1

1239 Kata
4 tahun kemudian... "Winnggg... Winngg..." Gumam seorang anak kecil sambil berlari-lari membawa mainan pesawatnya. "Uwwiiingg..." "Sayang, pelan-pelan, son. Nanti kau jatuh!" Eliza memperingatkan cucu semata wayangnya yang bernama Keylo sebelum kembali membaca majalah hariannya di sofa ruang tv. Keylo tidak mengacuhkan Granny-nya dan tetap berlari-lari sambil memegang pesawat mainannya itu setinggi mungkin. Eliza hanya dapat menggelengkan kepalanya melihat tingkah cucunya. Dug! "Huaaaaaaaaaaa..." Tiba-tiba saja jeritan tangisan Keylo terdengar ke penjuru rumah. Dengan cepat Eliza menghampiri cucunya dan menggendongnya. "Ssshhh, masih tidak mendengarkan Granny?" Tanyanya sedikit berdecak kemudian mengelus dahi yang terlihat sedikit benjol dan merah. "Apa yang Granny katakan?" Seketika Keylo berhenti menangis. Matanya sembab dan wajahnya memerah. Suasana hatinya sangat cepat berubah tidak seperti anak-anak lainnya. "Don't lun away?" Ulang Keylo cadel dengan tata bahasa sedikit berantakan. Eliza menganggukkan kepalanya dan tertawa kecil mendengar penuturan cucu laki-lakinya. Mengelus kepala Keylo dengan pelan. Berharap bahwa dia dapat tumbuh dengan baik walau tanpa ibu disampingnya. "Daddy..." Seketika, ia kembali berteriak kencang saat melihat Willy memasuki rumah lengkap dengan baju kemeja maroon dan celana bahan hitam. Baru saja dirinya pulang daru Universitas swasta ternama. Karena selain sebagai dokter, Willy juga berprofesi sebagai dosen di Henderson Medical school. "Hai jagoan." Willy menghampiri anaknya dan mencium pipi tembemnya. Ya, Keylo adalah anak Willy dan Keeyna yang sudah berusia 4 tahun. Willy selalu memperhatikan Keylo, dia tidak pernah lagi pulang larut malam seperti saat bersama Keeyna. Dia benar-benar menjadi ayah yang baik, perhatian dan pengertian. "Daddy.. daddy.." Keylo mengulurkan tangannya agar Willy menggendongnya. Tanpa menunggu lebih lama, dia langsung menyambut puteranya suka cita. "Kau beristirahatlah dulu, Nak." Eliza menatap prihatin kepada putera semata wayangnya. Dimana dia harus membagi waktu puteranya dengan pekerjaannya sekaligus. "Aku tidak perlu istirahat, Mi. Melihat Keylo saja rasa lelahku langsung hilang." Willy menatap Keylo yang tampak nyaman dalam gendongannya dengan pandangan menilai. "Dia menangis?" Eliza menganggukkan kepalanya dan berkata, "Dia jatuh saat bermain dan langsung diam setelah Mami menasihatinya. Emosinya cepat sekali berubah." Eliza tersenyum kecil. Mengelus rambut hitam Keylo yang Willy turunkan kepadanya sebelum kembali bergumam. "Dia anak yang baik seperti mendiang Ibunya." Willy tersenyum pahit mengenang kembali masa itu. Hatinya bahkan masih jelas terpatri nama Keeyna dan sepertinya tak bisa tergantikan. Matanya meredup saat mengingat sosok Keeyna yang selalu tersenyum lembut ketika menatapnya dan juga tingkahnya yang begitu anggun. Lalu, disaat Willy mengenang kembali masa itu, suara Ibunya tiba-tiba menghancurkan semuanya menjadi kepingan tak berguna. "Kau tidak berniat mencari Mommy untuk anakmu?" Eliza menatap puteranya itu penuh pengharapan. "Keylo masih kecil, Will. Dia butuh kasih sayang seorang Ibu. Setidaknya di usianya yang sekarang." "Aku belum bisa menggantikan posisi Keeyna di hati aku, Mi." Willy memperhatikan anaknya yang sudah tertidur di pangkuannya. "Mami tidak pernah menyuruhmu menggantikan posisi Keeyna di hatimu, Nak. Mami hanya ingin kau mencari Ibu buat Keylo." Terdapat nada khawatir dari Eliza. Willy mendesah frustasi. Tahu bahwa Keylo memang memerlukan sosok Ibu. Tapi, dia tidak bisa begitu saja memperisteri orang lain hanya untuk menjaga puteranya. Apalagi jaman sekarang begitu sulit mencari wanita yang jujur. Sambil menghirup aroma shampo puteranya, Willy bergumam. "Tidak mudah memperisteri seseorang tanpa ada rasa, Mi. Aku juga tidak mau memanfaatkannya hanya untuk menjaga anakku. Kalaupun iya, aku akan mencari isteri yang menerimaku apa adanya, bukan hanya untuk Keylo tapi juga untuk kebutuhanku." Seketika dahinya mengerut tak suka. "Lagipula~ susah mendapat isteri dengan gelar yang ada padaku saat ini." "Gelar? Kenapa dengan gelar doktermu?" Tanya Eliza waspada. Menatap puteranya was-was. Apakah Willy terkena detensi? Atau justru lisensinya dicabut sebagai seorang dokter? Banyak pemikiran aneh yang memenuhi kepala wanita yang usianya lebih dari setengah abad tersebut. "Bukan gelar dokter, Mi. Tapi gelar duda." Seketika Eliza langsung tertawa lepas mendengar jawaban dari anak sulungnya itu. "Puas, Mi?" Tanyanya jengkel dan sedikit berdecak akan tingkah sang Ibu. "Haha~ Maafkan Mami, Nak." Kekehnya geli sebelum menetralkan tawanya yang berangsur-angsur reda. "Listen to me, Son. Apa kau buta sehingga tidak melihat wanita yang terus menempelimu seperti lintah walau tahu kau beranak satu, William?" Menggelengkan kepalanya tidak percaya, Eliza kembali bergumam. "Mami yakin diluar sana ada wanita yang baik dan juga akan menerimamu apa adanya." "Bagaimana Mami bisa seyakin itu?" Tanya Willy sambil mengelus-elus rambut lembut Keylo. "Karena kau adalah anak Mami. 28 tahun itu usia yang matang, Nak. Mami juga melihat banyak suster-suster maupun dokter-dokter wanita yang curi-curi pandang padamu." "Mi-" "Dengar, Mami ada kenalan." Eliza memotong cepat. "Anaknya cantik, baik, dan juga ramah. Mami bisa mempertemukanmu dengannya." Tampak sekali dirinya bersemangat menjelaskan wanita itu kepada anak sulungnya. "Mi, please.. Kita bukan lagi zamannya tradisi Vani. Dimana perjodohan dilakukan." Ia menggeleng tegas atas permintaan Ibunya yang aneh. "Aku tidak mau! Beri saja aku waktu, okay?!" "Setahun, Mami masih bisa mengerti kalau kau merasa kehilangan Keeyna, Will. Tapi, ini bahkan sudah 4 tahun berlalu dan kau juga masih tidak menemukannya? Mami mohon, kali ini saja kau menurut pada Mami, okay?" "Terserah Mami. Aku ingin menidurkan Keylo di kamarnya." Tanpa menunggu sang Ibu menjawab, Willy segera beranjak untuk ke lantai atas mengantar puteranya. Eliza yang masih terpaku di tempat duduknya tampak menimbang-nimbang sesuatu. Kemudian, dia mengambil telepon rumah dan menelepon seseorang setelah menekan nomor tujuan. "Halo, selamat sore." Sapa suara seberang dengan suara yang begitu lembut. "Sore Venny." "Tante Eliza?" "Iya, ini tante sayang. Lagi dimana?" "Aku ada di apartemen, Tante. Kenapa, Tan? Ada yang perlu aku bantu?" Eliza tersenyum tipis. Pilihannya tidak pernah salah. "Tidak sayang. Tante hanya ingin mengajakmu makan dinner nanti, bisa?" "Kebetulan aku tidak ada acara nanti malam." "Baiklah, nanti Tante akan mengirimkan tempatnya melalui pesan. Selamat sore." "Sore tante." Eliza segera menutup teleponnya dengan senyum mengembang yang terpatri di wajah cantiknya hingga sekarang. Di lain tempat pada waktu yang sama. "Aaaaa!!" Venny berteriak histeris membuat konsentrasi temannya yang sedang membaca majalah buyar seketika. Menatap Venny dengan wajah kesal dan jutek. "Jangan teriak-teriak!" Alea menunjukkan telinganya sambil bersungut-sungut. "Jika saja gendang telingaku pecah, apa kau ingin bertanggung jawab?" Alea yang merupakan teman dekat Venny ketika masih senior high school dan sekarang mereka kuliah di jurusan yang sama yakni kedokteran. Tanpa memperdulikan protesan sang sahabat, Venny bergumam ceria. "Kau tahu Al... Akhirnya, aku bisa juga berjumpa dengan dosen hot guy itu. Ibunya meneleponku langsung dan mengajakku dinner." Venny berjalan mondar-mandir lalu memutar-mutar tubuhnya lalu berjalan lagi dan begitu seterusnya. "Kau juga berjumpa dengannya di kampus setiap hari, Darla. Lagipun, orangtuanya yang mengajak bertemu bukan dia langsung. Kau sudah seperti orang gila saja sekarang!" Alea kembali membaca majalah yang sempat tertunda. Malas meladeni temannya yang tampak tidak waras. "Aku memang sudah gila, Alea. Aku yakin Tante Eliza akan mengajak the most wanted lecturer itu malam ini dan dia pasti akam sangat tampan!" "Ya tampan, si tampan beranak satu." Ejek Alea sambil membalikkan halaman majalahnya tanpa memperdulikan Venny yang sudah bermuka masam. "Aleaa.. buka matamu lebar-lebar! Ah~ aku tahu kau membencinya hanya karena dia selalu menghukummu di kelas, bukan?" Alea menutup majalah itu dengan kasar. "Aku tidak ingin membicarakannya. Semoga dia bisa menjadi suami yang baik untukmu. Bye." Alea segera keluar dari apartemen sahabatnya dan memilih masuk ke apartemen miliknya yang terletak tepat disebelah kepunyaan Venny. Sambil menutup apartemennya, Alea memilih duduk di atas sofa depan televisi. Memijit pelipisnya pelan karena tak percaya bahwa Venny menerima begitu saja perjodohan itu. Apakah Venny tidak tahu bahwa seorang lelaki seperti William Jordan Henderson itu pastilah memiliki banyak hal licik yang tertera di kepalanya. Bahkan, Alea saja hampir dibuatnya jera setiap hari.  Banyak yang ku ubah. Dari umur Keylo 3 tahun jadi 4 tahun! Dan isi percakapannya juga :) Revise, 08/10/18 Mika
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN