"Ibu, apa semua Yurza punya tanda lingkaran matahari berwarna emas di lehernya?" tanya Ellyora.
Elena meletakkan pisau, menghentikan aktivitasnya memotong kentang sebelum menoleh pada Ellyora yang sedang duduk membantunya menyiapkan sarapan di dapur. Tidak biasanya putri pertamanya itu tertarik bertanya-tanya tentang Yurza.
"Tidak, Nak. Dulu nenekmu pernah bilang pada Ibu, keluarga Kinsey tidak memiliki simbol itu."
Wajah Ellyora memucat, wortel di tangannya terlepas. Ia ingat betul lelaki yang ditemuinya di kebun tomat tidak memiliki tanda apa pun di lehernya. Mungkinkah laki-laki aneh itu adalah anggota keluarga Kinsey?
Ellyora menggelengkan kepalanya sebelum kembali bertanya pada Elena. "Kalau mereka tidak memiliki simbol itu, lalu bagaimana Albara seperti kita bisa tahu kalau orang itu keluarga Kinsey?"
"Ummm... agak sulit." Elena menghela napas, mengingat-ingat apa yang pernah ia dengar dari mendiang Ibunya. "Untuk mengetahui identitas keluarga Kinsey, dibutuhkan bubuk daun Zipthus."
"Bubuk daun Zipthus?"
"Benar. Bukankah dulu kau suka bermain gerabah bersama mendiang nenek? Apa saat itu nenek tidak pernah bercerita padamu?"
Ellyora meringis polos. "Entahlah. Aku tidak begitu mengingatnya."
Elena berdecak pelan. Merasa prihatin terhadap daya ingat putrinya tidak begitu bagus.
"Ibu? Bisakah Ibu ceritakan tentang bubuk daun Zipthus itu?"
"Tentu saja," kata Elena. Kemudian tersenyum lembut sebelum memulai penjelasannya. "Dulu nenekmu sempat tinggal di Osmond sebagai peramu, dan di sana bubuk daun Zipthus itu dibuat. Mungkin nanti kau bisa melihatnya ketika sampai di Osmond. Bubuk itu berwarna ungu, hampir seperti warna anggur, tetapi tidak berbau apa pun."
"Hmmm," respon Ellyora. "Bagaimana cara kita mengenali keluarga Kinsey dengan bubuk itu?"
"Dengan menaburkannya. Jika orang itu keluarga Kinsey, maka matanya akan menyala merah, lalu kemampuan sihir mereka melemah," terang Elena. "Sayangnya ... bubuk itu hanya mampu melemahkan saja, sedangkan kalau untuk menghilangkan sihir mereka, kita membutuhkan bunga Zipthus. Tapi yang terjadi, sudah dua ratus tahun pohon Zipthus berhenti berbunga."
Ellyora mengangguk paham. "Kalau begitu, besok sepulang dari Osmond aku ingin membawa bubuk daun Zipthus untuk Shira."
"Tidak semudah itu, Nak. Tidak semua Albara boleh memiliki bubuk daun Zipthus. Saat ini hanyalah pasukan The Keepers yang boleh menggunakannya."
The Keepers. Ellyora rasa ia pernah mendengarnya. Oh, benar. Ternyata dulu Neneknya pernah bercerita padanya tentang pasukan itu, tetapi sayangnya saat itu ia tidak begitu tertarik.
"Ada apa, Nak? Apa ada sesuatu yang kau khawatirkan dan tidak Ibu ketahui?"
Ellyora terdiam sejenak sebelum menatap Elena penuh rasa bersalah. "Ibu, maafkan aku."
Melihat wajah putrinya sendu, Elena menjadi bingung. Padahal, selama ini ia mengenal Ellyora bukan termasuk gadis yang cengeng.
"Ada apa? Ceritakan pada Ibu."
Terdengar suara langkah kaki dari luar menuju pintu belakang dapur. Itu adalah Marliah yang hendak masuk ke dapur. Tetapi kemudian urung saat wanita tiga puluh tahun itu melihat Elena dan Ellyora yang mungkin sedang dalam obrolan pribadi. Dengan penuh pengertian, Marliah kembali ke pancuran belakang rumah meski ikan-ikan di keranjang yang ia bawa sudah selesai dibersihkan.
"Ibu," ucap Ellyora ragu-ragu. Tak lama kemudian, ia menceritakan kejadian yang dialaminya di kebun tomat pada Elena.
***
"Lalu bagaimana agar putriku selamat sampai ke Osmond?" tanya Harry. Tangannya gusar di atas meja makan, sementara kekhawatiran sudah tak terbendung di wajahnya.
"Tenanglah. Kurasa aku tahu seseorang yang bisa membantu." Di seberang meja berhadapan dengan Harry, Gery berusaha mengusulkan solusi.
"Seseorang?" tanya Harry lagi tak sabar.
"Ya, kurasa dia bisa mengantarkan Ellyora ke Osmond."
"Siapa dia? Apa kau yakin putriku bisa aman kalau bersamanya?" Elena yang sedang membereskan gerabah di meja makan usai sarapan ikut bertanya.
Mendengar diskusi di meja makan tersebut, Ellyora mulai pusing, maka begitu tugas membereskan dapur selesai, ia langsung meninggalkan ruang tengah dan duduk di ruang tamu. Masalah yang menimpanya belum selesai, Ellyora sadari itu. Tetapi setidaknya saat ini ia merasa jauh lebih lega karena telah menceritakan kejadian di kebun tomat pada Elena.
Tidak sampai lima menit duduk, Ellyora mendengar seruan Shira dari arah halaman rumah. Sesudah sarapan, Shira memang merengek minta ijin untuk bermain bersama kucingnya di sana. Ellyora pun beranjak keluar untuk memeriksa, khawatir sesuatu terjadi pada adiknya.
Begitu sampai di ambang pintu, Ellyora tertegun untuk beberapa saat. Di dekat pot-pot tanaman yang ada di halaman rumah, Shira terlihat sedang mengusir sesuatu.
Si kucing liar yang sedang diminta pergi oleh Shira lalu menggeram-geram. Nalurinya sebagai kucing pejantan, membuat kucing liar berwarna oranye itu ingin mengajak Dexter berkelahi. Tetapi apa daya Dexter. Ia hanyalah kucing gadungan. Melihat kucing oranye itu menunjukkan taringnya, Dexter hanya mampu bersembunyi di belakang kaki Shira. Syukurlah, setelah sebelumnya Shira menyelamatkannya di sungai, kini gadis itu juga kembali menyelamatkannya dari ancaman kucing lain. Nampaknya Dexter mulai tersentuh akan kepedulian gadis itu.
Setelah berhasil membuat kucing oranye itu pergi, Shira buru-buru membopong Dexter menaiki anak tangga menuju teras. Ellyora hanya memperhatikan dan mengawasi adiknya dari kursi teras.
"Jangan khawatir Tummy. Selama bersamaku, kau akan baik-baik saja," kata Shira, dan Dexter hanya diam pasrah, mengikuti arahan gadis itu yang menyuruhnya menghadap pot-pot tanaman di teras. "Sekarang, kita lanjut belajar lagi, ya? Yang ini namanya bunga mawar."
Tadinya Ellyora hanya berniat diam dan mengawasi saja. Tetapi melihat adiknya semakin aneh, ia jadi tak bisa menahan diri bertanya. "Kau sedang apa?"
"Mengajari Tummy." Shira menjawab tanpa menoleh pada kakaknya.
Ellyora hanya terkekeh lalu kembali mengamati kucing yang kini tak jauh dari pandangannya. Terlihat sesuatu melingkar di leher kucing hitam itu. "Shira, bukankah itu gelang manik-manik yang dibelikan Ayah untukmu?"
Shira mengangguk. "Kenapa, Ell?"
"Kenapa mengalungkan pada kucing itu?"
"Sebagai tanda pertemananku dengan Tummy."
"Kalau sampai tahu, Ayah bisa marah. Lepaskan saja gelang itu, Shira."
Dexter menggeram.
"Astaga!" Tangan Ellyora menangkup d**a karena kaget. "Shira, lihat! Kucing itu baru saja menggeram padaku!"
"Kau harus berkata hati-hati pada Tummy, Ell. Dia itu tetap makhluk hidup yang punya perasaan." Shira membela kucing kesayangannya, sehingga seulas senyum diam-diam mendesak dua pipi Dexter yang gemuk dan berkumis putih panjang.
"Ah iya, terserah lah." Ellyora tak mau melanjutkan.
Shira kembali menghadapkan wajah Dexter pada tanaman hias milik Marliah. "Ayo belajar lagi Tummy. Kalau yang ini bunga lili, bunga yang paaaliiing aku suka!"
Ellyora mengerutkan kening. Daripada makin pusing, ia lalu mengalihkan perhatiannya, dan melihat-lihat jalan yang tak begitu lebar di depan rumah. Jalan itu adalah jalan pasar, karena rumah Gery dan Marliah berada di antara toko-toko yang berjejer di pasar kota Eden.
Jalan pasar kota Eden di pagi hari nampak lebih hidup dari pada semalam. Beberapa orang lalu lalang di jalan itu dengan berjalan kaki. Hanya satu dua yang terlihat menunggang kuda. Ellyora hanya bisa memandangi dari jauh, menelan rasa penasarannya. Ini kali pertama ia melihat kuda lebih jelas, dan sebenarnya ia akan senang sekali jika bisa menyentuh hewan itu.
Perlahan, gerimis mulai turun. Laki-laki tua, wanita beserta anaknya, dan seorang gadis nampak mulai mempercepat langkah. Mereka berlindung di bawah naungan payung masing-masing. Terlihat juga seorang lelaki paruh baya dengan langkah tergesa-gesa menjinjing keranjang-keranjang besar penuh barang yang mungkin akan dijual ke pasar. Seperti pakaian yang dikenakan Ellyora, orang-orang tersebut juga mengenakan pakaian berbahan kasar dan sederhana.
"Ell, tolong jaga Tummy sebentar. Aku ingin ke kamar mandi." Shira meletakkan Dexter di kursi begitu saja.
"Eh, Shira?" Ellyora hendak menolak, tapi Shira sudah terlebih dulu lari dan masuk ke dalam rumah. Menghela napas, Ellyora lalu melirik wajah kucing di sampingnya yang juga sedang menatapnya. "Aku heran kenapa adikku begitu suka denganmu?"
"Meong." Dexter menjawab bahwa ia juga tidak tahu.
"Kau bilang apa? Kau juga menyukainya?" Ellyora terkekeh.
Dexter membantah. "Meeeeoooong!"
Ellyora mengibaskan tangannya. "Iya iya aku tahu, tak perlu kau jelaskan. Tapi meski adikku sangat menyukaimu, aku tidak berniat membelaimu seperti yang dia lakukan. Jadi jangan berharap."
Mata Dexter menyipit. Ternyata calon kakak iparnya sama menyebalkannya dengan Edbert.
Kalian benar-benar berjodoh!
Dexter mencibir dalam hati.
"Lama sekali anak itu." Ellyora melongok ke dalam rumah. "Shira? Kenapa lama sekali?"
Tiba-tiba saja, Dexter melebarkan matanya. Lalu dengan cepat, ia lari ke jalan karena mengejar sesuatu ... atau seseorang. Ellyora terkesiap mendapati kucing di sampingnya melompat lari.
"Eh? Tummy!"
Dengan cepat, Ellyora menyahut payung merah miliknya yang terlipat di teras. Kemudian sambil berlari mengejar Dexter, ia mengembangkan payung itu karena masih gerimis. Tak ada yang sadar akan kepergian Ellyora, sebab semua penghuni rumah cat biru itu kebetulan masih sibuk berdiskusi di ruang tengah, semantara Shira belum kembali dari kamar mandi.
"Tummy!" seru Ellyora. "Kau akan ke mana? Berhenti! Nanti aku dimarahi Shira!"
Ellyora berhenti berlari setelah kucing yang ia kejar menghilang entah ke mana. Ia terengah-engah, memegangi pinggangnya yang sedikit encok. Ellyora menoleh ke belakang. Halaman rumah Marliah sudah tertutup barisan toko-toko di pasar Eden.
Dengan bingung, gadis itu celingukan, lalu menghentikan pandangannya pada bahu jalan. Ada tumpukan kayu di sana, mungkin tingginya dua kali lipat tubuh Ellyora.
Apakah mungkin Tummy bersembunyi di sana?
Ellyora mencoba mendekati tumpukan kayu itu dan mulai mencari ke celah-celah. Meski begitu, ia tak berani memindah atau menggeser kayu satu pun, karena sepertinya tumpukan kayu itu adalah milik toko bangunan yang masih tutup.
Belum juga pencariannya membuahkan hasil, Ellyora dikejutkan oleh sesuatu. Bukan kucing yang ia temukan di balik tumpukan kayu itu, melainkan pemandangan seorang pria berbaju lusuh yang kedua tangannya tengah dijegal oleh dua orang pria berpakaian seperti preman. Dua pria lagi bersidekap di hadapan si lelaki lusuh sambil menatapnya bengis.
"Lepaskan!" seru si lelaki lusuh tidak terima, lalu nampak berusaha melepaskan kedua pergelangan tangannya dari jeratan tangan preman itu.
"Cepat serahkan yang kau curi!" seru lelaki dengan kalung rantai besar di lehernya.
"Mana buktinya? Aku tidak mencuri!" tegas lelaki lusuh.
Kedua preman yang menjegal tangannya tertawa mengejek.
"Kau sembunyikan di mana jam itu, hah? Dasar kismin! Eh, miskin!" Lelaki berbadan gemuk yang rambutnya diwarnai hijau membuang ludah.
Rasa kemanusiaan Ellyora sebagai suku Albara bergejolak. Ia tak terima jika orang miskin diperlakukan semena-mena. Ia harus membantu, tapi ia tidak sedang membawa pedangnya.
Ellyora melirik pada payung yang menaunginya. Payung itu memiliki ujung yang cukup runcing di bagian atas. Tidak ada pedang, anggap saja payung pun jadi.
Tanpa aba-aba, Ellyora menutup payungnya lalu menyabetkan payung itu secara membabi buta pada si empat preman. "HYAAAAAAAA! Minggir! Minggir kalian!"
"Bangsát! Siapa wanita ini!" teriak salah satu preman lalu melepaskan tangan si pria lusuh. Preman yang lain menghindar.
"Mati kalian jika mendekat! HYAAAA!" Ellyora terus menyabetkan payungnya pada preman yang menghindar ke sana ke mari. "Dasar, kalian semua preman tak bergunaaaaa!"
Si pria lusuh terpana melihat keberanian gadis yang kini telah berdiri membelakanginya. Dengan napasnya yang memburu, Ellyora mengacungkan bagian runcing payung merah pada ke empat preman itu. "Aku benci orang yang menindas rakyat miskin!"
Seolah menambah unsur dramatis, suara petir tiba-tiba menggelegar. Keempat preman tertawa bersamaan, membuat Ellyora makin kesal. Sejujurnya ia tak biasa dikelilingi orang asing begini. Namun, ia juga tidak bisa menolak hati nuraninya untuk membela orang tertindas.
Si lelaki lusuh yang berpostur tinggi di atas rata-rata itu membungkuk dan berbisik di belakang Ellyora. "Aku sangat terkesan, tapi mereka sebentar lagi akan membunuh kita."
Ellyora terkesiap. "Eh?"
"Kau tidak tahu? Mereka punya tongkat sihir," jelasnya lagi.
Salah satu preman dengan rambut gaya mohak menyeringai lalu tangan kanannya terlihat hendak mengambil sesuatu, sebuah tongkat. Sebelum tongkat itu terlihat keluar dari dalam saku celananya, dengan cepat si lelaki lusuh meraih tangan kanan Ellyora dan menggandengnya lari.
"Kabuuuur..."
"Heh! Jangan lari kalian!" kejar keempat preman.
Ellyora tak bisa berkata-kata. Di antara rintik gerimis, si lelaki lusuh menggandeng tangannya dan mengajak berlari masuk ke gang-gang pasar. Semakin jauh mereka berlari, semakin erat juga genggaman lelaki itu.
***