Diko Tahu Rencana Kami?

1014 Kata
Seperti hari biasa, bangun tidur terus mandi, bersiap-siap dan berangkat kerja. Hanya itu saja rutinitas hariku. Benar-benar membosankan, bahkan Diko turut mewarnai kebosanan itu menjadi hakiki. Aku turun ke lantai bawah dan bergabung dengan mama dan papa untuk sarapan bersama. Tetapi aku merasakan ada hal yang aneh. Semenjak aku turun dan masuk ke dapur, aku merasa pandangan mama dan papa terfokus padaku. Entah karena apa. Tapi jujur, aku merasakan hal yang aneh terhadap mereka. "Ada apa sih? Perasaan kalian berdua kompak banget liat Nabila sebegitu lekatnya?. Nabila ada salah, atau salah kostum hari ini? Atau make up Nabila ketebalan?" Mama dan papa kompak menggeleng. "Sudah, sudah. Nabila ada waktu sebentar gak sekarang? Setelah sarapan mama mau membicarakan sesuatu dan hanya berdua saja". Ada apa ini? Kenapa canggung sekali rasanya? " Iya, ma. Nabila bisa kok. Lagipula, kenapa harus izin dulu sih?. Yaudah, kita sarapan aja, habis itu Nabila bicara sama mama" Mama mengangguk. Aku pun ikutan mengangguk dan menyendok nasi dan beberapa lauk ke piringku. *** "Iya, aku akan masuk kantor secepatnya setelah kami selesai membicarakan hal itu" Karena tidak ingin gaji dikurangi begitu saja, dan sebagai sekretaris yang baik dan taat akan aturan, terlebih dahulu aku meminta izin kepada Diko. Awalnya pria itu menuduhku yang tidak-tidak karena ini adalah kali pertamanya mama meminta izin untuk berbicara serius. Namun, setelah aku menjelaskan kronologinya kepadanya, ia kemudian menyetujui meski aku tidak tahu apakah itu ikhlas atau tidak. "Baik. Terima kasih, Diko. Aku akan masuk secepatnya. See you!" Aku menepati janjiku. Aku pergi ke ruang keluarga. Aduh, mereka mau membicarakan apa sih? Kenapa kesannya terlalu tiba-tiba dan serius sekali. Aku takut terjadi sesuatu dan lain hal yang tidak di inginkan. Di ruang keluarga, mama dan papa sudah menungguku. Menutupi kegugupan, aku tersenyum kepada mereka. "Ada apa, ma?" Jujur, hanya itulah kata yang bisa keluar dari mulutku. Melihat ekspresi khawatir mereka, membuatku semakin khawatir. Lantas, ada apa ini?. "Sebelumnya, mama sama papa meminta maaf sama kamu" "Ada apa sih, ma?" "Dengerin mama dulu, Nabila" "Iya, Nabila dengerin" Mama tersenyum, tapi tidak terlihat tulus. Seperti terselip makna kesedihan. "Begini, sayang. Tadi malam sebenarnya mama mau kasih tahu kamu terkait hal ini. Kemarin, papa kamu di telpon sama atasannya untuk pindah kota tugas ke Lombok. Awalnya papa kamu menolak, namun karena pihak mereka juga mengatakan akan mempromosikan papa, jadi papa mau tidak mau menyetujui hal itu. Kan Nabila tahu kalau papa tidak bisa hidup jika tidak ada mama. Mama sebenarnya juga sangat menyesal, kenapa hal ini harus terjadi sama keluarga kita" "Stop, ma. Jadi intinya, mama akan ikut bersama papa ke Lombok? Tempat penugasan baru papa?" Mama mengangguk. Astaga, apa ini?. Aku sendirian lagi?. "Jadi Nabila sendirian lagi?" Mama kembali mengangguk. "Tapi mama sudah memikirkan hal ini matang-matang, Nabila. Awalnya mama dan papa juga tidak ingin seperti ini karena harus meninggalkan kamu sendirian lagi disini. Tapi karena kami melihat kamu dekat dengan Diko dan keluarganya dan mereka juga baik denganmu, kami sedikit merasa tenang. Nanti kamu bisa sering-sering bersama mereka. Toh, mereka juga menganggap kita sebagai keluarganya. Anggap saja kamu sedang ngekos seperti saat kuliah dulu, sayang. Kami janji, kami akan sering mengunjungimu. Bagaimana, nak?" Astaga, cobaan apa lagi ini. Setelah sekian lama papa bekerja keras di perusahaan tempatnya bekerja dan sering melakukan tugas ini-itu, akhirnya papa mendapatkan promosi jabatan juga. Apakah aku pantas menolak untuk di tinggal oleh mereka dan menghancurkan harapan kecil kami?. Tentu tidak, bukan?. Huft.... Mungkin ini adalah cobaan. Meski pada akhirnya aku kembali sendirian. Dengan berat hati, aku mengangguk dan mencoba tersenyum meski dalam hati masih terasa berat. Jujur, berat sekali rasanya ditinggal oleh mereka, kembali. "Yaudah, ma. Nabila mau berangkat kerja, dulu. Nanti Diko marah sama Nabila. Kan mama juga tahu gimana sifatnya laki-laki itu" Aku salim pada mama dan papa, dan berangkat bekerja. *** Ceting.... Aku sudah sampai lantai teratas, dimana hanya berisi ruangan kerja dan meeting milik Diko yang begitu luas, dan satu ruangan milikku. Ternyata, Diko audah menunggu di meja kerjaku. Tumben sekali pria itu. Begitu aneh dan terlihat kesepian. Diko menyadari kehadiranku di lantai ini dan menoleh kepadaku. Karena tiba-tiba, senyum ku pun juga tiba-tiba. "Ada apa? Kok tumben tunggu aku di luar? Biasanya juga langsung di dalam. Ada apa gerangan, kok aneh?" Diko memasukkan ponselnya. "Mama sama papa bicara apa sama kamu?" Tuh, kan. Dia aneh. Emang urusan dia dengan pembicaraan keluargaku apa?. Apakah pria menyebalkan kembali beraksi dan sepagi ini?. "Memangnya kenapa? Urusannya denganmu apa?" "Aku hanya penasaran aja. Kok tumben mama dan papa bicara serius denganmu?" Iya, kalian benar. Diko menyebut mama dan papa juga dengan sebutan itu. Awalnya agak risih. Pertama kali dia memanggil mama dan papa dengan sebutan itu sejak Diko membawa oma Sekar bermain di rumah. Sejak itu pula, oma Sekar dekat dan lebih mengenal mama dan papa. Diko juga sudah dianggap anak oleh kedua orangtuaku. Kadang, jika aku membawa kotak bekal makan siang, dia juga selalu dibuatkan dan dititipkan kepadaku. Namun naasnya, pria itu sering memberikan makan siang itu kepada gebetan sesaatnya. Memang dasar menyebalkan!. "Iya. Aku gak tahu apakah ini kabar baik atau buruk. Satu sisi aku senang dengan papa yang kabarnya akan di promosikan. Satu sisi, aku sedih karena papa harus pindah daerah tugas dan kali ini di Lombok. Aku bingung mau seperti apa di depan mereka. Tapi ketika aku mengingat kembali perjuangan papa untuk mendapatkan promosi jabatan, aku tidak tega untuk menolak hal ini, meski aku harus tinggal sendirian di rumah" Diko hanya diam mendengar ceritaku. Terkesan seperti pria yang baik. Hanya diam dan mengangguk. "Lalu, kamu akan tinggal sendirian di rumah?" Aku mengangguk. "Tidak perlu. Kamu tinggal saja dengan kami di rumah. Kalau kamu tinggal sendirian, kamu akan sulit untuk memperhatikan dirimu sendiri. Lagipula, bukankah kamu senang? Rencanamu dan oma akan berjalan mulus?" "Ha? maksudnya gimana?" Diko hanya tersenyum dan berjalan masuk ke dalam kantornya. Aku tidak salah dengar, kan?. Dia mengatakan bahwa rencanaku dengan oma akan berjalan lancar ketika aku tinggal di rumah keluarga Diko. Sebenarnya dia mendengar kita malam itu atau tidak sih?. Astaga, bagaimana ini?. Semoga pria itu tidak mendengarnya. Kalau tidak, aku sudah pasti sangat malu. Semoga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN