Cangkir di tangannya bergetar, rasa gugup mendadak menghampirinya saat pria itu memperlihatkan tanda-tanda akan sadar. Xiaoyu yang mendengar suara bergemelatuk itu segera menghampiri, dia menemukan Helian tengah berdiri diambang pintu dengan cangkir di tangannya yang kejang, hidup bersama dengan waktu yang cukup lama membuat Xiaoyu hafal betul dengan kebiasaan Helian. Wanita itu tremor jika bertemu dengan momentum yang sekiranya tidak bisa dia tangani, seperti awal pertama kali manggung, awal pertama kali beradu akting, awal pertama kali menginjakkan kakinya di dunia hiburan. Dan sekarang, Xiao Yu melongokkan kepalanya kedalam kamar dan melihat pria diatas kasur itu bergerak-gerak. Hmm... dan awal dia bertemu dengan cinta pertamanya.
"Kenapa sampai gugup seperti itu?" suara Xiaoyu menyadarkan Helian.
Cangkir itu segera ditaruhnya keatas meja dan kembali kehadapan Xiaoyu setelah memperbaiki mimik mukanya, Xiaoyu mendengus. Apa yang coba di sembunyikan wanita itu darinya.
"Hanya melihat pria itu menggerakkan tangannya saja kamu sudah gugup mau pingsan, bagaimana jika pria itu sadar sepenuhnya?" nada penuh ejekan Xiaoyu membuat Helian memalingkan wajahnya yang cemberut.
"Aku hanya kelelahan karena itu tadi gemetar." Kilahnya.
Xiaoyu gemas dengan wanita itu yang terus menghindar, dia segara mendorong bahu wanita itu kedalam kamar hingga kakinya menyentuh kaki ranjang. Kesal, Helian memukul tangan orang yang bertengger di bahunya.
Plashh!
Xiaoyu otomatis melepas bahunya dan dia berlari menjauh dari ranjang itu, cukup menakutkan jika pria itu sampai sadar dan orang pertama yang di lihatnya adalah Helian. Jujur saja dia tidak tahu cara berkomunikasi dengan orang asing apalagi jika orang itu adalah seorang pria, tampan.
"Begitu saja sudah takut setengah mati, baru sedekat itu saja sudah salah tingkah." gerutu Xiaoyu sembari berjalan keluar kamar.
Helian hanya menanggapi dengan pelototan tajam, Xiaoyu hanya berusaha menggodanya, menggoda wanita yang sedang salah tingkah termasuk kejahatan besar, gerutu Helian di dalam hatinya. Matanya beralih ke kasur, pria itu belum sadar dan hanya menggerakkan jari tangannya, dia berniat pergi dari kamar itu mengikuti Xiaoyu, jujur saja sejak datang perutnya belum terisi apapun.
Selangkah lagi dia keluar dari kamar itu tapi suara lenguhan menghentikannya, menoleh dengan cepat kearah ranjang dan menemukan pria yang tak sadarkan diri itu menggeliat tak nyaman. Helian buru-buru memanggil Xiaoyu tapi tak ada tanggapan, dia merutuk kesal dan terpaksa mendekati pria itu sendirian.
Saat jarak mereka menyisakan satu meter dia bisa melihat butiran keringan sebesar biji jagung berkumpul di leher pria itu, kerahnya yang terbuka memperlihatkan tulang selangka indah yang bewarna madu. Menyadari pria itu kepanasan Helian cepat-cepat menyalakan pendingin ruangan dan menutup pintu kamar.
Dia kembali kesamping pria itu dan berharap pria itu tak bangun tapi yang dilihatnya kelopak mata pria itu mengerut rapat dan tak berapa lama mata itu terbuka perlahan, mata sebulat aprikot itu mengerjab beberapa kali menyesuaikan cahaya sebelum akhirnya terbuka lebar dengan pandangan tertuju kearah Helian.
Keduanya terdiam cukup lama, tak ada tanda-tanda dari mereka ingin mengatakan sesuatu membuat Helian berinisiatif menginterupsinya.
"Halo, apa kamu sudah baikan?" Helian tidak tahu kata apa yang harus dia ucapkan pertama kali untuk orang yang baru siuman, jadi biarkan dia berbasa-basi.
Pria itu linglung dan matanya terus bergulir kesana-kemari menjarah isi kamar, sedangkan Heelian yang merasa diabaikan menjadi semakin ragu untuk memulai awal perbincangan mereka. Tapi bagaimana mau memulai? Keringat dingin saja sudah beranak pinak.
Tak ingin semakin salah tingkah, Helian berinisiatif untuk mencari alasan agar bisa keluar dari kamar, dan cangkir diatas nakas yang pertama kali ditangkap matanya. Dia buru-buru meraih cangkir itu dan memulai alasannya.
"Kau pasti haus, aku akan mengambilkanmu air minum..." Tak menunggu jawaban dari pemuda yang masih nampak linglung itu, Helian segera berlari terbirit-b***t keluar kamar, dia sampai lupa jika cangkir yang dibawanya terisi penuh.
Dia mencari Xiaoyu tapi pria itu tak kunjung menunjukkan batang hidungnya, tak ada ruangan yang terlewat tapi dia tetap tak bisa menemukan Xiaoyu. Kakinya mulai kesemutan karena berlari kesana-kemari, tidak mungkin pria itu pulang karena mobil masih terparkir di pelataran halaman.
Dia yakin pria itu pasti sengaja bersembunyi darinya, membiarkan Helian merawat pria itu seorang diri. Apakah Xiaoyu berniat membunuh Helian secara perlahan, dia tak mau mati muda walaupun sekarang umurnya hampir kepala tiga tapi dia masih terlihat muda, kok. Pria gila itu awas jika Helian sampai melihatnya lagi.
Terpaksa dia kembali ke dapur seorang diri untuk mengambil cangkir yang sama yang sebelumnya dia bawa untuk pemuda itu, sekarang rasa malunya sedikit berkurang karena Xiaoyu berhasil membuatnya kesal. Dia berjalan melenggang memasuki kamar dengan tenang seolah wanita kaku yang sebelumnya berdiri dengan kaki gemetar tak pernah ada.
Saat tangannya mendorong tuas pintu hal yang dilihatnya pertama kali adalah pemuda itu duduk dengan nyaman menyandarkan kepalanya di kepala ranjang, begitu melihat pintu didorong pemuda itu segera menyambut dengan senyum tipis, pemilik rumah datang.
"Halo, apakah kamu sudah baikan?" Tanya Helian sembari melongokkan kepalanya ke celah pintu, pemuda yang melihatnya terkekeh rendah membuat Helian mendadak kehilangan keberaniannya.
Melihat Helian tak kunjung masuk kedalam kamar membuat pemuda itu terpaksa membuyarkan lamunan Helian.
"Laoshi, apa kamu tidak ingin masuk?"
*Laoshi: Guru (Menghormati)
*Jiejie: Saudara perempuan
Helian tersadar dan segera membalas dengan anggukan kecil malu-malu, memerah. Wanita dengan segala masalah besar yang hampir semua pernah dia lewati kini tersenyum malu-malu didepan pemuda asing. Mau tak mau dia berjalan mendekati ranjang, menyodorkan cangkir kedepan pemuda itu dengan kaku.
Awalnya pemuda itu kebingungan, namun sedetik kemudian dia tersenyum dan menerima cangkir Helian, astaga apakah Helian masih hidup... Manusia macam apa yang mempunyai senyuman mematikan seperti itu.
"Terima kasih, Laoshi..."
Pemuda itu mengejutkannya, untuk beberapa saat Helian sempat linglung sebelum akhirnya melihat cangkir yang disodorkan pemuda itu, dengan gugup dia merebut cangkir kosong secepat kilat lalu menaruhnya ke nakas dengan keras hingga menimbulkan suara dentingan keramik.
Hening tiba-tiba menyelimuti mereka, Helian menyesali hal yang dilakukannya barusan. Sialan, kenapa dia begitu gugup hingga mempermalukan dirinya sendiri, pemuda itu cukup terkejut dan bingung dengan apa yang dilakukan Helian barusan, wanita itu bertingkah seperti kebakaran jenggot. Sebenarnya dia cukup khawatir dan ingin bertanya tapi urung ia lakukan saat Helian terlihat memucat seperti akan pingsan.
Keduanya tak bergeming dari posisi semula, Helian membelakangi ranjang dan pemuda itu yang duduk menghadap punggungnya. Sebenarnya mempertahankan posisi seperti ini cukup lama lumayan membuat kaki keram, pemuda itupun berinisiatif menggeser kakinya tapi belum sempat dia bergerak suara wanita itu menginterupsinya.
"Apa.... Aku baru saja.... Menyentuh tanganmu?"
Helian berbalik dengan dramatis, wajah pucatnya seperti dicubit keras. Pemuda itu mengangguk setelah mengingat tangan Helian yang memegang tangannya saat mengambil cangkir tadi.
"Iya, memang kenapa?" Tanya pemuda itu tak mengerti.
Mendengar persetujuan keluar dari mulut pemuda itu, Helian tanpa sadar menggenggam erat tangannya. Rahangnya hampir jatuh kelantai jika saja dia tidak segera memunggungi pemuda itu, lagi.
"Laoshi, apa ada yang salah?"
"Tidak!"
Pemuda itu terkejut begitu pula dengannya, terlalu gugup hingga dia meninggikan suaranya. Aduh suasana makin rancu dia harus segera pergi dari sini. Dia ingin lari tapi begitu kakinya melangkah suara berat pemuda itu menghentikannya.
"Laoshi, siapa namamu? Bukankah kamu yang kutabrak kemarin?"
Hampir saja dia terjatuh, Helian buru-buru menyeimbangkan kakinya sebelum berbalik menghadap pemuda itu dengan senyum yang dipaksakan.
"Ah? Aku? Ah, namaku Liu Helian. Kau bisa memanggil Lian." Ujarnya cepat tanpa jeda.
Hal itu mengundang ringisan sang pemuda, apakah wanita ini menahan buang air atau bagaimana, kenapa dia terlihat sangat tertekan.
"Apa Laoshi, orang yang aku tabrak kemarin?"
"Ah? Benarkah? Ah-ahaha iya benar begitu, kamu yang menabrakku."
Raut penyesalan langsung menembak mata Helian, pemuda itu rupanya tidak terlalu mengingat kejadian kemarin hingga mengira dirinyalah tersangka disini. Auh, betapa menyedihkannya pemuda itu saat ini pasti mengutuk dirinya sendiri, apakah Helian harus mengaku jika dialah penyebab jatuhnya pria itu hingga pingsan semalaman? Tapi bagaimana jika pemuda itu marah dan menuntutnya, Helian untuk sementara ini tak bisa tersandung kasus apapun karena karirnya berada di puncak, dimana celah ditemukan dan mereka akan segera menebasnya hidup-hidup.
Helian tak bisa membiarkan celah sedikitpun merusak karirnya, jadi biarkan dia untuk saat ini mengkambinghitamkan pemuda polos didepannya.
"Ah, kau tak perlu merasa bersalah seperti itu. A-aku baik-baik saja dan hanya ada luka kecil di lenganku."
Ujarnya dengan nada sok bijak seolah dia korban yang berbaik hati sembari menggosok lengannya yang memerah. Pemuda itu mengikuti arah pandang Helian dan menemukan beberapa goresan kecil dilengan putih wanita itu yang mengeluarkan bintik-bintik darah.
"Apa itu sakit?" Tanpa diduga pemuda itu beranjak dari ranjang, mendekatinya.
Helian terkejut bukan main, menatap horor pemuda yang berjalan kearahnya, tanpa sadar Helian mundur dengan cepat hingga punggungnya menabrak almari besar dibelakangnya.
Brakk
Jatuh terjengkang dengan posisi mengenaskan, pemuda itu langsung berhenti mendekatinya. Memandang bingung wanita yang lebih tua darinya, dia ingin membantunya berdiri tapi wanita itu menolak.
"Laoshi, kau.... Baik-baik saja?"
Pihak lain tak segera menjawab membuatnya semakin khawatir, dia memperhatikan wanita itu yang terus menghindari tatapannya, seperti ketakutan?.
"Lao He, apakah aku mengejutkanmu? Aku sangat menyesal." Pemuda itu ikut bersimpuh didepan Helian, si pemuda menjatuhkan alisnya terlihat sangat menyesal membuat Helian terpaksa menengahi perasaan pemuda labil itu.
"Ah, a-aku hanya terkejut saat.... Kamu mendekatiku tadi."
"Ahh..." Si pemuda menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali.
"Apa aku bisa membantumu?"
Lengan pemuda itu terentang didepannya, lengan kokoh dan berotot samar, terlihat sangat menggoda untuk membungkus tubuh kecilnya.
"Laoshi.."
"Eh, iya? Ah... Aku bisa berdiri sendiri. Terima kasih"
Pemuda itu menyingkir memberi ruang pada wanita itu untuk berdiri.
"Apa aku harus bertanggung jawab untuk yang satu ini?"
Dahinya mengernyit tak paham dengan ucapan si pemuda.
"Bertanggung jawab untuk apa?"
"Bukankah aku sudah menjatuhkanmu dua kali?! Jika kau meminta pertanggungjawaban aku bisa, tapi jangan sampai masalah ini bocor ke publik atau studio akan mengeluarkanku." Kedua alis tebal itu lunglai saat menerawang hal-hal yang mengerikan untuk artis daun muda sepertinya.
Keduanya bingung dengan pikiran masing-masing, si pemuda yang bingung dengan rasa bersalah dan Helian yang lebih merasa bersalah lagi karena menipu pemuda itu.
"Ah, begini... Bagaimana kalau kamu menjadi manajer atau asistenku sementara waktu?"
"Eh?"
Helian membungkam mulutnya sendiri begitu sadar dengan apa yang dia ucapkan, buru-buru dia menggeleng saat melihat ketidakpersetujuan terlukis di wajah tampan yang muda.
"Maksudku ak-"
"Baiklah, aku akan menjadi asistenmu. Kita bisa mulai minggu depan jika kamu mau, oh ya.... Namaku Lao Huanran, Laoshi bisa memanggilku An Ran."
Senyum manis pemuda itu adalah senyum termanis sekaligus senyum terpahit yang diterima Liu Helian, senyum terakhir yang paling dia rindukan sebelum ajalnya tiba.