Rain 1

1065 Kata
Bagi Mentari, sketchbook tak boleh tertinggal ke mana pun dia pergi. Membuat sketsa sudah menjadi makanan setiap hari. Bagi Mentari, itu menyenangkan. Oh, Mentari tak suka keramaian, tapi Mentari juga tak suka kesepian. Mentari tak butuh banyak teman, dia hanya butuh ketulusan. Hidupnya terlalu banyak kepalsuan dan kasih sayang orang-orang di sekitarnya yang hanya berharap imbalan. Mentari lelah, terkadang dia diam bukan dia tak berbicara. Dia hanya berbicara pada hatinya. Hanya hatinya. Mentari tak suka dengan orang-orang yang datang hanya mengatakan bahwa dia membutuhkannya. "Saya nggak mau." Mentari tetap dengan keputusannya. Mata dan tangannya masih sibuk membuat sketsa sebuah gedung teater yang lama tak terpakai. "Kamu dapat keuntungannya, sekolah akan bayar kamu. Lagi pula, itu juga akan membuat kamu lebih dikenal warga sekolah, kan? Kalau saya nggak salah, kamu nggak begitu banyak dikenal kalau bukan karena sketsa kamu." Pandu Elangga Gerhana—ketua OSIS yang saat ini sibuk membujuk Mentari agar mau membantunya. Jika bukan karena kepentingan sekolah, Pandu tidak akan mau berlama-lama memohon pada Mentari. Masih banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan. Namun, sudah lima rekannya yang menghadap Mentari dan berujung dengan penolakan yang sama. Mentari membungkam, menatap iris Pandu tanpa menunjukkan ekspresi apa pun. Sama halnya, Pandu membalas tatapan Mentari. Tak ada gurat merona di wajah, tak ada kupu-kupu yang terbang di hatinya. Semua biasa saja. "Kamu meminta saya untuk membantu acara sekolah, kamu menawarkan keuntungan yang bisa saya dapatkan, tapi kalau saya nggak salah dengar, kamu menghina saya?" Mentari tersenyum sinis. "Saya nggak lagi menghina siapa-siapa. Saya berbicara sesuai fakta. Sudah lima rekan OSIS saya yang kamu tolak, Mentari. Dan, kamu tahu? Pekerjaan saya bukan hanya meminta kamu untuk membantu acara sekolah." "Fakta? Fakta seperti apa yang kamu tahu tentang saya? Bahkan kita pertama kalinya berbicara, kamu yang mengajak saya bicara, ah lebih tepatnya kamu yang mengajak saya ribut." Mentari merapikan sketchbook-nya ke dalam tas. Terlalu lama dia membuang waktu untuk orang yang bahkan tak bisa menghargainya. "Saya harus pulang." "Dua menit!" Pandu menarik tali ransel Mentari hingga Mentari kembali duduk. "Kamu mau apa agar kamu mau membantu saya menyelesaikan masalah ini?" "Saya hanya minta kamu bisa menghargai orang lain ketika kamu membutuhkannya. Namun, saya rasa saya nggak perlu meminta apa-apa lagi karena saya juga nggak tertarik dengan tawaran kamu. Lagi pula banyak orang yang bisa membuat sketsa lebih bagus, lebih baik dari saya. Kenapa harus saya?" Mentari melipat tangannya, mengangkat dagunya jemawa. Bukan sombong, hanya saja orang seperti Pandu tidak bisa diperlakukan biasa saja. "Karena saya percaya kamu bisa." Lagi-lagi Mentari membungkam. Sudah cukup hari ini dia banyak berbicara dan ternyata tak berujung apa-apa. Sekali lagi Mentari menatap iris Pandu yang tajam, serius, tak ada ekspresi apa-apa, bahkan tak ada ekspresi memohon seperti kebanyakan orang ketika meminta bantuan. *** "Lain kali nggak usah minta saya untuk bantu kamu." Mentari memandang datar sketchbook di atas meja, lalu menatap lawan bicaranya tanpa minat. "Kenapa kamu nggak senang menolong orang lain?" Sepertinya lawan bicaranya kali ini benar-benar menantang kehidupan Mentari, mengusik kehidupan dan ketenangannya di sekolah. "Karena yang saya tolong itu kamu, jadi saya nggak senang. Kamu hanya memanfaatkan saya agar nama kamu semakin dipuja oleh orang lain, kan?" Pandu tersenyum kecut, menantang tatapan mata hitam legam Mentari. "Sejauh itu kamu berpikir tentang saya?" Pandu memberikan sebuah kertas untuk gambaran yang harus Mentari buat menjadi sketsa. "Seperti yang kamu bilang kemarin, kita baru saja berbicara, kan? Dengan mudah kamu menyimpulkan orang lain itu terdengar sebuah lelucon." Lalu Pandu menyodorkan sebuah brosur ke hadapan Mentari. "Kayaknya kamu butuh itu untuk lebih peduli sosial. Sedari tadi kamu terus menantang lawan bicara kamu, Mentari." Mentari melipat tangannya, memandang brosur di atas meja tanpa berniat mengambilnya. Mentari balas menatap Pandu. "Apa untungnya kamu peduli dengan saya?" Pandu menghela napas berat, beban di kepalanya tentang tugas-tugas yang harus dia selesaikan terhambat begitu saja karena Mentari. Pandu akui bahwa perempuan di depannya ini cukup berani berbicara terang-terangan mengenai apa yang tidak dia sukai. Pandu bisa menilai Mentari hanya dari perkataannya, meski tak tahu benar atau tidak. "Pertama, saya hanya meminta tolong kamu untuk membuat sketsa acara sekolah. Harus kamu tahu kalau itu bukan untuk kepentingan pribadi saya, tapi untuk sekolah kamu juga, sekolah kita. Tapi kenapa seolah-olah kamu menyudutkan saya bahwa itu semata-mata untuk kepentingan saya sendiri?" Pandu menarik napasnya sebelum kembali berbicara. "Kedua, saya nggak tahu kenapa kamu terus berpikiran negatif tentang saya padahal saya juga baru tahu kalau kamu sekolah di sini." Mentari mengangkat tangannya membuat Pandu berhenti berbicara. "Dan ketiga, saya nggak peduli dengan semua itu." Pandu benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikiran gadis di hadapannya. Pandu tertawa kecil, menggelengkan kepalanya. "Nyali kamu oke juga ternyata." *** "Tari, kamu itu beruntung banget tau! Kamu harusnya terima tawaran Pandu. Jarang-jarang lho dia yang minta langsung." Kepala Mentari rasanya pusing mendengar celotehan Helmi. Satu-satunya orang di kelas yang tidak juga menyerah berbicara dengan Mentari. Sejak semester pertama, Helmi ingin bisa berteman dekat dengan Mentari. Hanya saja Mentari tidak terlalu menanggapi dan menyikapinya seolah Helmi hanya teman seperti kebanyakan teman lainnya. Helmi menghela napas, mempercepat langkahnya mengikuti Mentari hingga ke kantin. "Tar, tawarannya lumayan, kan bisa buat tambah uang jajan?" "Makasih, Pak." Bukannya merespons perkataan Helmi, justru Mentari berbalik keluar kantin setelah membeli roti dan minum di kantin Pak Kadir. Helmi mengejar Mentari, memanggilnya di sepanjang koridor. "Tari!" Matahari siang ini tidak begitu menyengat. Mentari memutuskan untuk duduk di bawah pohon besar dekat lapangan. Menyumpal telinganya dengan headseat. Sendirian. Itulah yang selalu Mentari rasakan selama hidupnya. Mentari sudah bersahabat dengan kesendirian. Dirinya bahkan tak merasakan lagi seperti apa rasa sepi. Baginya semua sudah terasa kebal. Mentari merasakan ada seseorang yang duduk di sebelahnya. Helmi. Menatapnya dan menghela napas. Mentari hanya melirik sekilas, mulutnya masih mengunyah roti. "Aku iri sama kamu, Tar. Aku juga pengen jago gambar kayak kamu." Helmi menatap hampa lapangan. Di jam istirahat memang selalu ada saja siswa yang bermain basket atau sepak bola. "Cita-cita aku jadi komikus, tapi gambaranku nggak sekeren kamu." Melihat Mentari yang masih diam saja membuat Helmi menarik headseat di telinga kiri Mentari. Ah, memakai headseat atau pun tidak, Mentari memang sering mengabaikannya. Namun, Helmi tetap ingin berteman baik dengan Mentari. "Apa sih, Hel?" "Kamu nggak denger tadi aku ngomong apa?" Mentari menggeleng. Tangan Helmi menepuk bahu Mentari berkali-kali. "Terkadang apa yang menurut kita nggak berharga, ternyata berharga buat orang lain." Mentari hanya menatap punggung Helmi yang sudah menjauh. Mungkin sudah kembali ke kelasnya. Mentari mengangkat bahu, menyumpal kembali telinganya dengan headseat. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN