Musuh dalam Selimut

2353 Kata
Setelah dari perpustakaan, Edbert merasa lapar. Ia pun berinisiatif makan di luar pulau Tannin saja. Lagi pula, selain karena Alcott sedang ia perintahkan mengurusi pembangunan menara, Edbert juga sedang malas makan malam di mansionnya. Edbert pergi melalui teleportasi dan sampai di koridor bar kelas atas kerajaan Rotherna. Ia melihat sekilas deretan patung yang menyambut di sisi kanan dan kirinya. Rata-rata patung berbentuk manusia itu bola matanya sedang melotot atau beberapa mulutnya menganga, terlihat begitu hidup. Tidak heran, karena sejatinya patung-patung itu memang berasal dari manusia. Si pemilik bar yang merupakan keluarga kerajaan Rotherna memiliki kebiasaan yang menakutkan bagi para pelayan. Mereka tak segan-segan menghukum pelayan yang melakukan kesalahan dengan menyihirnya menjadi hiasan patung, lalu memajangnya di koridor sebagai peringatan bagi pelayan yang lain. Mengabaikan patung-patung itu, Edbert terus berjalan hingga langkahnya berakhir di ruang jamuan mewah. Lampu berbentuk laba-laba raksasa menggantung di bagian tengah atapnya. Benda yang teraliri energi sihir itu menyinari ruang jamuan dengan cahaya kuning yang hangat. Edbert mengedarkan pandang, bermaksud mencari tempat yang paling nyaman untuk makan seorang diri. Ia berjalan ke pojok ruang. Tapi, di sana ia justru menemukan sosok yang ia hindari. Seolah menyadari kehadiran seorang Edbert Kinsey, para pria berjubah itu langsung memutar tubuh. Salah satunya kemudian melambai. Edbert mengenal pria yang sedang melambai padanya itu. Namanya George, pangeran termuda di kerajaan Rotherna. "Oh! Hai, Tuan Muda!" sapa George. Ia memakai jubah kerajaan berwarna merah dengan aksen kuning di kedua bahunya, sehingga nampak paling berbeda di antara pria-pria berjubah hitam yang duduk di sekitarnya. Tidak mungkin jika Edbert mengabaikan pangeran berambut pirang itu begitu saja. Bertemu George tidak masalah, tapi bertemu dua pria berjubah hitam yang kini menatap tajam itulah yang satu bulan ini berusaha Edbert hindari. Mereka adalah Steadman dan Arthur. Ingin sekali Edbert berbalik dan meninggalkan ruangan. Tapi di sisi lain, ia juga tidak ingin Steadman dan Arthur semakin melabelinya pengecut. Dengan pahit, akhirnya Edbert paksa kakinya melangkah menghampiri George, Steadman, Arthur, serta dua pria berjubah hitam lainnya yang merupakan pengawal pribadi George. "Selamat datang, Tuan Muda!" sambut George terlampau ramah. "Kami baru akan mulai. Saya akan sangat senang jika Anda sudi bergabung." Edbert mengangguk. "Terima kasih. Kebetulan saya juga sedang mencari kursi kosong. Semoga tidak ada yang merasa terganggu atas kehadiran saya." Steadman dan Arthur tersenyum simpul. Sementara George, semakin melebarkan tawanya. "Apa yang Anda katakan, Tuan? Tentu saja tidak. Justru kehadiran Anda seperti anugrah. Mari duduklah, Tuan Muda." George mempersilakan Edbert duduk di satu-satunya kursi kosong yang tersisa, dan itu ada di samping Arthur. Dengan kaku, Edbert menyapa kakak sepupunya itu sebelum duduk. "Suatu kehormatan bisa menjamu Anda di sini, Tuan Muda." George kembali berkata pada Edbert, kemudian setelahnya, ia terlihat memberi isyarat dengan tangannya sehingga seorang pelayan segera mendekat untuk menuangkan anggur putih ke gelas kristal di hadapan Edbert. George kembali memberikan senyuman termanis, berharap dengan begitu ia bisa mengambil hati calon pemimpin Yurza. "Tuan Muda, maaf saya tidak menduga akan kedatangan Anda. Jadi saya tidak menyiapkan pesta apa pun." "Tidak masalah, Pangeran George." Edbert tetap tenang hingga tak lama kemudian, di sampingnya Arthur terdengar tertawa kecil sehingga membuat perasaannya tidak enak. "Apa yang membuat Anda tiba-tiba tertawa Tuan Arthur?" tanya George basa-basi. "Oh! Bukan hal yang penting, Pangeran. Abaikan saja," jawab Arthur tapi dengan wajah yang mengundang penasaran. George merasa perlu berbasa-basi lagi. "Ah, jangan begitu, Tuan. Tidak ada salahnya di sini kita saling berbagi obrolan sederhana." "Hmm, baiklah, Pangeran George jika Anda memaksa. Sebetulnya saya hanya sedikit penasaran. Apa yang baru saja dilakukan calon pemimpin Yurza kita sehingga tidak biasanya berpakaian heboh seperti ini," ungkap Arthur. Lelaki berusia 26 tahun itu menahan tawa seraya melirik penampilan Edbert dari atas sampai bawah. "Apa kau baru saja mengerjakan misi khusus? Pulang dari kebun, misalnya? Kulihat ada noda tomat di ujung celanamu." Bagai tersambar petir, Edbert membatu. Akibat terlalu fokus memikirkan kegagalan sihirnya, Edbert baru sadar kalau belum sempat berganti pakaian. Ia masih mengenakan setelan hijau satin berumbai hasil desain Dexter, ditambah lagi ia juga belum membersihkan noda-noda tomat di celananya.  Berusaha tetap tenang, Edbert menoleh kepada Arthur. "Ah, ternyata kau lebih perhatian dari dugaanku, Kakak sepupu. Pakaian ini adalah hasil desain Dexter. Jadi kupikir tidak masalah untuk memakainya." "Jadi kau benar-benar baru dari kebun?" Arthur kembali tertawa kecil. "Kalau begitu jangan khawatir. Pakaian itu terlihat cocok untuk misi khususmu. Dengan rumbai daun-daun ini, kau jadi lebih menyatu dengan alam." "Arthur?" Steadman tiba-tiba menyahut. "Sebentar lagi adik sepupumu itu akan resmi menjadi pemimpin Yurza. Sebaiknya mulai sekarang ... biasakanlah berbicara formal dengannya." "Saya bukan bermaksud tidak sopan. Hanya saja memang belum terbiasa berbicara formal pada adik sepupuku sendiri." Arthur tersenyum kecut. "Maaf," ucapnya kepada Edbert. "Tidak masalah. Selama aku belum dinobatkan menjadi pemimpin Yurza, Paman dan Kak Arthur tidak harus berbicara formal denganku." Steadman mengangguk pada Edbert. "Baiklah. Apa pun misi yang sedang kau kerjakan, kuharap itu berjalan lancar. Jika ada masalah, jangan ragu untuk meminta bantuan Paman dan Kakak sepupumu." "Terima kasih." Edbert tersenyum tipis membalas tawaran Steadman. Tapi sebenarnya ia ingin muntah. Tentu saja ia tidak akan meminta bantuan pada Steadman. Jelas-jelas Pamannya itu berada di pihak yang tidak menyukainya. "Tuan Muda, Anda sungguh beruntung memiliki Paman yang begitu perhatian," ujar George. "Tidak hanya itu. Anda juga beruntung memiliki saudara yang gigih seperti Arthur. Berkat usahanya memimpin invasi ke kerajaan Vash, saya yakin kerajaan timur itu sebentar lagi akan menyerah dan tunduk pada Yurza." "Oh, ya? Itu berita bagus!" respon Edbert. Kedua alisnya terangkat, tapi ia tidak sedang benar-benar terkejut. Berita itu telah menyebar di kalangan Yurza, dan karena berita itu juga, semakin banyak pihak yang membandingkan kemampuan Edbert dengan Arthur. Edbert dianggap tidak lebih kompeten menjadi calon pemimpin Yurza daripada kakak sepupunya itu. "Terima kasih atas pujian Anda, Pangeran." Arthur tersenyum bangga sebelum beralih pandang pada Edbert yang duduk di sampingnya. "Ah! Tuan Muda Edbert Kinsey? Karena kau adalah calon pemimpin Yurza, bagaimana pendapatmu tentang invasi ini?" Rahang Edbert mengeras. Sungguh ia menyesali telah salah mendatangi tempat sehingga terjebak dalam pembicaraan ini. Invasi ke kerajaan Vash? Sejujurnya tak banyak yang Edbert tahu mengenai hal itu.  Edbert menghirup napas lalu melepasnya perlahan. "Yah, apa boleh buat. Kalau dibandingkan denganmu yang merupakan pemimpin pasukan api, aku memang tidak lebih banyak tahu tentang invasi itu." Mendengar jawaban Edbert, Arthur menyunggingkan senyum kemenangan. "Santai saja. Kalau tidak tahu, tidak perlu kau jawab."  "Tidak. Bukan berarti aku tidak tahu sama sekali," sambung Edbert, membuat semua yang di meja itu kembali menoleh padanya. "Walaupun tidak terjun langsung bersama pasukan api, sebagai calon pemimpin Yurza, aku berusaha memantau perkembangannya." "Oh, ya? Seperti apa perkembangan itu?"  Edbert mengabaikan Arthur yang memberinya senyum meremehkan, lalu mencoba membalas. "Vash adalah kerajaan timur dengan pertahanan benteng terlemah. Tapi karena kelemahan itu juga, pasukan The Keepers yang menjaga benteng kerajaan Vash jumlahnya paling banyak dari kerajaan timur lainnya. Dari berita yang kudengar semalam, The Keepers telah memusnahkan hampir seluruh monster-monster yang kita kirim dalam waktu dua hari saja. Tentu hal ini mengkhawatirkan. Tapi, mengingat kakak sepupuku adalah orang yang pandai dalam mencari kelemahan lawan, ditambah lagi invasi ini juga didukung oleh kerja sama yang baik dari kerajaan Rotherna, kupikir Yurza akan segera menemukan solusinya." George tidak mampu menahan senyuman mendengar pujian Edbert terhadap kerajaannya. "Terima kasih atas sanjungan Anda untuk kerajaan Rotherna kami, Tuan Muda. Sebagai kerajaan barat yang paling dekat dengan Vash, dukungan itu memang sudah sepantasnya menjadi tugas Rotherna." Edbert mengangguk pelan membalas senyuman George. Dalam hati ia merasa lega. Tidak sia-sia semalam ia mendengarkan ocehan Alcott seputar berita invasi yang sebenarnya tidak menarik bagi dirinya ini. "Adik sepupu, aku terkesan. Ternyata kau tahu lebih banyak tentang perkembangan invasi ini daripada perkiraanku," kata Arthur pada Edbert. "Hmm," balas Edbert singkat. Arthur tersenyum, tapi rahang pria itu mengeras, terlihat berusaha menahan emosi di balik senyumannya. Ia tidak menyangka Edbert Kinsey yang ia kenal hanya hobi rebahan dan bermalas-malasan bisa membalas serangan pertanyaannya. Melihat dua pria di depannya bersitatap tegang, George lalu mengangkat gelas anggurnya. "Baiklah, Tuan-Tuan! Kita lupakan sejenak urusan invasi ini. Sekarang, mari kita bersulang untuk kejayaan Yurza!" Semua orang di meja tersebut kemudian bersulang. Edbert meneguk anggur putih di gelasnya sampai habis dengan perasaan cepat-cepat ingin melarikan diri dari bar itu. Pertemuan dengan kerabat seharusnya membuat nyaman, tapi tidak berlaku pada pertemuan ini. Sebab, masing-masing hanya sedang menyembunyikan kebusukan dalam topengnya. *** Beberapa jam berlalu dalam keheningan. Keluarga Bright akhirnya menapaki jalan berkerikil di pusat kota Eden. Selama perjalanan, Harry tak pernah lengah sedikit pun. Ia tahu kota Eden mulai didatangi para penyusup Yurza yang bisa kapan saja berbuat keonaran. Ellyora berjalan di samping Harry sambil memandangi deretan bangunan yang tidak terlalu besar di sebelah kirinya. Penerangan bangunan itu remang-remang sehingga cahayanya tidak sampai menerangi jalan. Beberapa sosok terbungkus selimut tebal tampak berbaring di depan bangunan itu. Selisih dua bangunan lagi, juga ditemukan sosok-sosok dengan aktivitas sama. Ellyora berasumsi, sepertinya para sosok itu yang disebut gelandangan sebagaimana yang pernah diceritakan Bibi Marliah padanya. Kasihan sekali, mereka tidak memiliki rumah, batin Ellyora. "Ibu, apakah kita sudah sampai di Eden?" tanya Shira. "Iya, Nak," jawab Elena lirih. Alih-alih senang, wajah Shira kini terlihat kecewa. Kota Eden yang selama ini ada di bayangannya adalah kota yang terang dan ramai meski malam hari. Tapi apa yang ia lihat sekarang? Hanya kota sunyi, bahkan mungkin rumah-rumah kayu di sana menggunakan penerangan lilin dan minyak kelapa seperti di rumahnya. "Ell, bukankah kau pernah ke sini bersama mendiang Nenek?" tanya Shira pada Ellyora. "Apa kota Eden memang seperti ini?" "Benar. Tapi itu sudah delapan tahun yang lalu. Jadi aku tidak begitu mengingatnya." "Aku heran. Kenapa kau begitu pelupa, Ell?" Ellyora membuang napas. "Shira … meski pelupa, aku tetaplah kakakmu. Kau tidak boleh berkata seperti itu." "Sudah... sudah." Elena menengahi. "Tidak boleh berdebat. Sebentar lagi kita akan sampai." "Benarkah? Asik!" pekik Shira kemudian berjalan dengan lebih bersemangat. Tak lama kemudian langkah kaki mereka terhenti di depan pintu rumah panggung bercat biru. Harry segera mengetuk pintunya. Mendengar suara ketukan pintu, Gery yang merupakan penghuni rumah cat biru itu bergegas mengintip melalui celah jendela sebelum akhirnya membuka pintu dengan wajah hampir tak percaya. "Kalian? Benarkah ini keluarga kakakku yang tinggal di hutan Camden?" "Ya, Gery. Maaf, kedatangan kami pasti mengagetkanmu. Ada sesuatu yang mendesak, jadi kami terpaksa pergi malam-malam begini." Harry merasa tidak enak pada adiknya. "Siapa yang datang?" tanya Marliah. Ia baru saja dari dapur dan ikut terkejut melihat kedatangan keluarga kakak iparnya di malam-malam begini. Gery menoleh ke belakang. "Marliah, tolong buatkan mereka minuman hangat." "Oh iya, tentu." Marliah buru-buru ke dapur. Gery mempersilakan kerabatnya segera masuk rumah. Sebelum menutup pintu, ia menoleh sebentar ke sebelah kiri rumahnya. Tercium bau belerang dari arah sana, tetapi tidak ia pedulikan. Terkadang penduduk kota di pasar Eden memang ada yang memiliki kebiasaan buruk membakar sampah di malam hari. Mereka lantas berkumpul di ruang tengah yang tidak besar, tetapi cukup menampung sekitar delapan orang. Sebuah meja yang terbuat dari kayu oak memanjang dengan delapan kursi mengelilinginya. Shira meletakkan tasnya terlebih dahulu sebelum duduk. Sementara di seberang meja, Ellyora sudah mendahului meneguk teh hangat yang baru saja disajikan Marliah. "Astaga! Apa itu?" Ellyora hampir saja tersedak ketika melihat bayangan hitam yang lari di hadapannya. Sosok itu tidak begitu jelas karena minimnya cahaya yang hanya berasal dari sebuah asbak penerangan di tengah meja. "Mana?" Harry langsung bangkit dan merespon dengan menyiapkan pedangnya. "Aku melihat sesuatu lari dari arah sana!" Ellyora menunjuk belakang Shira. "Apa? Hewan?" tanya Harry lebih detail. "Aku tidak yakin. Tapi bentuknya mengingatkanku pada ...." Ellyora menatap Shira tak percaya. "Shira? Kau membawa kucing itu?" Shira meringis. "Aku tidak bisa meninggalkan Tummy sendirian." Harry dan Elena melongo. Sementara Gery dan Marliah saling menatap bingung. "Kucing? Yang tadi pagi kau temukan di sungai?" Harry mengusap keningnya ikut tak percaya. "Ya ampun Shira, kau membawanya? Kenapa tidak ijin Ayah dan Ibu dulu? Kau tahu, kucing hutan itu bisa saja merepotkan kita!" "Maaf, Ayah." Mata Shira berkaca-kaca. "Tenangkan dirimu, Sayang." Elena mengusap pundak suaminya. "Kupikir sekarang bukan waktu yang tepat untuk memarahi putrimu." "Kau benar." Harry menghela napas, berusaha mengontrol emosinya. "Shira, Ibu membelamu bukan berarti tindakanmu benar," ucap Elena. "Bukankah Ibu tidak pernah mengajarkan putri-putri Ibu menyembunyikan sesuatu?" Shira menunduk bersalah. Begitu juga Ellyora, ia teringat belum menceritakan apa pun tentang laki-laki di balik pohon pinus kemarin malam dan kejadian di kebun tomat tadi siang kepada orang tuanya. "Meooong." Di tengah situasi itu, dengan santainya Dexter muncul kembali. Semua mata kini tertuju padanya sehingga membuat Dexter mencari perlindungan di bawah kaki Shira. "Kau dari mana, Tummy?" Shira memiringkan kepalanya dan berbisik pada Dexter. "Meeooong. Meooong." Dexter menjawab bahwa ia dari kamar mandi karena harus buang air kecil. Ia bukan kucing yang bisa buang kotoran di tanah. "Aku tidak paham apa yang kau katakan, tapi... cobalah tetap diam di sini," bisik Shira, lalu kembali menatap Ayahnya yang kini memberinya tatapan aneh. "Apa kau begitu menyukainya sampai-sampai mengajak kucing itu bicara?" tanya Harry. Shira mengangguk. "Ya, Ayah. Ijinkan aku tetap memelihara Tummy." Harry menghirup napas panjang dan menghembuskannya perlahan. "Ya sudah. Mau bagaimana lagi jika kau sangat menyukainya." Shira tak bisa menahan rasa bahagianya. "Terima kasih, aku janji Tummy tidak akan merepotkan!" Shira bergegas meraih Dexter ke dalam dekapannya. Sementara berseberangan meja, Ellyora hanya terkekeh geli melihat tingkah adiknya. Rupanya Shira sangat senang karena akhirnya memiliki seorang teman. Yah, walaupun itu adalah seekor kucing. Beberapa saat kemudian, Ellyora bangkit dari tempat duduknya hendak ke kamar mandi. Namun, tiba-tiba kepalanya terasa tertusuk-tusuk. Seolah sebuah bisikan dengan cepat menyergap ingatannya. Ellyora mengerang. Semua orang mendadak panik. Apalagi Harry. Ia segera bangkit dan mendekati putrinya. "Ada apa, Nak?" Harry gusar. "Ayah ... aku mendengar bisikan itu lagi. Bisikan anak laki-laki itu ... " kata Ellyora tercekat-cekat sambil menahan nyeri di kepalanya. Elena memegang kedua bahu Ellyora dengan lembut. Sudah lama sekali Ellyora tidak mendengar bisikan itu—bisikan yang mengganggu putrinya sejak delapan tahun lalu. Ia khawatir kenapa bisikan itu datang lagi. "Berbisik apa, Nak? Tenangkan dirimu, lalu katakan pada Ibu." Ellyora tidak langsung menjawab. Entah mengapa mulutnya terasa terkunci. Bisikan anak laki-laki itu seolah menguasai dirinya, juga kesadarannya. Terus terulang-ulang di kepalanya hingga membuat gadis itu hanya mampu menahan dengan mengerjap. Kau tidak perlu takut. Ada aku yang akan menjagamu. Begitulah kira-kira bisikan itu terngiang di ingatan Ellyora. Siapa anak laki-laki yang telah berbisik kepadanya itu? ***   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN