintu lalu ku tekan ke bawah.
Dan.....