Tak jauh di sebelah selatan kerajaan Snowden, yaitu di pinggiran kota yang bernama Trayton—salah satu kota terluar kerajaan Iord, seorang gadis dengan gaya rambutnya yang pendek tak beraturan sedang berjalan sendirian. Sebungkus roti yang tinggal separuh digenggamnya dengan erat. Sengaja ia simpan untuk mengganjal perutnya nanti malam. Gadis itu merasa bersyukur. Beberapa menit yang lalu, saat tubuh lemahnya hampir roboh karena tak lagi bisa menahan lapar, seseorang berbaik hati datang dan memberinya sebungkus roti itu.
Kini gadis itu tidak tahu lagi akan ke mana. Sebenarnya ia punya tempat tujuan, tetapi dengan ketidakberdayaannya sekarang, mustahil untuk sampai ke tujuan itu. Entah nanti akan bagaimana, saat ini gadis berusia 19 tahun itu hanya terus berjalan, membawa langkahnya seperti air yang mengalir di tepi jalan kota yang sepi.
Sesekali ia menoleh ke kanan dan kirinya, memastikan tidak ada sosok jahat yang menguntit. Beruntung, sampai sejauh ini ia tak menemukan sosok yang mencurigakan, tapi tetap saja gadis itu belum bisa bernapas lega. Ia sadar, tidaklah aman bagi seorang gadis Albara sepertinya berkeliaran sendirian, terlebih lagi kota Trayton telah banyak didatangi para penyusup Yurza.
Langkah gadis itu mendadak surut ketika ia sampai di pertigaan jalan. Entah dari arah mana, dua sosok lelaki botak berperawakan tinggi besar tiba-tiba muncul di hadapannya. Jika penduduk kota mungkin akan menganggap dua laki-laki itu sebagai gelandangan karena pakaian mereka yang compang-camping, tetapi tidak bagi si gadis. Ia adalah suku Albara yang memiliki kelebihan khusus. Tidak sulit bagi dirinya mengenali tanda lingkaran emas matahari yang tercetak di leher dua lelaki tersebut.
Mereka adalah pesuruh Yurza. Gadis itu sangat yakin, karena ini kali ke dua ia menghadapi bahaya seperti ini. Waktu itu dia bisa selamat berkat ada anggota The Keepers yang kebetulan berpatroli kemudian menolongnya. Tapi sekarang ia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Entah kali ini ia akan selamat atau tidak, karena di pertigaan itu tak terlihat ada orang lain selain dirinya dan dua pesuruh Yurza yang kini sedang menatap buas padanya.
Seringai licik dua pria botak itu membuat si gadis ketakutan, tentu saja. Ia tak memiliki senjata apa pun untuk melawan. Satu-satunya cara yang mungkin bisa ia lakukan untuk menyelamatkan diri adalah berlari.
Dengan sisa-sisa tenaga, gadis itu secepatnya berbalik arah dan berusaha lari sekencang kemampuannya. Ia berharap keajaiban datang sehingga dirinya bisa lolos dari dua pria botak yang kini mengejarnya. Si gadis terus berlari hingga ia melihat deretan rumah-rumah di sisi kirinya. Berharap ada salah satu dari penghuni rumah itu yang akan menyelamatkannya, si gadis berteriak minta tolong.
Namun, sepertinya sia-sia saja. Dari sekian banyak rumah itu, tak satu pun penghuninya yang keluar meski gadis itu telah berteriak berulang kali. Semua rumah itu nampak tak berpenghuni. Atau memang sudah tak berpenghuni, gadis itu tak tahu. Semenjak kejahatan jalanan dan penculikan merebak di kota Trayton, beberapa rumah memang banyak yang ditinggalkan. Rata-rata pemiliknya pindah ke kota ataupun kerajaan timur lain yang lebih aman.
Usai sudah. Tak ada yang bisa diharapkan lagi dari semua rumah itu. Meski begitu, si gadis belum menyerah. Ia tetap berlari bahkan semakin kencang. Sesekali terdengar ejekan dari dua lelaki botak yang belum berhenti mengejar di belakangnya.
Kini gadis itu sampai di pekarangan pohon bambu yang sepi. Ia menghentikan langkah. Selain karena ia sudah tak kuat lagi berlari, juga ternyata jalan di depannya buntu. Dengan napas tersengal-sengal, gadis itu menoleh ke belakang. Betapa terkejutnya ia ketika dua lelaki botak itu sudah berdiri tepat di belakangnya sambil memasang seringai mengerikan.
Si gadis mencoba menghindar. Tapi dengan kasar, salah satu lelaki botak mencengkram kerah bajunya, hingga membuat gadis bertubuh kecil itu menjinjitkan kaki. Kain berbahan kasar dan rapuh yang gadis itu kenakan pun seketika robek tepat di bawah kerah.
Lelaki itu kemudian mendekatkan wajahnya, mengendus dengan sangat menjijikkan ke arah si gadis. Seolah gadis itu adalah buruan yang siap dieksekusi dengan tongkat sihir di tangan kanannya. Mulut lelaki botak itu pun komat-kamit tak lama kemudian, dan jelas ia sedang merapalkan mantra.
Tak bisa dicegah. Sebagai Albara, si gadis pun bereaksi. Iris matanya yang berwarna coklat tua perlahan berubah ungu terang. Melihat perubahan tersebut, si lelaki pesuruh Yurza itu lantas tertawa sehingga terlihat gigi depannya yang ompong.
"Lihat mata gadis lemah ini! Akhirnya kita bisa menangkap buruan yang bagus!" seru lelaki ompong kepada temannya.
"Kau benar! Tuan kita pasti akan senang melihatnya! Cepat bawa dia. Aku tak sabar mendapat bayaran, lalu kita akan berpesta tujuh hari tujuh malam!" timpal lelaki satunya yang memiliki codet di pipi kiri, lalu mereka tertawa terbahak-bahak.
Gadis itu tak kuasa menutup hidung, karena napas lelaki ompong di hadapannya sungguh bau. Si Ompong yang melihat hal itu tak terima. Ia menggeram dan tangannya yang terlampau berotot dengan mudah membuat tubuh gadis mungil itu melayang. Bola mata si Ompong serasa hampir keluar karena sangat marah.
Si Sodet tak mau kalah. Ia menjambak rambut si gadis hingga gadis itu memekik menahan sakit.
"Hei!"
Sebuah seruan misterius membuat si Ompong dan si Codet menoleh secara bersamaan ke arah belakang.
"Hanya seorang pecundäng yang bermain-main dengan gadis lemah," lanjut si suara misterius yang ternyata berasal dari seorang lelaki berjaket kulit hitam. Ia menyilak rambut pirang sebahunya ke belakang, dan sebagiannya lagi yang lebih pendek, terurai melewati iris matanya yang berwarna hijau emerald.
Bertemu dengan lelaki misterius itu, si Ompong dan si Codet tidak merasa takut sedikit pun. Wajah mereka bahkan memasang ekspresi meremehkan ketika melihat lelaki di hadapannya mulai mengeluarkan bilah pedang katana dari sarungnya.
BRUK!
Dengan gerakan kasar, si ompong membanting tubuh gadis malang itu ke tanah sehingga membuat si gadis pingsan seketika.
Si codet tertawa terbahak-bahak setelah memperhatikan simbol bunga berwarna ungu yang terukir pada bagian tengah sabuk si lelaki misterius.
"Lelaki berbunga datang! Uwo... uwo! Lelaki berbunga datang!" ejek si Codet.
Di sampingnya, si Ompong ikut menertawakan ukiran bunga pada sabuk si lelaki misterius. Pesuruh Yurza sepertinya tahu bahwa ukiran bunga berwarna ungu itu adalah bunga Zipthus. Dahulu para leluhur bangsa kesatria menggunakan bunga itu untuk menghilangkan kemampuan sihir Yurza. Namun, selama dua ratus tahun terakhir kehadiran bunga itu seolah lenyap dari bumi karena pohon Zipthus berhenti berbunga.
Si Codet yang wajah hitam legamnya sudah dibanjiri keringat dengan percaya diri meludah ke arah si lelaki misterius, lalu berbicara pada si Ompong. "Kita lihat saja, apa yang bisa dilakukan oleh lelaki berbu—"
Belum sampai cemoohan si Codet selesai, mereka dikejutkan oleh hilangnya si lelaki misterius dari hadapan mereka.
"Aaaargh!" teriak si Ompong tiba-tiba. "Bajíngan tengik! Apa yang terjadi dengan punggungku! Sakit sekali!"
Si Codet memeriksa punggung temannya dan langsung ternganga. Nampak darah sudah mengucur dari sebuah sayatan dalam dan panjang di punggung temannya itu. Mungkin panjangnya lebih dari 30 sentimeter.
"Bro, pu—pu—punggungmu berdarah!" kata si Codet dengan bergidik ngeri.
Gigi si Ompong yang sebenarnya hanya tersisa sedikit mulai bergemeretak. Dengan murka, ia berbalik siap membalas si lelaki misterius yang berdiri di belakangnya. Sementara, si lelaki misterius hanya membalas tatapan itu dengan senyum tenang.
"Aku berikan tawaran menarik. Kau penuhi keinginanku, maka aku akan membiarkanmu pergi. Bagaimana?" tawar lelaki misterius.
"Omong kosong!" balas si Ompong. "Kenapa aku harus mempercayaimu, hah!"
"Tentu saja karena aku seorang Albara. Dan seperti yang kalian tahu, Albara tidak akan melupakan janjinya," jawab lelaki misterius santai seraya membetulkan sarung hitam yang membungkus telapak tangan kanannya.
"Cih! Janji, janji! Apa itu janji! Aku tak butuh semua itu! Jangan berharap aku akan termakan janjimu, karena kau akan kulenyapkan sekarang juga!" seru si Ompong. Ia merapalkan mantra dan mengacungkan tongkat di tangan kanannya. Sebuah bola api sebesar genggaman tangan muncul dari tongkat itu dan dengan sangat cepat melesat ke arah lelaki misterius. Si Codet berdiri di samping si Ompong, memberi kesempatan agar temannya bisa membalas dendam.
Seolah tahu ke mana arah lesatan bola api yang sangat cepat itu, si lelaki misterius yang kini iris matanya menyala ungu dengan mudah berhasil menghindar. Kobaran bola api itu meleset dan menciptakan kepulan asap hitam setelah mendarat di sebuah batang pohon bambu.
Si Ompong menjajal kemampuan lagi dengan melesatkan sihirnya. Lagi dan lagi. Tapi dengan lihainya si lelaki misterius menangkis serbuan bola api itu dengan pedangnya. Bola terakhir, bahkan sampai terbelah.
Melihat aksi itu, darah si Ompong menggelegak naik. Ia sudah tak bisa menahan amarahnya lagi. Dengan penuh rasa percaya diri, ia maju dan menyerang. Tangannya yang kekar mengepal.
"HYAAAA!"
CRUSH!
Dalam satu detik, pedang si lelaki misterius menebas lehernya. Tubuh si Ompong ambruk ke tanah. Darah segar mengucur dari urat leher itu. Sementara kepalanya menggelinding ke depan si Codet.
Si Codet menatap ngeri penampakan bangkai kepala temannya yang tragis, dengan lidah menjulur, juga kedua bola matanya hampir keluar. Si Codet sadar, ia bukan tandingan si lelaki misterius.
Dengan gamang, ia berusaha melarikan diri. Namun, setelah berbalik dua sosok lelaki bersabuk sama dengan yang dipakai si lelaki misterius telah menghadangnya. Yang satu berjaket kulit warna coklat dengan ikat kepala hitam yang menutupi dahinya, sementara lelaki satunya lagi berpakaian serba hitam dengan rambut jabrik coklatnya yang mencolok. Keduanya sama-sama sudah memegang pedang katana di tangan kanan seraya menatap si Codet.
Menyadari sudah dikepung, si Codet berusaha melakukan perlawanan dengan merapalkan mantra sebelum mengacungkan tongkat sihirnya. Namun, belum sempat sihir itu melesat, salah satu lelaki yang memakai ikat kepala hitam menebas leher si Codet hingga darah segar pun muncrat ke tanah.
Dua pria botak yang merupakan pesuruh Yurza itu terkapar mengenaskan. Menebas leher adalah cara tercepat untuk membunuh mereka, karena tanda lingkaran matahari akan membuat si pemiliknya menjadi lebih kuat dan tak mudah dikalahkan kecuali urat leher mereka terputus.
Lelaki misterius menaburkan bubuk berwarna ungu yang merupakan bubuk daun Zipthus di atas dua bangkai kepala itu. Dalam hitungan detik, dua bangkai kepala dan tubuh itu melebur jadi abu.
"Bagaimana, Ketua? Bukankah sekarang aku tak kalah cepat darimu?" kelakar si lelaki berikat kepala seraya mengelap darah di pedangnya lalu memasukkan kembali ke sarung.
Lelaki misterius yang sebenarnya tak senang dipanggil ketua itu hanya tersenyum tipis. "Jadi haruskah sekarang aku menguji kemampuanmu, Banks?"
Banks melongo, sebelum akhirnya tertawa sambil memijat dahinya yang terhalang ikat kepala berwarna hitam. "Aaaahhh... ti—tidak ketua, tentu saja tadi aku hanya bercanda."
Banks tertawa sendirian, sementara dua temannya hanya menatap datar. "Ya-ya-ya ... ah sudahlah lupakan saja lelucon garingku!"
Lelaki berambut jabrik tak berkomentar lalu berjalan mendekati gadis yang pingsan tadi. Ia berlutut dan menempelkan kedua jarinya ke leher gadis itu.
"Kai, gadis ini masih hidup." Ia memberitahu pada sang ketua. Hanya Jake anggota yang memanggil lelaki misterius bermata emerald itu dengan namanya, yaitu Kai Xavier.
Tak berapa lama, gadis itu tersadar. "The Keepers? Terima kasih telah menolongku."
"Di mana rumahmu? Kami akan mengantarmu pulang." Jake berkata pelan pada gadis itu.
Dengan sisa tenaga yang ia punya, si gadis berusaha duduk. "Aku sudah tidak punya rumah. Kedua orang tuaku sudah meninggal, dan sampai usiaku sekarang 19 tahun, tak ada kerabat yang mencariku. Bolehkah aku ikut dengan kalian dan menjadi The Keepers?"
"Kondisi gadis itu akan menyulitkan kita menuju Snowden. Tapi, keputusan ini kupercayakan padamu," kata Kai menjawab tatapan Jake yang mengarah padanya, seolah meminta persetujuan.
Jake kembali menatap iba pada si gadis Albara itu. "Terlalu berbahaya gadis Albara 19 tahun sepertimu berkeliaran sendirian. Apa kau bisa berpedang?"
Gadis itu mengangguk lemah. "Sedikit."
"Baiklah. Akan aku ijinkan kau ikut bersama kami. Tapi jika kau ingin menjadi The Keepers, pertama kau harus belajar melindungi dirimu sebelum belajar menyelamatkan orang lain. Kebetulan kami The Keepers biasa membawa dua pedang di punggung kami. Sementara ini, kau bisa memakai pedangku dulu. Kalau kita bertemu tukang pandai besi, kau bisa membuat pedang yang cocok untukmu." Jake memberikan salah satu pedang katananya pada si gadis. "Dan siapa namamu?"
Gadis itu menerima pedang berjenis tachi itu dengan kedua tangannya. Ukuran pedang itu yang lumayan panjang, membuat si gadis sedikit merasa ragu apakah ia bisa menggunakannya atau tidak. Tetapi ia akan mencoba. "Terima kasih. Namaku Thalaya. Mulai sekarang, aku akan belajar sungguh-sungguh," kata gadis itu bersemangat kemudian bangkit.
The Keepers, mereka adalah pasukan Albara yang pemberani, terlatih, dan tangguh. Visi mereka adalah menghancurkan kekuasaan Yurza.
***