Malam begitu mendukung ketika Venny melangkahkan kakinya fine dining restaurant. Wajahnya terus memamerkan senyum ceria seperti orang pertama yang baru saja mengenal kata Cinta.
"Reservasi atas nama Eliza Henderson?" Venny membuka suaranya pada pegawai restoran tersebut.
"Mari ikut saya, Nona."
Dengan jantung berdetak hebat, Venny mengikuti langkah pelayan yang membawanya ke tempat VIP room. Pelayan itu membuka pintu kaca dan memberi ruang agar Venny masuk ke dalam. Sesaat, ia terpukau melihat restoran yang sudah di booking dan di hias semewah mungkin.
Drrt. Drrt.
Venny menggeser layar ponselnya yang bergetar yang terdapat sebuah message disana.
Maafkan tante karena tidak bisa datang, sayang. Have fun.
Seketika ia merasa ragu. Jika Eliza tidak datang, lantas siapa yang menunggunya? Apakah~
Dengan gugup Venny melangkah masuk. Matanya memandang sekitar sebelum menemukan dosennya yang sudah menunggu disana sambil melirik jam tangannya. Dia menggunakan jas formal dan rambut yang di potong rapi. Dengan langkah antisipasi Venny berjalan pelan menuju meja tersebut.
"Ehm! Excuse me, Sir." Venny membuka suara. Willy menoleh dan terkejut melihat mahasiswanya didepannya saat ini.
"Kau??"
Venny merasa canggung. Menggaruk pelipisnya pelan. Ia hanya diam, lalu suara itu tiba-tiba terdengar melembut.
"Maafkan aku. Silahkan duduk." Willy berkata ramah dan tersenyum. "Kita belum berkenalan diri secara resmi. Saya William Jordan." Willy mengulurkan tangannya.
Venny menyambutnya, "Venny Herrson." Ujarnya ramah tak lupa senyuman yang paling manis yang mampu ia berikan.
"Aku sudah memesankan makanan untuk kita. Sebentar lagi sampai." Willy berkata lembut. Hanya dengan begitu saja bisa membuat hati Venny bermekaran dengan banyak bunga didalamnya.
Sesaat setelah mengatakan itu, beberapa pelayan datang membawa makan dan dengan telatennya menaruh makanan serta minuman tersebut di atas meja. Kemudian, pelayan itu pergi meninggalkan keheningan kembali di antara mereka berdua.
"Sebaiknya kita makan terlebih dulu. Setelahnya, baru berbicara." Willy berkata sopan.
"Baik, Pak."
"Jangan panggil 'Pak'. Ini di luar jam kampus. Panggil saja Willy."
"Baik, Pa.. eh Willy."
Willy tersenyum manis melihat Venny yang gugup didepannya. Tak jarang dia menemukan perempuan yang gugup di hadapannya. Hal tersebut sudah biasa kecuali perempuan itu.
Venny makan dengan hati-hati. Untunglah ia berasal dari keluarga berada yang biasa memakan makanan di restoran fine dining. Jadi, dia sudah mengerti tata cara memakannya. Dia mulai melahap makanan yang ada di depannya sedikit demi sedikit walaupun kegugupan menyerang tubuhya, tapi dia menutupnya dengan baik.
Wanita mana yang tak gugup jika bisa semeja dengan pria tampan dihadapannyan ini? Ah~ Venny lupa! Sahabatnya itu tak pernah gugup jika berhadapan dengan seorang William.
"Semoga kau suka dengan makanannya. Aku tidak tahu makanan kesukaanmu, jadi aku memesan yang biasa ku pesan." Willy membuka suara.
"Aku suka makanannya." Jawab Venny singkat sambil memasukkan steak ke mulutnya.
Beberapa menit berlalu. Makanan berat dihadapan mereka sudah habis. Willy memanggil sang pelayan untuk memberikan dessert.
"Jadi, apa pendapatmu tentang perjodohan ini?" Willy bertanya langsung kepada wanita di depannya. Dia bukan tipe orang yang suka berbasa-basi.
"Menurutku, bukankah lebih baik mencoba?" Venny berkata sedikit ragu namun keraguan itu ditepisnya. "Aku tidak masalah dengan perjodohan ini."
"Bagaimana jika aku yang menolak perjodohan ini?" Willy memancing emosi wanita di depannya. Dia ingin melihat seberapa sabar wanita itu menghadapinya.
Venny terbelalak kaget mendengar perkataan Willy yang terlalu to the point. Dia sudah lama jatuh hati pada dosen di depannya ini, dan baru kali ini ia di tolak terang-terangan begini.
Hatinya sama sekali tidak terima bahkan kalau Willy menggunakan kata 'jika' pada kalimatnya. Bukankah itu sebuah kode bahwa pria itu memang tidak ingin perjodohan ini terjadi?
"Jadi... jadi anda menolak perjodohan ini?" Pertanyaan yang mengandung unsur kekecewaan itu meluncur begitu saja dari bibir Venny.
"Aku tidak mengatakan menolak tapi aku juga tidak mengatakan menerima."
Seketika Venny merasakan kepalanya pusing. Merasa bingung atas jawaban tersebut.
"Jadi?" Venny sambil menatap dosen di depannya ini lekat-lekat.
Menatap Venny menilai, Willy bergumam pelan. "Aku akan memberikanmu waktu dua bulan untuk mencuri hati anakku. Jika kau berhasil, setelahnya kita menikah dan aku akan membuka hatiku untukmu. Namun, jika gagal perjodohan ini batal." Tawar Willy dengan tenang.
Gila! Ini benar-benar gila.
Alea benar... Isi kepala seorang William penuh dengan kelicikan. Tapi, dia sudah sejauh ini. Tidak mungkin melepaskan seorang lelaki paket sempurna di depannya hanya karena syarat yang terlalu mudah itu? Bukankah rugi ia menyerah sekarang? Menarik napas pelan, Venny bergumam.
"Okay. Aku setuju."
Willy tampak puas mendengar jawaban dari mulut Venny. "Mari kita pulang. Biar aku antar."
"Fix! Kau gila." Alea melontarkan komentar yang singkat, padat, dan tidak jelas itu kepada sahabatnya sambil memakan kembali burger-nya, keduanya saat ini sedang di kantin kampus. Venny telah menceritakan semua kejadian semalam yang dialaminya.
"Terus, aku harus gimana? Mundur? Setelah aku melangkah cukup jauh?" Venny benar-benar frustasi dengan keputusan yang di ambilnya semalam. Malu sekaligus rasa ingin terus berusaha untuk mendapatkan hati bocah tersebut.
Alea hanya mengangkat kedua bahunya tak acuh.
"Al, please.. bantuin aku buat dapetin hati Pak Willy." Venny memegang tangan Alea saat Alea ingin menyuapkan burger ke mulut mungilnya.
Bola mata Alea yang besar dan berwarna hitam pekat itu menatap Venny aneh. "Kau meminta bantuanku untuk meluluhkan dosen sombong itu? Apa kau demam, Ven?" Alea meraba kening Venny. "Tidak demam." Gumam Alea lebih kepada dirinya sendiri.
Venny menepis tangan Alea. "Setidaknya kau pernah berinteraksi dengannya."
Alis Alea langsung terangkat sebelah. "Ralat, konfrontasi!"
"Alea, please..." Venny seakan menulikan telinganya. "Aku meminta bantuanmu karena kau sahabatku. Lagipula, kalian memang sering berinteraksi yaa walaupun interaksi kalian sedikit menegangkan."
"Kalau kau meminta bantuanku untuk menaikkan darah dosen gila itu aku bisa. Tapi, kalau untuk meluluhkan hati dosen sombong itu, maaf Ven. Aku bukan orang yang tepat!" Alea menyuapkan kembali burger ke dalam mulutnya dengan lahap tanpa memperdulikan Venny yang tampak frustasi di depannya.
"Tapi, aku tahu siapa yang bisa membantumu." Lanjut Alea datar.
"Siapa? Siapa?" Tanya Venny bersemangat.
"Laura?!" Jawab Alea santai.
"What the f**k?!"
"Your words, Ven!" Tegur Alea tidak suka. Alea tidak suka jika ada teman-temannya maupun orang lain berkata kotor. Tak peduli di kenal atau tidak olehnya dia tetap akan menegurnya.
"Laura yang kecentilan itu? Sama sekali tidak membantu. Kau tahu bukan mulutnya sangat tidak bisa dipercaya. Kalau seisi kampus tahu aku dijodohkan dengan Pak Willy, besok pagi sudah di pastikan aku ditemukan dalam keadaan termutilasi." Venny mengacuhkan peringatan Alea dan menyeruput lemon tea-nya hingga tandas.
"Aku hanya bercanda. Kakak sepupuku mungkin bisa membantumu. Kebetulan dia bekerja di rumah sakit milik keluarga Henderson. Jadi, dia pasti kenal dengan dosen kesayanganmu itu."
"Siapa kakak sepupumu?" Tanya Venny antusias.
"Kak David. Dia bekerja sebagai dokter kandungan disana."
Revise, 9/10/18
Mika