Wajah yang Bersembunyi

1306 Kata
Edbert menapaki pelataran yang di kiri kanannya ditumbuhi pohon oak. Besar dan tinggi, pohon-pohon berdaun rindang itu membuat suasana pelataran terlihat suram. Di ujung jalan yang membelah pelataran, berdiri sebuah rumah yang Edbert kenal merupakan kediaman Cassandra. Letaknya terpencil di pinggiran kerajaan Rotherna, yakni salah satu kerajaan barat di sebelah selatan pulau Tannin. Rumah itu besar, tetapi tidak nampak mewah sama sekali. Kondisi tembok dan atapnya bahkan lebih mirip bangunan yang telah lama tidak direnovasi. Edbert mendatangi kediaman Cassandra bukan tanpa alasan. Keganjilan di kebun tomat siang tadi mengganggu pikirannya, dan membuat ia terpaksa mendatangi tempat yang sebenarnya sudah lama tidak ia kunjungi.  Terakhir kali Edbert datang ke kediaman Cassandra adalah saat ia masih kecil. Halaman milik Cassandra yang kini ia pijak, sempat menjadi tempat bermain favoritnya. Halaman yang di setiap sudutnya menyimpan ingatan kebersamaannya dengan Diana, Ibu kandung Edbert yang telah tiada. Melihat halaman itu tidak banyak berubah, Edbert seolah melihat kembali kenangan masa kecil saat dirinya senang berlarian di tempat itu. Sementara dari arah bangku taman sana, Diana biasa duduk ditemani Cassandra sambil mengawasinya. Tak dipungkiri, kenangan itu berhasil menciptakan badai emosi yang berkelebat di hati Edbert. Ia pun menghela napas sebelum kembali melanjutkan langkah, menapaki daun-daun kering yang berserakan, kemudian menaiki tangga kecil yang menghubungkan ke pintu utama rumah Cassandra. Pintu itu terbuka tak lama setelah Edbert mengetuknya. "Tuan Muda Edbert?" sambut seorang wanita bercelemek putih yang muncul dari balik daun pintu. Ia merupakan salah satu pelayan Cassandra, dan wajahnya yang sudah mulai keriput itu tampak terkejut atas kedatangan Edbert.  "Hai, Nancy. Aku terkesan kau masih mengenali wajahku," balas Edbert pada pelayan itu. "Tentu saja, Tuan Muda. Wajah Anda masih tetap tampan seperti saat terakhir saya melihat Anda bertahun-tahun yang lalu." Si pelayan wanita tersenyum, lalu mempersilakan Edbert mengikutinya. Edbert memasuki ruang tamu milik Cassandra. Ada banyak jendela di ruang itu, tetapi tidak ada yang dibuka. Mungkin karena itu udaranya jadi terasa lembab. Satu-satunya pencahayaan adalah dari lilin-lilin yang menempel di temboknya yang bercat merah, membuat Edbert seakan berada di inferno.  Di salah satu tralis jendela, bertengger seekor burung gagak bermata hijau emerald yang merupakan pelayan setia Cassandra. Burung tersebut sempat menoleh ke arah Edbert, sebelum akhirnya terbang dan menghilang entah ke mana.  Edbert ingat burung itu bernama Ramseya. Usianya lebih muda dari Alcott, tetapi malang sekali karena bulu Ramseya sudah terlihat rontok di beberapa bagian. Mungkin karena Cassandra tidak merawatnya dengan baik, pikir Edbert.  "Silakan duduk, Tuan Muda. Saya akan memanggil Nyonya Cassandra." Nancy mempersilakan Edbert duduk di kursi yang tertata di pojok ruang.  Edbert mengangguk, tetapi memilih tetap berdiri. Berada di dalam ruang yang terasa sesak itu membuatnya tak nyaman jika hanya duduk diam. Sambil menunggu Cassandra, Edbert menyambangi sudut demi sudut, mengangkat benda-benda samar yang entah apa namanya, lalu meletakkannya kembali di atas rak kayu. Hingga perhatiannya tertumpu pada sebuah lukisan. Dua sosok wanita dalam lukisan itu membuat ingatannya kembali bekerja. Damai rasanya ketika Edbert mengenang senyuman yang dimiliki salah satu sosok di dakam lukisan itu, Diana. Wanita bermata biru itu memang memiliki senyuman paling menawan di sepanjang ingatannya. Edbert tidak mengira kalau Cassandra masih menyimpan lukisan Ibunya. Berbeda dengan Roland, Diana dikenal sebagai sosok yang tak berambisi pada kekuasaan. Perangai lemah lembut, juga sifatnya yang rendah hati sama sekali tak mencerminkan ia sebagai wanita Yurza yang kebanyakan kasar. Wanita itu berteman dengan siapa saja, termasuk Cassandra. Lukisan itu berdekatan dengan sebuah daun pintu berwarna merah yang sedikit terbuka. Karena penasaran, Edbert mendekatkan langkahnya. "Saya tidak mengira Anda akan datang ke mari, Tuan Muda. Jadi maaf saya tidak mempersiapkan apa pun," sapa Cassandra tiba-tiba. Edbert mengurungkan niat melihat isi ruangan di dekat lukisan itu. Ia memperhatikan raut wajah Cassandra yang nampak tegang dan redup. Jelas sekali bahwa wanita itu tak begitu senang dengan kedatangan Edbert ke kediamannya, meski wanita itu berusaha menyembunyikan lewat senyumannya. "Duduklah, Tuan Muda." Cassandra mempersilakan. Edbert mengikuti arahan Cassandra untuk duduk di sofa berseberangan meja dengan wanita itu. Ternyata sofa milik Cassandra dudukannya sangat keras, tidak empuk sama sekali. Edbert heran. Bukankah Cassandra adalah peramal tersohor di Yurza yang jelas mendapat andil besar kekayaan keluarga Kinsey? Seharusnya wanita itu mampu menyediakan sofa empuk, bahkan rumah yang megah. Keadaan ini membuat Edbert bertanya-tanya. Sebenarnya uang wanita itu selama ini dihabiskan untuk apa? Cassandra menunduk. "Jika tebakan saya benar, apakah kedatangan Anda berhubungan dengan gadis Camden itu?" "Ya, itu benar!" jawab Edbert lugas. "Apa yang ingin Anda tanyakan?" "Kenapa sihirku tidak berfungsi pada gadis itu?" Cassandra diam sejenak. Ia melirik Edbert dari balik selendang merahnya, seolah berusaha memilih kata untuk menyampaikan jawaban atas pertanyaan lugas Edbert. "Tidak berfungsi bagaimana, Tuan?" "Aku sudah menemui gadis itu ke Camden seperti yang kau sampaikan," terang Edbert lalu ia melihat ekspresi Cassandra yang tampak sedikit terkaget. "Dan ketika aku akan membawanya dengan teleportasi, sihirku sama sekali tidak mempan! Menurutmu, apa penyebabnya?"  "Maaf, Tuan Muda.... Sebenarnya hal itu di luar pengetahuan saya." "Jadi kau tidak tahu?" "Sebenarnya saya hanya sebagai perantara apa yang disampaikan Raja Iblis melalui bola kristal, Tuan Muda." Edbert tak puas mendengar jawaban Cassandra. Ia menangkap ketidakwajaran pada ekspresi wajah wanita di hadapannya. "Namun...," lanjut Cassandra, "sependek yang saya ketahui, kegagalan sihir paling banyak terjadi karena perasaan gugup dan panik. Jika mendengar pengakuan Anda, saya sebagai peramal hanya bisa menyarankan agar Anda mencobanya sekali lagi dengan lebih tenang dan berhati-hati, Tuan Muda. Saya percaya, dalam hal sihir ini Anda lebih paham dari saya." Edbert mengernyit. "Jadi menurutmu sihirku gagal hanya karena panik? Begitu? Atau kau sedang berusaha menyembunyikan sesuatu dariku?" Cassandra tiba-tiba kaku. Dia menatap Edbert. Sekarang Edbert semakin jelas bisa menangkap keganjilan di wajah wanita itu. "Saya minta maaf." Cassandra kembali menunduk dan mulai mengambil napas dalam-dalam. "Saya sungguh minta maaf. Pengetahuan saya terbatas. Tidak ada yang bisa saya sampaikan untuk membantu Anda." "Baiklah." Edbert bangkit dan pura-pura memahami. "Jika kau tidak memiliki jawabannya, aku tidak bisa memaksa. Tapi jika kau berubah pikiran dan ingin mengatakan sesuatu, aku akan memberikan waktuku." Edbert menegaskan sebelum akhirnya menghilang melalui sihir teleportasinya. Cassandra menghela napas lega. Ia bangkit dari tempat duduk lalu berjalan cepat ke arah pintu di dekat lukisan dirinya dengan Diana. Ia membuka pintu itu. "Anda baik-baik saja?" tanya Cassandra. "Ya," jawab seorang wanita dengan selendang biru menutupi kepalanya. *** Tidak puas dengan jawaban Cassandra, Edbert mencoba mencari jawaban lain di perpustakaan keluarga Kinsey. Di sudut ruang, ia mengambil buku, membacanya, lalu mengembalikannya lagi pada rak. Dari ribuan buku yang ada, ia hanya menemukan jawaban yang sama. Penyebab kegagalan sihir yang selama ini paling banyak terjadi adalah karena penyihirnya sedang panik, gugup, atau terkejut. Selain itu adalah karena efek bunga Zipthus, tetapi itu tidak mungkin terjadi saat ini. Sebagaimana berita yang telah tersebar selama dua ratus tahun terakhir, jelas-jelas bunga yang paling ditakuti penyihir hitam itu sudah lenyap dari muka bumi. Jadi, Edbert yakin bukan karena bunga itu penyebabnya. Edbert menutup buku terakhir yang ia baca, lalu mengembalikan pada rak disertai perasaan kecewa. Sewaktu kecil ia pernah menemukan satu buku yang sedikit berbeda. Namun, karena Diana tidak pernah mengijinkan Edbert membacanya, sampai sekarang Edbert tidak pernah membaca buku itu. Kata Diana, isi buku itu terlalu kontroversial dan berbahaya jika dibaca oleh anak kecil. Ketika sekilas Edbert pernah membaca judulnya memang benar. Buku tua itu berjudul: Hal-Hal yang Bisa Mematahkan Sihir Yurza. Cukup kontroversial, tapi Edbert yakin bisa menemukan jawaban lain di sana. Dulu di waktu sore hari, Diana berkebiasaan mengajak Edbert pergi ke perpustakaan, dan Edbert sering melihat Diana membaca buku tua itu. Sekarang Ibunya sudah tiada. Seharusnya buku itu masih bisa ditemukan di perpustakaan ini. Namun, entah bagaimana kini buku itu lenyap. Edbert duduk di kursi sebelah jendela. Kedua tangannya mengepal di atas meja. Baik Cassandra maupun buku-buku yang telah ia baca, semua menerangkan satu jawaban yang sama.  "Mungkinkah dugaanku terlalu berlebihan?" tanyanya pada diri sendiri. Edbert menghela napas. Sementara ini ia mencoba menerima bahwa kegagalan sihirnya di kebun tomat terjadi hanya karena saat itu ia sedang gugup. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN