Chapter 3 : Benci

1008 Kata
“Daddy, bisakah berhenti bekerja atau bekerjalah di pagi hingga sore hari? Sehingga Daddy bisa menemani aku dan Aaron pada malam hari.” “Dear, Daddy tidak dapat berhenti bekerja. Jika Daddy tidak bekerja, lalu kita akan tinggal dimana? Karena apartemen yang kita tinggali saat ini hanya sewaan. Dan hanya Rooka Chocolate Shop yang menerima Daddy bekerja pada shift malam, jadi maaf Daddy kembali mengecewakanmu. Bukankah kau ditemani Aaron dan Mom?” “Aku mengerti, Daddy. Aku hanya ingin bersama Daddy dan Aaron.” “Emily tidak sayang pada Mom?” “Tidak!” jawabnya tegas dan singkat. “Sudah waktunya berangkat sekolah, bersiap-siaplah,” pinta sang ayah dengan suara lembut. Lalu, Emily turun dari tempat tidurnya dan berjalan keluar dari kamarnya, kemudian berdiri di depan pintu kamar mandi, menunggu Aaron yang sedang mandi. Alfred merasa terkejut mendengar semua penjelasan anak perempuannya. Dan satu pernyataan yang mengusik hatinya ialah bagaimana bisa seorang anak perempuan tidak menyayangi ibunya? Alfred merasa sesuatu yang salah telah terjadi, tetapi dia tidak menyadari jika yang sungguh telah terjadi di luar perkiraannya. Sementara itu, Aaron telah selesai mandi, kini Emily masuk ke dalam kamar mandi dan menutup rapat pintunya. Alfred berjalan menuju dapur dan duduk di kursi yang berada di depan meja dapur. “Clara, pagi ini Emily bertingkah aneh. Apa kau juga menyadarinya?” tanya Alfred penasaran. “Mungkin hanya perasaanmu saja. Bukankah Emily adalah anak remaja yang sedang mencari jati dirinya?” “Ya, aku tahu soal itu, tetapi dia terlihat sedih dan entah kenapa aku merasa sangat khawatir padanya.” “Jangan khawatir! Untuk membuatmu sedikit lebih tenang, aku akan berbicara dengannya malam ini. Bagaimana?” jawab Clara. “Baiklah, cobalah untuk berbicara lembut dengannya. Posisikan dirimu sebagai sahabatnya dan bukan sebagai orang tuanya. Sejak kemarin malam, hatiku tidak tenang dan aku terus memikirkan Emily. Aku sangat menyayanginya.” “Aku pun menyayanginya. Kemarin malam setelah menyelesaikan tugas sekolahnya, dia langsung pergi tidur, begitu juga dengan Aaron. Lalu, aku menonton televisi hingga larut malam.” “Baiklah, aku mengerti. Cobalah untuk berbicara dengannya nanti malam. Apakah sarapan untuk anak-anak telah siap?” tanya Alfred sambil menoleh ke arah meja makan. “Sudah siap sejak pagi. Aku akan memeriksa keadaan mereka. Kau duduklah dahulu di meja makan, aku telah membuatkan kopi untukmu,” jawab Clara seraya menarik tangan Alfred dan memintanya untuk menunggu di meja makan, lalu dia mencium mesra bibir Alfred. “I love you, Clara.” “Love you, Alfred.” Lalu, Clara berjalan menuju ke kamar tidur Aaron dan Emily. Pertama, dia menengok ke dalam kamar gadis itu, terlihat kosong. Dia berpikir mungkin anak perempuannya masih berada di dalam kamar mandi. Kemudian, dia berjalan menuju kamar Aaron, rupanya anak laki-laki itu sedang membetulkan t-shirtnya. Dia telah berpakaian lengkap, tas dan semua perlengkapan sekolahnya telah siap. “Aaron, apa kau sudah selesai?” tanya Clara. “Sudah, Mom.” “Makanlah sarapanmu cepat. Daddy menunggu di meja makan.” Tanpa menunggu lama, Aaron langsung berjalan keluar kamar sambil menggendong tas sekolahnya beserta perlengkapan lainnya. Ketika Clara membalikkan tubuhnya dan hendak beranjak dari situ, dia hampir saja menabrak anak perempuannya yang baru saja keluar dari kamar mandi. Wanita itu merasa sangat terkejut, dan untuk ke sekian kalinya, masalah sepele menjadi masalah besar. Emosi Clara mendadak tinggi dan dia pun mulai berteriak pada gadis itu. “Bisakah kau tidak mengejutkan Mom dengan segala perilakumu itu?” seru Clara dengan nada suara yang tinggi. Rupanya, Alfred mendengar teriakan istrinya dan bergegas menghampiri mereka. Setibanya di hadapan keduanya, Alfred lantas bertanya, “Ada apa ini?” “Dia mengagetkanku, hampir saja jantungku berhenti berdetak karenanya,” jawab Clara. “Sudahlah, Clara. Itu hanyalah masalah kecil dan dia masih seorang anak kecil yang baru saja beranjak remaja. Cepat masuklah ke kamar dan gantilah pakaianmu, Emily,” ucap Alfred. “Yes, Daddy,” jawab Emily sambil beranjak pergi dari situ. Kemudian, Emily segera memakai celana panjang jeans serta t-shirt putih berkerah dengan sedikit bordiran bunga mawar merah di sisi kanan t-shirtnya. Lalu, ia menggendong tasnya dan berjalan keluar. Alfred, Clara dan Aaron telah menunggunya di meja makan. Setelah sampai di hadapan mereka, Emily menarik kursi lalu duduk, kemudian mengambil roti tawar dan selai strawberry kesukaannya. Ia mengoleskan perlahan selai itu pada roti tawar. Dengan tergesa ia melahap dua lembar roti tawar sambil terus melirik pada jam dinding. Alfred yang menyadari hal tersebut lantas berusaha menenangkan anak perempuannya. “Emily, tenanglah dan jangan makan dengan tergesa, nanti kau tersedak. Ini minumlah susumu,” ucap Alfred lembut. Emily mengambil gelas susunya dan langsung menenggak separuh isinya. Lalu, melanjutkan memasukkan sisa gigitan roti tawar terakhirnya ke dalam mulut. Kemudian, ia berdiri dan berjalan ke wastafel yang berada di sebelah lemari es dengan langkah yang sedikit aneh. Emily masih menahan sakit pada area genitalnya, bahkan ia merasakan perih pada area itu ketika ia buang air kecil. Sekilas Alfred memperhatikan langkah anak perempuannya dan merasakan keganjilan. Lalu, untuk menuntaskan rasa penasarannya, dia bertanya, “Emily, mengapa langkahmu terlihat aneh dan berbeda hari ini? Apa kau baik-baik saja?” “D-daddy ... aku—,” jawab Emily terbata-bata. Clara yang menyadari hal tersebut, lantas menyanggah dan berusaha untuk menetralkan keadaan. “Dia baik-baik saja, Alfred. Kau sangat protektif sekali hari ini. Sebaiknya cepat antarkan mereka ke sekolah,” bujuk Clara. Emily yang mendengar semua penjelasan ibunya hanya bisa berdiri, terdiam tak berdaya. Batinnya ingin menjerit dan memberitahu sang ayah, tetapi ia terlalu takut. Ia takut jika ibunya dan Drake akan menyakiti ayahnya dan Aaron. “Apa kalian sudah siap anak-anak? Jika sudah mari kita berangkat sebelum terlambat,” ajak Alfred pada anak-anaknya. “Ya, Ayah. Kami sudah siap, “ jawab Aaron yang langsung menggendong tasnya dan membawa perlengkapannya lainnya di tangan kanan. Lalu, Alfred berdiri dan menghampiri Emily, meraih tangan gadis itu dan menatap matanya seraya bertanya, “Apa yang kau pikirkan, Sayang?” Emily menggeleng-gelengkan kepalanya dan menjawab, “Tidak ada, Ayah. Mari kita berangkat.” Pagi itu, ketiganya berangkat lebih awal ke sekolah. Alfred dan Aaron berpamitan pada Clara. Hanya Emily yang diam dan tidak berkata satu patah katapun. Alfred menjadi semakin bingung dengan keadaan anak perempuannya. Saat membuka pintu masuk, Aaron menggandeng tangan Emily dan menariknya berjalan keluar. Saat itu, Emily menyadari dan melihat jika Drake sedang berdiri di depan pintu apartemennya. Wajah Emily langsung berubah pucat, tubuhnya gemetar dan ia berpegangan erat pada Aaron. “Emily, ada apa denganmu? Mengapa kau mencengkeram tanganku? Lepaskan!” seru Aaron. Tetapi, Emily tetap tidak mau melepaskan cengkeraman tangannya pada tangan Aaron, kakaknya. Wajahnya tertunduk ke bawah, rasa takut menyerang setiap sendi di tubuhnya.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN