Sikap Manis Dari Si Buaya

1263 Kata
Drt... Drt... "Halo, selamat pagi. Dengan siapa saya berbicara?" "Iya, selamat pagi. Ini saya Rey Moccasizo dari Moccasizo Group" Aku langsung bangun. Terkejut. "Iya, pak Moccasizo. Ada kepentingan apa sampai bapak menghubungi kami, pak?" Jujur saja, ini membuatku deg degan. Bukan karena apa, tapi karena sebelumnya karena aku, Diko tidak jadi meeting dengan Rey Moccasizo. Aduh, semoga saja dia tidak meminta pertanggung jawaban. "Iya. Saya ingin berbicara dengan pak Diko. Apakah hari ini bisa?" Huft... Aman. Aku sontak langsung mengambil iPad dan memeriksa jadwal kegiatan Diko hari ini. Aduh, tanganku masih saja tremor menggulir layar iPad. Mungkin saja jika Diko melihatku yang sekarang, sudah pasti dia akan menertawakanku. Aku yakin akan hal itu. "Baik pak Moccasizo, untuk hari ini pak Diko tidak memiliki jadwal pertemuan dengan pihak manapun. Apakah bapak ingin bertemu dengan pak Diko?. Jika iya, akan saya jadwalkan sekarang" Aduh, suaraku terdengar gemetaran gak ya?. Hmm... Semoga saja tidak. "Iya. Jika bisa, jadwalkan saya hari ini dengan pak Diko" "Baik pak. Saya akan mengkonfirmasi hal ini dengan pak Diko. Jadi, mohon tunggu sebentar ya, pak" Aku menaruh telepon itu, tanpa menutupnya. Lututku masih lemas, gemetar karena takut akan di minta pertanggung jawaban. Sungguh aneh sekali kamu, Nabila. Saat mengajak bertengkar Diko, kamu tidak semenyedihkan ini. Lalu apa ini sekarang? Hanya karena pertemuan yang dibatalkan sampai membuatmu seperti orang yang habis mengalami sesuatu yang menyedihkan?. Memang aneh. Aku memperbaiki baju dan berjalan ke kantor Diko. Memasukkan password dan pintu terbuka. Ceting... Aku masuk ke dalam ruang kerja Diko. Tapi anehnya Diko sudah mematikan laptopnya dan mengambil jasnya di samping. Hal yang sama ia lakukan saat ia bergegas pergi ke suatu tempat. Aduh, apakah dia punya janji lain hari ini? Apakah harus membatalkan pertemuan lagi?. "Eh, jangan pergi dulu" Sontak Diko menjadi batu. Tidak bergerak sedikit pun. "Emangnya kenapa?" "Kamu jangan pergi kencan dulu. Hari ini, maksudku sekarang juga kamu harus meeting dengan pak Rey Moccasizo. Kasihan, masa dia di tolak lagi. Yang pertama karena kasus wanita yang menyerbumu ke kantor. Lalu sekarang? Hanya untuk berkencan dengan perempuan lain?" Iya. Itulah alasan mengapa aku sering bertengkar dengan pria ini. Sebenarnya Diko adalah orang yang baik, terlewat baik. Tapi, ada suatu hal yang kurang darinya, yaitu dia punya pesona yang bagaikan magnet sehingga membuatnya di serbu oleh kebanyakan wanita. Tidak hanya dari segi finansial saja, tapi juga dari segi penampilan. Aku tidak mau munafik dengan tidak mengakui bahwa sebenarnya Diko adalah orang yang tampan. Jujur saja, dia tampan, cakap, tegas dan bijaksana. Tapi sifat playboy itu yang membuatnya kurang. "Siapa yang akan berkencan?" "Lalu mau kemana?" "Bukannya bertemu dengan pak Rey Moccasizo?" Aku mengangguk. Dari mana dia tahu?. Aku belum memberitahunya. "Yaudah. Ambil tas mu, kita pergi sekarang" Sekali lagi aku mengangguk. Kalau di pikir-pikir, aku cukup bodoh dan polos juga. Pantas orang senang memanfaatkanku. Sudahlah, itu hanya masa lalu. Tidak penting untuk di ingat kembali. *** Jujur, aku tidak bisa menahan rasa penasaranku terhadap alasan mengapa Diko tahu mengenai dia yang akan meeting dengan Rey. Padahal secara logika, sudah jelas Rey menelepon ke meja kerjaku. Bukan ke meja kerja Diko. Lalu, darimana laki-laki ini tahu dengan cepat?. Aku memeriksa dahi Diko dan membuat laki-laki itu penasaran alasanku melakukannya. Tidak, aku bukan modus. Tapi semenjak aku keluar dari ruangannya, masuk ke dalam lift, sampai di perjalanan ini, dia masih saja tersenyum. Heran, sangat heran. "Ada apa? Aku tidak sakit" Aku mengangguk setelah memeriksa dahinya dan dahiku bergantian. "Iya, memang. Kamu memang tidak sakit, tapi terancam gila. Kenapa sih kamu senyum terus? Ada yang salah dengan diriku?" Diko langsung tertawa. Astaga, pria ini memang sangat menyebalkan. Sangat menyebalkan. "Tidak. Tidak ada yang salah denganmu Nabila Karista, sekretarisku yang paling cantik" "Alah. Jangan modus-modus deh. Tolong dong, stop sebentar di supermarket depan" "Memangnya kamu mau beli apa?" Astaga. Jangan penasaran!. Perempuan memang susah di tebak kalau sudah memutuskan untuk ke supermarket. Ada begitu banyak alasan. Entah itu untuk cemilan, minuman, atau sesuatu yang sangat spesial untuk perempuan tapi tidak untuk laki-laki. Dan kali ini, Nabila bertujuan untuk yang spesial itu. Mobil Diko berhenti di depan supermarket. Aku keluar dari mobil dan hanya membawa dompet saja. Tiba-tiba perutku terasa keram dan rasanya begitu sakit. Aku langsung jongkok di depan. Ini tumben terjadi ketika aku menstruasi. Biasanya tidak pernah sekalipun terasa sakit. Tiba-tiba Diko datang menghampiriku. Panas matahari cukup menyengat. Diko membuka jasnya dan menyampirnya pada kepalaku, supaya tidak terlalu kepanasan. "Ada apa?" Aku hanya menggeleng. Masa iya aku dengan gamblang mengatakan bahwa sedang kesakitan karena menstruasi. Laki-laki mana paham!?. Diko membantuku bangun. "Kamu duduk saja di sini. Biar aku yang membelikannya untukmu" Aku menghentikan Diko. "Apa maksudmu?. Kamu mau membelikanku apa?. Sudahlah, kamu balik lagi ke mobil, aku akan membeli barang itu" Aku berdiri dan mencoba berjalan. Naasnya, perutku semakin keram. Alhasil, aku kembali berteriak mengaduh. "Sudah ku bilang dari awal. Biar aku saja. Aku tahu barang apa yang ingin kamu beli" Aku mengangguk. Aku tidak bisa berkata-kata apalagi karena sakit yang amat terasa. Mungkin jika aku kekeuh untuk masuk ke dalam supermarket, aku akan semakin membuat repot banyak orang. Astaga, Nabila, seharusnya kamu bersyukur memiliki bos yang baik seperti Diko. Diko masuk ke dalam supermarket. Entah dia tahu atau tidak, tapi setiap langkahnya sukses meruntuhkan dinding kebencianku padanya. Mungkinlah keputusan untuk dekat dengannya adalah keputusan yang baik?. Semoga saja, Ya Allah. *** "Darimana kamu tahu kalau aku menstruasi dan siapa yang memberi tahu kamu bahwa benda ini adalah yang sering aku gunakan bahkan bisa aku katakan bahwa aku tidak bisa menggunakan merek yang lainnya?" Diko tersenyum ke arahku. Astaga, begitu manis. Pantas saja perempuan terpikat olehnya. Sadar Nabila, kamu hanyalah sekretarisnya!. "Astaga, Nabila. Apa kamu sudah lupa?. Kita sudah saling mengenal sejak SMA dan kamu masih menanyakan hal ini?. Jangan bercanda, Nabila" "Maksud kamu apa, Diko?" Jujur, aku bingung sekaligus penasaran. Kenapa dia mengaitkan hal ini dengan waktu SMA?. Benar-benar penuh misteri. "Astaga, sepertinya kamu memang sudah lupa. Dulu, aky sering menitipkan barang ini ke temanmu setiap kamu kamy mengaduh kesakitan, terutama sakit perut" Oh, astaga. Benarkah?. Akhirnya, terjawab sudah. "Lalu kenapa kamu menyembunyikan inisialmu?. Kenapa gak bilang langsung padaku bahwa itu dari kamu?" Banyak sekali pertanyaan tentang masa lalu yang menyerbuku. Dan semuanya tentang Diko, lelaki pemikat hati perempuan. "Kan kamu sendiri tahu kalau aku mengatakan bahwa itu dariku, otomatis kamu akan langsung menolaknya, bahkan membuangnya. Masih bilang kalau sudah lupa?" Iya, benar. Aku dulu memang seperti itu. Setiap kali ada yang memberikan sesuatu dan mengatasnamakan Diko, aku langsung menolaknya dan bahkan membuangnya. Aduh, malu sekali jika mengingat hal itu kembali. "Hehe..." "Ck... Makanya, jangan jadi perempuan yang emosian. Cepet keriput!" Sontak aku melempar bungkus pembalut itu ke arah Diko supaya membuatnya terdiam dan tidak membahas tentang kegoblokanku dulu. *** Kami sudah datang di sebuah Cafe. Cafe yang sedang naik daun, terkenal akan jiwa kemudaanya. Bahkan nama Cafenya saja YoungGen. Diko sudah keluar dari mobil, sedangkan aku masing menimang-nimang apakah harua keluar atau tidak sedangkan rasanya titik itu sudah basah sekali oleh darah. "Sepertinya aku gak bisa keluar dan gabung dengan kalian deh" "Kenapa?" "Sepertinya aku bocor" Ah, malu sekali mengatakan hak itu pada seorang lelaki, apalagi bos sendiri. Diko membuka pintu mobil, sisi tempatku duduk. Ia membantuku berdiri dan mengikatkan jasnya pada pinggangku. Aduh, meleleh. Jarang ada laki-laki yang akan rela melakukan ini pada seorang perempuan. Bahkan aku bisa mengatakan dengan rasio satu diantara sepuluh ribu orang. Dan aku adalah orang yang beruntung itu. Diko rela membiarkan jas mahalnya di kotori oleh darah bulananku. "Apakah ini cukup?" "Hmm.." Diko tersenyum, aku pun tersenyum. Kami berdua masuk ke dalam Cafe dan menemui klien penting, Rey Moccasizo.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN