bc

Sugar Daddy, Why Me?

book_age18+
24.2K
IKUTI
324.2K
BACA
student
drama
sweet
realistic earth
school
like
intro-logo
Uraian

NOVEL FULL PART SEASON 1-3, TAMAT.

Hanya karena secangkir kopi Vanilla Latte yang disuguhkan Anandeya Permana, Tuan Dhante Shie Widjaya harus rela mengejar gadis SMA yang magang di salah satu caffe miliknya hingga ke lubang semut.

Ada apa dengan kopi Vanilla Latte tersebut?

Yang pasti, ketika Tuan Dhante menyeruput kopi itu, ia teringat akan sosok Davia Sastra, kekasihnya yang menghilang dua tahun yang lalu.

Entah rindu atau marah, sikap dingin Tuan Dhante berubah menjadi posesif pada Deya. Pengusaha kalangan atas itu menyiapkan segala macam cara untuk menjerat Deya agar sang gadis tetap tinggal di sampingnya. Lalu bagaimana dengan Deya menyikapi sikap Tuan Dhante yang begitu posesif? Bisakah ia menyadarkan Dhante bahwa dirinya hanyalah anak SMA yang polos dan bukan Davia, kekasih Tuan Dhante yang telah berkhianat?

****

chap-preview
Pratinjau gratis
1. Kopi Vanilla Latte
*** "Tugas kamu adalah mencari keberadaan Davia. Aku tidak mau mendengar alasan apapun setelah ini." Seorang pria dengan jas warna hitam kelam terlihat sedang mematikan sambungan telepon dengan wajah masam dan kesal. Setelah memarkir mobil di samping cafe, pria itu turun dari dalam mobil lamborghini miliknya dengan sedikit tergesa. Pria bernama Dhante Shie Widjaya Berjalan cepat memasuki sebuah cafe elit dengan nuansa keindahan alam. Beberapa kuntum bunga mawar merah dan kuning terlihat mekar di berbagai sisi, sulur-sulur tanaman rambat berdaun warna-warni terlihat begitu menyatu dengan warna dinding cafe yang putih natural. Sang manager cafe— Tuan Dory, melihat kedatangan sang tamu spesial bergegas menyambutnya dengan sangat ramah. Meskipun pria tersebut tak menjawab dan terkesan dingin, sang manager cafe tetap memberikan sapaan yang begitu hangat. "Tuan Dhante, bagaimana kabar Anda? Sudah hampir satu bulan Anda tidak datang berkunjung," sapa hangat Tuan Dory dengan senyum ramah. Pria berjas putih rapi itu membungkuk sebentar guna menghormati pria berambut klimis tersebut. Seperti sebelumnya, Tuan Dhante hanya bergeming. Pria itu memilih duduk di salah satu sofa merah di ruangan VVIP dengan wajah dilipat tanpa minat. Pria itu menghempaskan bokongnya sedikit keras, melepaskan segala penat dan masalah yang tengah ia hadapi. "Buatkan aku kopi Vanilla Latte segera," instruksinya tanpa menatap Tuan Dory. Pria berahang tegas itu mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam saku celananya. Tanpa merasa sungkan, ia membuka bungkus rokok tersebut lalu mengambil sebatang untuk disulut. Tuan Dory hanya mengangguk sabar, ia masih tersenyum ramah pada pria yang ia kenal sebagai pemilik cafe yang saat ini tengah ia pimpin. "Kopi Anda segera datang, Tuan." Pria berjas putih lalu membungkuk, ia mohon pamit guna memesankan kopi Vanilla Latte kesukaan sang tuan pada barista yang bertugas pada saat itu. Suasana siang itu sangat panas, matahari yang bersinar terik seolah tengah berusaha membakar ibukota dengan setiap inci sinarnya yang terang. Seperti biasa, jika Dhante merasa kesal dan marah ia pasti menyempatkan diri mampir ke salah satu cafe miliknya dan memesan kopi Vanilla Latte. Soal Davia. Ya, masalah apalagi yang membuat pria itu pening selain masalah wanita itu. Masih teringat jelas bagaimana sang kekasih menghilang tanpa jejak lima hari sebelum pernikahan mereka. Geram, tentu saja. Dhante tidak pernah menyangka jika Davia—kekasihnya akan tega meninggalkannya tanpa alasan dan pergi menghilang tanpa jejak. Mendengkus kasar, Dhante mengisap rokoknya dengan cepat. Rasa frustrasi yang ia alami terkadang kambuh dan berefek pada kinerjanya. Jika ia tengah kesepian dan kebetulan teringat Davia, rasa kesal bercampur marah mendadak menguasai egonya. Dhante ingin marah, ingin meluapkan semua penderitaan yang ia pendam. Kedatangan Tuan Dory sejenak membuyarkan lamunan Dhante tentang Davia, ia melirik Dory sekilas lalu kembali mengisap rokoknya dengan frustrasi. Pria berkaca mata tebal itu kembali melayangkan senyum pada Dhante, perlahan ia meletakkan secangkir kopi Vanilla Latte yang ia bawa dari luar dan ia suguhkan di hadapan pria tersebut. "Silakan diminum, Tuan." "Ayolah Dory, jangan bersikap formal di depanku. Aku merasa sangat buruk dengan permasalahanku, jangan kau menambahinya dengan bersikap formal di depanku," dengkus Dhante dengan wajah masam. Pria itu mematikan rokoknya pada asbak yang tersedia. Mengendorkan dasi hitam yang melilit lehernya, Dhante segera melepas jas hitam yang sedari pagi mengungkung tubuh atletisnya. Dory kembali tersenyum, ia hafal betul bagaimana sifat Dhante saat ini. Pria itu mudah sekali marah terlebih frustrasi, jika ia menabur garam lagi maka jangan ditanya jika akhirnya Dory sendirilah yang akan menanggung segala amukan sang pemilik cafe tempat dimana saat ini ia mencari nafkah. "Apa soal Davia lagi? Ayolah Tuan Muda, jangan pikirkan Davia. Wanita itu sudah meninggalkanmu sejak dua tahun yang lalu. Seharusnya kau membuangnya jauh-jauh dari pikiranmu dan bersiap mencari pengganti untuk mempelaimu," saran Dory terdengar begitu serius. Dhante tersenyum miring, ia pesimis dengan apa yang disarankan Dory padanya. Mustahil bagi Dhante untuk melupakan satu-satunya wanita yang sudah merenggut seluruh isi hatinya. Kala itu hanya Davia yang sanggup menakhlukkan hatinya, tak mudah bagi Dhante untuk melupakan terlebih wanita itu begitu spesial. Menekan emosi yang perlahan memuncak, Dhante segera meraih cangkir berisi kopi vanilla latte dan menyeruputnya. Pria itu terbelalak, ia kaget dengan rasa yang ia kecap barusan, sungguh berbeda dari rasa kopi vanilla latte yang selama ini ia pesan. Merasa aneh, Dhante kembali menyeruput kopi itu guna mendapatkan sebuah detail rasa. Sungguh, kopi satu ini benar-benar berbeda rasanya. Tanpa pikir panjang, ia kembali menyeruput kopi itu berulang kali dengan perhatian penuh. "Tuan Dhante, apa yang terjadi? Apa ada yang aneh dengan rasa kopimu?" tanya Dory penasaran terlebih sikap Dhante yang tak biasa. Wajah khawatir mendadak terpasang di wajah Dory, ia takut ada yang salah dengan rasa kopinya. Jika begitu, Dhante tidak akan pernah habis dalam memakinya seharian. Dhante menatap Dory dengan pandangan tajam, ia meletakkan cangkirnya lalu mencuramkan alis. "Kopi ini rasanya sama seperti yang dibuat Davia untukku dua tahun yang lalu. Takarannya, porsinya, semua sama seperti yang Davia buat. Dory, siapa yang membuat kopi ini?" Dory terpaku sejenak, ia mengedipkan bola matanya beberapa kali guna mencerna setiap ucapan Dhante yang terdengar begitu terburu-buru. "Tuan, kau sedang tidak berpikir bahwa yang membuat kopi ini Davia 'kan?" "Ayolah Dory, tunjukkan padaku siapa yang membuat kopi ini!" desak Dhante tak sabaran, pria itu mengepalkan tangan lalu memukul meja sedikit keras. Dory terdiam sejenak, ia ragu untuk mengatakan hal yang sebenarnya pada Dhante. Pria di depannya itu, apa iya ia akan percaya pada ucapannya bahwa barista yang telah membuat kopinya adalah anak gadis SMA yang baru magang seminggu yang lalu? "Dory!" tegas Dhante menyadarkan lamunan sang manager. Pria berjas putih terkesiap, ia sadar jika mau tak mau ia harus mengatakan yang sebenarnya pada sang pemilik cafe. "Baiklah, bawa barista itu ke ruanganku segera!" Dhante memutuskan sambil beranjak berdiri dari sofa merah di ruang VVIP. Pria itu meninggalkan Dory seorang diri, ia tidak ingin mendengar alasan apapun setelah ini. Dalam pikiran Dhante, ia hanya ingin tahu siapa barista yang sudah membuat kopi senikmat itu. Bagi Dhante, mustahil ada orang yang bisa membuat kopi Vanilla Latte se-perfect Davia-nya. Saat ini, hanya Davia-lah yang bisa menghibur hatinya dengan secangkir kopi Vanilla Latte dengan takaran dan porsi yang pas. Lalu siapa barista itu? Entahlah. Dhante sendiri sangat penasaran. Ia sangat menantikan pertemuan itu, pertemuan dengan barista yang membuat kopi sesempurna kopi buatan Davia. *** Dory keluar dari ruangan VVIP, wajah seriusnya sama sekali tidak bisa disembunyikan. Pandangannya mengedar, ia tengah mencari sosok perempuan tertubuh ramping—, ah tidak, perempuan itu tidaklah ramping. Ia lebih pantas bila dijuluki perempuan kurus tanpa daging. Pandangan sang manager berkacamata tebal terhenti pada satu titik di pojok ruangan. Dia bisa melihat perempuan bernama Anandeya Permana tengah melayani beberapa pengunjung cafe dan bercanda bersama mereka. Sebagai seorang anak magang, Deya cukup ramah dan hangat bagi pengunjung dan para pelanggan. Tak sedikit dari mereka yang menanyakan nama anak itu dan memintanya untuk membuatkan kopi ternikmat. Alhasil, baru genap seminggu beberapa pelanggan bertambah dan mulai datang silih berganti. "Deya!" panggil Tuan Dory seraya menepukkan tangannya ke arah Deya. Nama yang dipanggil menoleh, sesaat Deya tersenyum pada para pelanggan dan mohon ijin untuk pergi sejenak. Dengan langkah sedikit cepat, Deya menghampiri sang manager yang sudah menanti di depan kasir. "Tuan Dory, Anda memanggil saya?" tanya Deya dengan wajah penasaran. Ada secuil rasa takut terlebih sang manager sendirilah yang memanggil namanya ditengah ia sedang asyik bercengkerama dengan pelanggan baru. "Pemilik cafe ingin bertemu denganmu. Kau sudah ditunggu di ruangannya," beritahu Dory dengan mimik wajah serius dan tanpa dibuat-buat. Jantung Deya mendadak berdebar, ada pikiran negatif yang kini tengah menyelubungi benaknya. Ada apa dengan dirinya hingga si pemilik cafe harus repot menyuruh Tuan Dory untuk menyampaikan pesannya? "Ayo pergilah! Tuan Dhante tidak suka menunggu lama," peringat Dory lalu merebut nampan plastik yang didekap Deya di perutnya. Deya terkesiap, ia kaget ketika Tuan Dory merenggut nampan itu dari kedua tangannya. Menganggukkan kepala, Deya bergegas berjalan menuju ke ruangan yang berada di samping ruang manager. Ruangan bercat magenta itu terlihat begitu mewah dan jarang ada orang yang masuk ke dalam kecuali untuk membersihkan barang dari debu-debu. Deya berjalan dengan lunglai, terbayang dibenaknya bagaimana si boss akan memarahinya habis-habisan. Sejenak berpikir, Deya bahkan merasa selama seminggu ini ia sama sekali tidak melakukan kesalahan. Jika bukan karena kesalahan lalu apa? Bagi sang pemilik cafe yang terbiasa hidup sibuk, mana mungkin ia tertarik mencari sumber masalah pada kisah Deya yang sudah rumit. Langkah lunglai Deya terhenti ketika ia sampai di depan pintu bercat magenta. Debaran jantungnya kian berpacu cepat, jujur saja sebenarnya ia tidak ingin bertemu dengan sang pemilik cafe. Mengangkat tangan kanan dengan ragu, Deya mengetuk pintu sedikit keras. Ia berharap jika sang pemilik cafe tidak memarahinya apalagi sampai murka kepadanya. "Masuklah!" Suara maskulin dan enak didengar itu muncul dari dalam ruangan. Dengan jari-jari bergetar, Dea mendorong pintu dan masuk ke dalam ruangan. Tatapan keduanya bertemu, hawa dingin langsung menembus kulit Deya. Pria di depan sana terlihat begitu dingin sekaligus arogan, Dhante bersedekap seraya bersandar pada meja dimana seluruh berkas masih menumpuk dengan rapi. Langkah Deya semakin lunglai ketika ia terpaksa berjalan mendekat ke arah Dhante. "Bapak memanggil saya?" Dhante belum menjawab, tatapan matanya kini bermain. Dilihatnya wajah gadis tersebut dari ujung rambut sampai ujung kaki. Seolah sedang menelisik, Dhante akhirnya menyimpulkan bahwa gadis itu adalah sedikit kemiripan dengan Davia. "Siapa namamu? Kenapa aku belum pernah melihatmu sebelumnya?" tanya Dhante mengintimidasi. Deya tertunduk, sesekali ia melirik sekilas pada pria kekar yang berusia kira-kira 38 tahun tersebut. Kenapa pria itu terlihat menakutkan? Ia bertanya saja membuat jantung Deya seakan rumtuh. "Sa-saya Deya, Pak. Kebetulan saya hanya anak SMA yang magang di sini," jelas Deya dengan sopan. Dhante menyipitkan mata, ia menarik napas dalam-dalam lalu beranjak dari hadapan Deya. Pria itu berjalan menuju ke jendela kaca yang berada di belakang meja kantor tersebut. Jendela kaca yang luas menampilkan pemandangan taman yang apik di luar sana. "Apakah kamu mau bekerja untukku?" tawar Dhante tanpa menatap Deya. Gadis itu sejenak terbengong, tidak mengerti harus menjawab iya atau tidak. "Kopi Vanilla Latte yang kaubuat sangat enak, aku begitu menikmatinya. Jika kau bekerja padaku, aku bisa menikmati kopi itu setiap waktu. Kau hanya perlu datang ke rumahku dan menunggu perintah dariku untuk membuat kopi, apa kau bersedia?" tanya Dhante serius, kali ini pria dengan bola mata warna coklat itu menatap ke arah Deya yang masih berdiri tegap di posisinya. Wajah Deya terlihat ragu, ia menimang-nimang tawaran boss cafe tersebut. Membayangkan keadaan neneknya di rumah yang tengah sakit membuat jiwa 'tak teganya' muncul. "Maaf Pak, sepertinya saya tidak bisa. Saya masih anak SMA kelas 3, saya harus fokus ke sekolah. Di sini saya hanya magang untuk mendapatkan nilai dari mata pelajaran kewirausahaan saya," jelas Deya tertunduk, tangannya bertaut satu sama lain. Wajah Dhante terlihat kecewa. Sekali lagi ia menyusuri bentuk tubuh gadis belia itu. Dari rambutnya yang panjang sepunggung, warna kulit, hingga ujung kakinya yang lumayan indah. "Kau tak perlu bekerja penuh di rumahku, aku hanya perlu kau membuatkan kopi di rumahku ketika aku pulang kerja. Dan itu artinya, aku hanya akan memanggilmu ketika aku butuh. Jangan khawatir soal gajimu, aku akan mengajimu lebih dari gaji yang cafe ini berikan padamu. Apa kau bersedia?" Lagi-lagi Dhante belum menyerah. Pria itu bersedekap, berjalan mendekat ke arah Deya. Rambut panjang sepunggung yang dikuncir ekor kuda tersebut mengingatkan Dhante akan model rambut Davia. Entah kenapa melihat sosok gadis itu, obsesinya pada Davia perlahan menggeliat dan bangkit. Deya mundur beberapa langkah ketika si boss benar-benar hadir di hadapannya. Aroma vanilla menguar dari tubuh maskulin pria itu, membuat Deya sejenak merasa mabuk dan bingung harus menghindar. "Tapi Pak, saya tetap tidak bisa. Nenek saya sakit, selain harus bersekolah dan menamatkan pendidikan, saya harus menjaganya. Nenek adalah satu-satunya anggota keluarga yang saya punya," ucap Deya pelan tanpa berani menatap bola mata Dhante yang kini tertuju padanya. Pria tinggi bertubuh kekar terdiam sejenak, ia kembali maju mendekat lantas menyentuh dagu lancip Anandeya Permana. Gadis itu terkesiap, tatapan keduanya kini bertemu cukup lama. Dhante terbungkam saat melihat bola mata berwarna coklat itu menghunjamnya. Kenapa semua terasa kebetulan? Ah, warna mata gadis itu bahkan sama seperti yang Davia punya. Hasrat Dhante menggelegak, kerinduan dan kemarahan pada Davia kini membayang di dalam benaknya. Ia harus memiliki gadis ini apapun kendalanya. "Bagaimana jika aku menawarkan pengobatan untuk nenekmu? Selain itu kau bisa bersekolah dengan tenang tanpa memikirkan biaya. Kau juga mendapatkan gaji penuh setiap kali kau membuatkan aku kopi di rumah. Bagaimana? Seharusnya kau bersedia karena pria royal sepertiku jarang menawarkan pilihan hingga beberapa kali pada seorang gadis sepertimu," ucap Dhante setengah berbisik di depan wajah Deya. Gadis itu gelagapan, ia melepaskan diri lalu berjalan mundur. Tak ingin terlibat dengan boss yang menakutkan tersebut, Deya lalu membungkukkan badan. "Terima kasih Pak tapi maaf sepertinya saya tidak bisa. Saya mohon pamit untuk bekerja, Pak." Deya berbalik badan, buru-buru meninggalkan ruangan. Hal ini membuat Dhante kecewa lantas menyeletuk sedikit keras ke arah Deya. "Jika kamu tidak mau, aku bisa meneror kamu di sekolah kapanpun aku mau. Pikirkan tawaranku baik-baik atau kau akan merasa malu di depan guru dan teman-temanmu." ****** Hai, jika kamu suka silakan tap love ya. Biar updatenya bisa lancar dan bisa baca gratis.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Istri Simpanan CEO

read
214.5K
bc

Daddy Next Door

read
232.4K
bc

I Love You Dad

read
293.2K
bc

Dia Suamiku

read
821.1K
bc

Jasmine

read
211.4K
bc

Daddy Bumi, I Love You

read
36.0K
bc

Stuck With You

read
75.8K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook