Rain 2

1339 Kata
Sepulang sekolah, Mentari tak langsung pulang karena hujan begitu deras. Sama halnya seperti teman-temannya yang lain—memilih menunggu di depan dan dalam kelas hingga hujan mereda, ada juga yang memilih menerobos derasnya hujan. Roti kacang di tangannya sudah habis setengah. Hatinya benar-benar lega ketika menghirup aroma hujan—tanah bercampur air hujan. Dia membiarkan telinganya asyik mendengar suara hujan. Sesekali tangannya menengadah hingga basah oleh air hujan. "Merapalkan doa ketika hujan itu mujarab, lho." Suara seseorang membuat Mentari terkejut. Menoleh mendapati, ah, tunggu dulu—Mentari mencoba mengingat-ingat. Jika tidak salah dia murid baru di kelasnya sejak pagi. Dia Bara, Barameru. Begitu yang Mentari ingat ketika Helmi terus saja berceloteh dan mengatakan bahwa dia cukup tertarik pada Bara. Jika Helmi tidak terus bercerita mengenai murid baru di kelasnya, mungkin Mentari tidak akan ingat nama lelaki itu. Atau mungkin, tidak ingin tahu karena tahu karena baginya itu bukan hal yang penting untuk diketahui. Mentari tak menghiraukan Bara yang kini berdiri di sebelahnya. Dia menghabiskan roti kacang dan membuang kemasannya ke tong sampah. Menegak air minumnya yang sisa sedikit. "Saya sedang berdoa," Bara meilirik Mentari. "Berdoa agar perempuan di samping saya mau berteman dengan saya." Mentari seolah tak terusik dengan perkataan Bara. Tangannya menengadah lagi, membiarkan tangannya diguyur oleh derasnya hujan. "Ini punya kamu?" Kali ini Mentari menoleh ketika sketchbook miliknya ada di tangan Bara. Mentari panik, mengobrak-abrik isi tasnya. Dia mendongak menatap Bara. Mengambil sketchbook dan membuka lembar demi lembar untuk memastikannya. "Aman kok. Cuma tadi saya nggak sengaja injak." Bara menggerakan tangannya. "Serius, saya nggak sengaja. Sumpah!" Tangannya terangkat ketika mendapati tatapan Mentari. Mentari membalikan sketchbook, tidak menemukan bekas kotor di sana. "Saya pikir itu mungkin berharga untuk pemiliknya. Nggak usah khawatir, sudah saya bersihkan pakai ini." Bara menunjukan sapu tangan di sakunya. "Kamu—" "Saya Bara. Barameru." Tangan Bara terulur dengan senyuman di bibirnya. Mentari mengerjapkan mata, melihat tangan dan wajah Bara bergantian. "Mentari." balas Mentari cepat-cepat menarik tangannya dari tangan Bara. "Kamu nggak tanya kenapa saya bisa temuin sketchbook kamu dan tahu kamu pemiliknya?" Mentari menggeleng. "Itu nggak penting. Yang penting, sketchbook saya baik-baik aja." Dan, untuk pertama kalinya Bara menyadari bahwa Mentari adalah tipikal orang yang tidak suka berbasa-basi. Bara menarik sudut bibirnya ketika Mentari pergi begitu saja dengan membawa sketchbook miliknya. *** "Sejak kapan suka menggambar?" Mentari tersentak ketika seseorang duduk di sebelahnya-duduk tepat di kursi milik Helmi. Matanya menangkap seorang lelaki yang belakangan ini sering sekali mengganggu ketenangan Mentari. Seorang murid yang belum lama ini berstatus pindahan ternyata sudah memiliki banyak teman. Katanya sih, wajar banyak yang mengenalnya karena dia seorang youtuber. Namun, kok Mentari tidak mengenalnya? Mungkin memang dia saja yang tidak begitu terkenal, atau paling-paling memiliki subscribers setidaknya seribu. Mentari celingukan, menatap sekeliling kelasnya yang sedang asyik dengan kegiatan bebas di jam kosong. Dia menatap sekilas lelaki di sebelahnya dan kembali melanjutkan garis demi garis yang dia coretkan pada sketchbook kesayangannya. "Halo, saya sedang bicara dengan kamu, Mentari." Bara kembali bersuara ketika Mentari hanya diam saja. Seolah menganggap Bara tidak ada dan menganggap suara Bara hanyalah angin lalu yang tidak berarti apa-apa. "Kamu itu aneh, ya, Mentari. Saya heran dengan orang sepertimu, tapi sesekali saya juga penasaran dengan kamu." Bara menopang kepalanya untuk melihat Mentari yang masih fokus dengan gambarannya. "Sketsa dan semua gambaran kamu juga nggak ada bedanya dengan kamu. Sama-" "Kenapa?" Mentari balas menjawab perkataan Bara. Tatapannya tajam, tapi tidak ada ekspresi apa pun di wajahnya. "Sama-sama aneh?" Mentari menaikkan alis, tersenyum miring. "Mungkin, tapi saya suka yang aneh-aneh." Bara tersenyum lebar hingga deretan giginya terlihat. Oh, Bara juga memiliki lesung pipit yang jika tersenyum manisnya akan berkali-kali lipat. Pantas saja Helmi selalu histeris ketika menceritakan Bara, bagaimana wajah dan karisma seorang Barameru. "Oh, ya?" Mentari menantang, sinis. Dia kembali menggambar, apa pun perkataan Bara cukup menyebalkan di telinga Mentari. "Mentari, ada yang cari, tuh!" Teriakan teman sekelasnya dari depan pintu membuat Mentari mendongak. Temannya berteriak lagi agar Mentari menemui orang yang mencarinya. Mentari menghela napas, meletakkan pensil di atas sketchbook dan berlalu begitu saja meninggalkan sketchbook dan Bara. Kedua sudut bibir Bara terangkat melihat sketsa yang dibuat oleh Mentari. Sebuah rumah pohon yang belum selesai digambar. Indah, Bara akui bahwa Mentari memang pandai menggambar. Mentari menghela napas ketika dia sudah sampai di depan pintu dan mendapati Pandu, si ketua OSIS yang masih gencar memaksa Mentari untuk mau membantunya. "Gimana?" Tangan Pandu dipenuhi oleh beberapa map. Tipikal murid yang sibuk atau mungkin sok sibuk, begitu pikir Mentari. Ketika Mentari hendak berbalik masuk ke kelas, suara Pandu membuatnya menghentikan langkah. "Masih keras kepala juga?" Mentari menghela napas gusar. "Saya jadi bingung, kamu itu sekeras batu apa, sih?" Mendengan perkataan Pandu membuat Mentari kembali menghadap Pandu. Mentari melipat kedua tangannya di d**a, membalas tatapan Pandu. "Kamu itu nggak paham atau gimana?" Mentari terlihat sebal sekaligus kesal dengan perkataan Pandu. "Banyak orang memuji kamu, bilang kalau kamu pintar, si ketua OSIS kebanggaan guru-guru. Tapi, kamu bahkan nggak ngerti juga setelah berkali-kali saya bilang kalau saya nggak mau?" "Sejak kapan kamu memperhatikan perkataan orang-orang tentang saya?" Pandu tertawa kecil, menggeleng-gelengkan kepalanya. Mentari berdecak kesal. "Buang-buang waktu bicara sama kamu!" "Saya masih punya waktu. Saya percaya sekeras apa pun batu pasti akan retak juga kalau terus-menerus diguyur air." Pandu tersenyum penuh arti. "Kamu batu dan saya airnya." *** "Yaampun, Bara kamu ngapain?" Helmi yang baru saja masuk ke kelas kini melihat Bara duduk di kursinya. Wajah Helmi panik melihat apa yang sedang Bara lakukan. "Bara! Mentari paling nggak suka kalau ada orang yang mengusik kegiatannya. Mentari nggak suka kalau sketchbook-nya digambar sama orang lain." Mendengar suara Helmi membuat Bara mengernyit, dia kembali melihat sketchbook milik Mentari. Ketika Mentari keluar dari kelas, Bara yang mengambil alih sketchbook perempuan itu. Bara pikir, tidak ada salahnya jika dia melanjutkan gambaran Mentari. "Kamu nyari mati, Bara!" Helmi geleng-geleng kepala, gorengan di mulutnya sudah habis dia telan. Padahal Helmi baru saja ingin menikmati makanannya, tapi melihat apa yang Bara lakukan membuat Helmi tidak bisa diam saja. Mentari pasti akan marah besar. "Saya nggak nyari mati. Saya sekolah nyari ilmu, Hel." Bara mengelak. Jika saja Helmi sedang tidak panik, mungkin Helmi akan memuji Bara yang duduk di kursinya dan membiarkan Bara tetap di sana. Namun, Helmi tidak bisa diam saja ketika tahu Bara mengusik Mentari. Helmi tahu persis Mentari akan marah. "Aduh, Bara ganteng! Aku nggak ikut campur—" "Ada apa?" Ucapan Helmi terpotong ketika suara Mentari membuatnya menoleh. Helmi memejamkan mata, tidak berani mengatakan apa-apa. Sedangkan Bara, dia justru hanya menatap Helmi dan Mentari bergantian. "Siapa yang nyuruh kamu buat sentuh sketchbook saya?" Suara Mentari membuat beberapa teman-temannya jadi menoleh. Helmi sudah tidak tahu harus berkata apa lagi. Dia sudah bisa menebak apa yang akan terjadi. "Saya nggak suka—" Bara mengangkat alis, "Kenapa? Gambaran saya nggak jelek-jelek amat kok." "Saya nggak peduli! Saya nggak suka siapa pun sentuh barang-barang milik saya, termasuk sketchbook. Jangan mentang-mentang kamu anak baru, nggak tahu apa-apa jadi bisa seenaknya!" Mentari merapikan barang-barangnya dan merebut paksa sketchbook beserta pensil di tangan Bara. "Sekali kamu menganggu saya, itu artinya kamu mengusik dunia saya." Bara terperangah, mengerjapkan matanya ketika Mentari pergi keluar dari kelas. Teman-teman sekelas hanya mengangkat bahu seolah tidak tahu apa-apa dan tidak ingin ikut campur. Mereka sudah paham seperti apa Mentari. "Kamu, tuh, jangan ganggu Mentari terus deh, Bara. Mentari orangnya emang gitu, udah biarin aja nggak usah masuk ke hati." Taryo—teman sebangku Bara menghampirinya dan merangkul lelaki itu untuk kembali ke tempatnya semula. "Dia suka marah?" Taryo mengangguk, "Begitulah, dia nggak suka kalau ketenangannya diganggu." "Padahal saya nggak ganggu macam-macam. Cuma ikut gambar di sketchbook-nya aja, Yo." Taryo geleng-geleng kepala. "Bar, apa pun tentang Mentari, dia nggak suka diusik." Bara mengerutkan kening, seharusnya Mentari tidak semarah itu hanya karena Bara melanjutkan gambarannya. Oke, Bara tahu dia salah, tapi mengapa Mentari harus semarah itu hanya karena sketchbook? "Bara, kamu nggak apa-apa, kan?" "Mulai deh, capernya kumat." cibir Taryo ketika Helmi datang untuk memastikan keadaan hati Bara. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN