Rain 3

1704 Kata
Hidupku adalah aku. Dan, hidupmu adalah kamu. Sampai kapan pun akan tetap seperti itu. Aku, kamu, bukan kita. Jangan coba-coba melewati benteng milikku. Kecuali jika semesta kasih kejutan dan berkata lain, berarti aku yang salah menebak. —Rain *** "Aduh!" Pandu meringis ketika seseorang menabraknya dari belakang. Pandu menoleh dan mendapati seorang perempuan yang akhir-akhir ini menantang dirinya. Mentari mempercepat langkahnya bahkan tak mengucapkan apa-apa setelah menabrak Pandu. "Kenapa?" tanya salah satu anggota OSIS yang menyadari ringisan Pandu. Pandu menggeleng, dia memberikan dua map berwarna hijau dan kuning kepada anggotanya itu. "Kamu bisa atasi semuanya sebagai ketua pelaksana, kan?" Anggota OSIS bernama Piyan itu mengangguk paham. Piyan pamit untuk masuk ke ruang OSIS menemui rekan-rekannya yang lain untuk menyelesaikan rapat acara pekan olahraga yang akan dilaksanakan dua minggu mendatang. Entah sengaja menabrak atau tidak, Pandu tidak tahu apa yang terjadi dengan Mentari. Namun, langkah kaki perempuan itu menandakan bahwa dia sedang kesal. Mentari sedang ingin sendirian. Ah, Mentari memang senang sendiri, sepi dari keramaian agar dia bisa berbicara pada hatinya sendiri. Memberikan ruang untuk dirinya dari segala kerumitan hidup yang dia jalani. Suasana hati Mentari sedang tidak baik. Mendung, seperti cuaca di langit hari ini. Mungkin sebentar lagi akan hujan. Mungkin, belum berarti benar. Perasaan Mentari tidak senang, dia merasa buruk hari ini. Mentari tidak tahu mengapa akhir-akhir ini emosinya jadi tidak stabil. Helaan napas keluar dari mulut Mentari. Matanya tak lepas dari sketchbook di hadapannya yang berhasil membuat suasana hatinya buruk. Mentari menyimpan pensil di atas sketchbook, gara-gara Bara dia jadi tidak ingin lagi melanjutkan gambar rumah pohonnya. Mentari tidak suka jika kesenangannya harus diganggu oleh orang lain. Baginya Bara tidak lebih dari orang asing yang baru saja dia temui kemarin. "Sketchbook nggak menarik lagi untuk digambar sampai dilihatin terus?" Suara seseorang membuat Mentari terkejut. Mentari mendongak mendapati Pandu yang kini ikut duduk di depannya. Entah dari mana lelaki itu asalnya tiba-tiba saja sudah ada di hadapan Mentari. Lagi dan lagi Mentari harus melihat Pandu. Orang yang ingin Mentari hindari. Mentari diam, tidak membalas perkataan Pandu. Dia melihat sekeliling, hanya ada beberapa murid yang sedang membaca dan mencari buku. Perpustakaan seolah menjadi tempat pelarian Mentari. Tempat Mentari menenangkan diri dari hal-hal yang mengusiknya di sekolah. Selain karena jarang dilalui orang-orang, Mentari juga suka melihat banyak buku. Rasanya Mentari seperti ditarik oleh dimensi lain yang dia sendiri tidak paham isinya. "Saya itu jadi penasaran sama kamu. Kamu satu-satunya orang aneh yang baru saya temui di bumi." Pandu bersuara lagi. "Kalau orang-orang akan senang jika karyanya diapresiasi, justru kamu menolak mentah-mentah. Ada yang salah dengan karya kamu?" Pandu selalu berhasil memancing Mentari untuk menjawab perkataannya. Pandu selalu tahu cara membuat Mentari bergerak dari posisinya saat ini. Pandu hanya orang baru di hidup Mentari yang bahkan perannya hanya sebagai angin lalu; tidak berarti apa-apa. "Bisa nggak untuk jangan ikut campur urusan saya?" "Kamu nggak dengar saya bilang apa tadi? Saya penasaran sama perempuan aneh seperti kamu." "Bisa kamu pergi?" Mentari masih berkata baik-baik. Berbicara dengan Pandu membuat dia harus lebih banyak mengalah daripada banyak berdebat yang pada akhirnya hanya berujung pada waktu sia-sia saja. "Saya selalu senang dengan orang yang pandai berkarya. Melukis dan menulis, dua hal yang saya suka. Kenapa? Karena hati mereka nggak pernah dibuat main-main. Karya para seniman selalu ada arti yang nggak banyak orang tahu. Bahkan, bukan hanya seniman. Gambar ini," Pandu menunjuk sketchbook Mentari yang menampilkan gambar rumah pohon. "punya arti, kan?" "Tahu apa kamu tentang seniman?" Mentari mengukir senyum sinis. "Bukannya yang kamu tahu cuma cari muka di depan banyak orang?" "Kenapa saya harus cari muka kalau banyak yang bilang muka saya mirip aktor Korea?" Baiklah, Pandu terlihat semakin menyebalkan di mata Mentari. Untuk saat ini Mentari sedang tidak ingin bercanda. Lagi pula memang Mentari selalu serius dan jarang bercanda. Jarang orang-orang melihatnya tersenyum. "Mentari, saya cuma mau bilang kalau kamu berbakat. Tawaran saya kemarin bagus untuk nama kamu. Nggak ada salahnya untuk mencoba. Saya minta baik-baik sama kamu, berharap kamu membalas hal yang baik-baik juga. Saya nggak memaksa sih, tapi apa salahnya kalau saya terus memberikan iklan agar kamu mau menerima tawaran sekolah. Nggak banyak orang yang beruntung memiliki keistimewaan seperti kamu. Saya punya waktu sepuluh hari lagi untuk menawarkannya sama kamu. Setelah itu, saya nggak akan memaksa." Pandu tersenyum penuh arti. Pandu selalu pandai berbicara membuat lawan bicaranya tak bisa berkata-kata. Selain menjabat sebagai ketua OSIS, rupanya Pandu juga sering mengikuti banyak lomba di bidang akademik maupun non-akademik. Salah satunya lomba debat dan olahraga. "Saya—" "Melihat raut wajah kamu, saya tahu kamu akan menolak lagi. Nggak apa-apa," Pandu berdiri dari kursinya dan maju satu langkah mempersingkat jarak dengan Mentari. "Senyum itu gratis. Coba lebih banyak senyum biar kamu tahu arti bersyukur itu seperti apa." Usai mengatakan itu Pandu berlalu begitu saja membuat Mentari mendengus sebal. Pandu memang bukan lawan yang pantas untuk Mentari. Harus Mentari akui bahwa Pandu memiliki aura yang bisa mematikan ucapan lawan. Pandu cukup pandai berbicara. "Saya nggak akan pernah mau bantu kamu, Pandu!" *** "Mau sampai kapan sih, kamu berharap sama dia, Pan?" Pertanyaan itu sering Pandu dengar akhir-akhir ini. Pertanyaan yang bisa saja membuat dia menyerah. "Dia itu aneh, sombong. Buktinya berkali-kali kita mohon nggak pernah ada respons baik. Oh, ayolah, Pan, cari yang lain. Aku sama Piyan udah ada cadangan kok. Mau sampai kapan? Sampai acaranya berlangsung juga kalau dia bilang nggak mau, ya, nggak akan mau." Entah yang ke berapa kalinya Intan membahas hal yang sama kepada Pandu, tapi jawabannya akan tetap sama. "Tan, kasih saya waktu. Saya yang bertanggung jawab atas semuanya. Kamu mau 'kan acara sekolah ini berjalan dengan bagus?" "Emang bisa acara bagus dipersiapkan dadakan?" Bukan tanpa alasan Intan membahas hal serupa, dia juga memiliki wewenang atas acara sekolah yang akan diadakan dua minggu ke depan. Menjadi Wakil Ketua OSIS membuat Intan juga merasa memiliki tanggung jawab yang besar untuk kepentingan sekolah. Dia tidak bisa membiarkan Pandu berjalan sendiri tanpa dirinya. "Kamu nggak bisa seenaknya, Pan. Yang kerja itu bukan cuma kamu, proposal harus sudah diajukan. Tapi, apa sekarang? Kamu belum memutuskan apa-apa. Aku tahu semua ada di tangan kamu, tapi aku juga berhak atas tugas ini." Intan masih bersikeras dengan pendapatnya, begitu juga Pandu. Banyak hal yang telah mereka lalui, perbedaan pendapat terkadang membuat keduanya tidak bisa diajak berdiskusi dengan baik. Intan hanya menghela napas ketika Pandu diam saja. Intan berbicara lagi, "Emangnya apa, sih yang spesial dari si Mentari itu?" Mendengar nama Mentari membuat Pandu sedikit terusik. Dia menoleh sekilas melihat Intan yang terlihat kesal. "Apa istimewanya dia sampai kamu rela nunggu keputusan dari dia?" tanya Intan lagi. Inti dari anggota OSIS yang hadir hanya diam saja menyaksikan ketua dan wakil mereka berdebat. Jika sudah seperti ini, mereka tidak bisa berkata apa-apa lagi. Bukan mereka tidak ingin ikut campur, tapi mereka meyakini bahwa kinerja Pandu selalu berhasil dan sedikit kemungkinan untuk mengecewakan. Mereka mempercayakan Pandu, tapi melihat situasi dan waktu yang mendesak membuat mereka juga bingung. "Kita bahas besok, udah sore waktunya pulang." Pandu merapikan barang-barangnya membuat yang lain ikut melakukan hal yang sama. Intan tidak habis pikir dengan jalan pikiran Pandu. Dia kesal karena Pandu tidak menjawab perkataannya. Pandu merasa tertantang dengan penolakan Mentari. Jika sudah seperti ini, tidak ada yang tahu apa yang akan Pandu lakukan selanjutnya. *** Sore ini hujan turun deras. Hal-hal seperti ini yang Mentari inginkan, bahkan jika boleh meminta lebih, Mentari ingin selalu seperti ini; ditemani hujan. Tatapan orang-orang tidak membuat Mentari berhenti berjalan di derasnya hujan. Langkah kakinya terus membawa dia ke mana saja yang diinginkannya. Mungkin orang lain akan menganggap Mentari gila-membiarkan tubuhnya basah kuyup oleh derasnya hujan. Namun, inilah yang Mentari suka. Dunia Mentari ada pada hujan. "Ayah..." lirih Mentari sembari terus berjalan. Hal yang paling Mentari suka bahwa dia tidak perlu berbohong dan berpura-pura pada dunia adalah ketika hujan. Dia bisa menangis sejadi-jadinya menumpahkan seluruh perasaan yang selama ini dia pendam tanpa orang lain tahu. Air yang membasahi wajah hingga tubuhnya menemani air mata Mentari yang turun tak kalah deras dengan hujan. Jika bisa Mentari lakukan, dia ingin memeluk hujan dengan begitu eratnya. Dia selalu berterimakasih kepada Tuhan karena telah menghadirkan hujan sebagai teman yang tak pernah berkhianat. Mentari ingin seperti hujan yang tak pernah mengeluh bahkan ketika sudah jatuh berkali-kali. "Kamu ngapain hujan-hujanan?" Suara seseorang setengah berteriak tiba-tiba saja ada di sebelah Mentari dengan sepedanya. Sama seperti Mentari, dia juga basah kuyup. Bedanya dia masih mengenakan seragam sekolah. Mentari mengerjap, mengusap wajahnya yang terguyur rintikan air hujan. Dia melihat Pandu yang menatapnya. Mentari celingukan, jalanan sepi karena banyak yang memilih untuk berteduh menunggu hujan reda. Namun, dia melihat Pandu di sebelahnya dengan sepeda berwarna hitam. "Pulang!" Pandu setengah berteriak karena suaranya kalah oleh suara hujan. "Kayak orang gila jalan kaki sendirian waktu hujan deras begini." "Lebih gila mana sama kamu yang tiba-tiba datang basah kuyup dan nyuruh saya pulang?" balas Mentari berteriak agar bisa didengar oleh Pandu. Air mata Mentari terus mengalir, tidak peduli ada Pandu di hadapannya sekalipun itu tidak akan terlihat karena derasnya hujan. Mentari kembali berjalan, membiarkan Pandu yang masih berada di atas sepeda hitamnya. Mentari tidak mendengar suara Pandu lagi, dia juga tidak menoleh untuk memastikan keberadaan Pandu. Peduli apa soal Pandu? Bahkan Mentari hanya mengenal Pandu sebagai Ketua OSIS yang otoriter. Mentari masih menangis sendu. Tubuhnya mulai menggigil kedinginan, tapi Mentari tidak peduli. Kulit telapak tangannya mulai pucat dan mengeriput karena telah lama terkena air. Mentari bahkan tidak peduli keadaannya sendiri. Mentari sudah bersahabat dengan hujan, seperti ada ikatan cinta di antara mereka yang sulit dipisahkan. Mungkin setelahnya Mentari hanya akan terkena flu atau demam yang tidak berlangsung lama. Mentari hanya ingin menumpahkan segala perasaannya. Selama ini dia terlalu banyak menyimpan sesuatu di hatinya hingga lupa bahwa sewaktu-waktu muatan hatinya akan penuh dan bisa saja meledak. Mentari hanya manusia biasa yang juga memiliki keterbatasan. Bukankah manusia memang serba keterbatasan? Tidak akan mampu untuk menjadi sempurna. Pandu melihat Mentari yang masih berjalan di derasnya hujan. Pandu mengusap wajahnya, dia semakin yakin bahwa Mentari penuh teka-teki dan sulit ditebak. Mentari seperti sebuah puzzle yang sulit diselesaikan. Ada kepingan lain yang belum ditemukan membuat puzzle itu tidak lagi utuh. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN