Cerita Junot 1

1389 Kata
    Junot tidak tahu akan ada acara apa, yang jelas hari ini semua orang sibuk. Dan perlu dicatat, ada beberapa tetangga yang datang untuk membantu Bunda memasak, karena Bunda membuat makanan yang sangat banyak.     "Kayak baru kemarin si Riefan lahir, sekarang tiba-tiba udah mau nikah aja," ucap salah satu dari mereka. "Gue jadi kepengen cepet dapet mantu juga."     Mereka semua tertawa. Pernyataan itu kemudian ditimpali dengan tanggapan yang beragam, khas Ibu-ibu.     "Gue doain, anak-anak kalian cepet dapet jodoh semua!" seru Bunda.     "Aduh, gue jangan dulu deh, Jeng. Anak gue masih SMP gitu."     "Gue juga jangan dulu, biar anak gue sekolah yang bener."     "JENG, GOSONG ITU!"     Karena seruan melengking tersebut, mereka semua langsung heboh dan berteriak-teriak tidak jelas. Padahal seharusnya hanya tinggal mematikan kompor, beres.     Junot geleng-geleng kepala. Ibu-ibu zaman sekarang memang suka rempong. Gitu aja, kok, repot!     Daripada telinga semakin panas karena rumpi Bunda dan kawan-kawan, Junot memilih untuk pergi saja. Sepertinya bermain dengan anak-anak di luar, jauh lebih menyenangkan.     Junot kecil yang masih berusia empat tahun, berlari keluar rumah, bergabung dengan anak-anak tetangga lain yang seumuran dengannya.     Sore hari setelah dimandikan Bunda, Junot segera mengangkat kedua tangannya ke udara, menunggu Bunda merespon.     Sayangnya reaksi Bunda tak sesuai harapan. "Jalan sendiri dong!"     "Tapi Jun males jalan, Bunda. Gendong!" Junot menghentakkan kakinya beberapa kali.     Akhirnya Bunda luluh juga. Ia segera mengangkat tubuh putranya meskipun sedikit keberatan.     "Aduh-aduh, pinggang Bunda bisa encok kalo begini terus!" keluhnya.     Nah, Junot malah tertawa mendengar keluhan bundanya itu.     Junot harus rela menunggu cukup lama dalam keadaan telanjang. Dingin juga lama-lama, sehingga ia terpaksa memakai handuk untuk menutup tubuhnya.     "Bunda lama banget, sih!" Junot mulai protes.     "Sebentar dong, Not-not! Bunda lagi cari jas kamu. Di mana, ya? Perasaan waktu itu Bunda taruh sini." Bunda meneruskan aksinya mengobrak-abrik lemari.     "Bunda, mah! Dibilangin jangan panggil Jun begitu! Malu kalo anak-anak lain denger. Mereka suka ledekin Jun, tauk!" Junot memang tak pernah suka tiap kali Bunda memanggilnya Not-not.     "Duh, gemes banget bontot Bunda kalo lagi marah-marah gini!" Bunda malah mencubit kedua pipi Junot tanpa ampun.     Kalau sudah begini, tak ada yang bisa Junot lakukan kecuali pasrah.     Junot pikir, setelah ia memakai setelan jas lengkap dengan dasi kupu-kupu warna merah, penantiannya akan selesai. Nyatanya tidak seperti itu, Saudara-saudara. Ia masih harus menunggu lagi.     Saat ini Bunda sedang di-make up oleh seseorang yang khusus diundang dari salon. Ini bahkan sudah satu jam, tapi Bunda masih belum selesai didandani.     Sampai kapankah Junot harus menunggu? Ia sudah ganteng begini. Tapi apa gunanya ganteng, kalau akhirnya akan berantakan lagi karena terlalu lama menunggu?     Junot duduk pasrah, berpangku tangan, menatap orang-orang yang masih sibuk lalu lalang.     Sehabis maghrib, semua orang sudah siap. Ada sekitar 30 orang yang ikut rombongan. Junot masih belum tahu akan ada acara apa. Yang jelas pasti ini acara penting.     Junot terkesiap saat melihat kakaknya menuruni tangga. Well, Junot sudah biasa melihat Riefan memakai setelan jas. Tapi malam ini, ia terlihat berbeda. Wajahnya terlihat bahagia dan berseri-seri. Junot harus mengakui kalau kakaknya itu sangat tampan.     Perjalanan sekitar 45 menit hingga rombongan tiba di sebuah rumah besar. Mereka berjalan bergilir membawa kotak-kotak kue yang sudah disiapkan. Termasuk Junot kecil yang terlihat keberatan membawa kotaknya.     Mereka disambut oleh sepasang suami istri yang juga berdandan tak kalah heboh. "Silakan masuk!"     Di dalam sudah ada wanita cantik yang menunggu. Kalau ini, sih, Junot kenal. Ia adalah Araya--pacarnya Riefan--yang paling baik dan ramah. Itulah sebabnya Junot dan Araya bisa menjadi sangat dekat.     Dan yang membuat Junot terpukau, malam ini Araya terlihat jauh lebih cantik dari biasanya. Ia memakai kebaya berwarna hijau, dan rambutnya disanggul.     Junot meletakkan kotak kue yang dibawanya di lantai. Hal itu membuat dirinya ditertawai oleh semua rombongan dan tuan rumah. Tapi Junot tidak peduli. Fokusnya hanya tertuju pada Araya. Ia berlari menghampiri wanita itu, dan tanpa ragu duduk di pangkuannya.     "Not-not, sini! Nggak boleh pangku Mbak Raya dulu!" seru Bunda.     Junot langsung cemberut. Araya tertawa. "Nggak apa-apa, Bun. Biarin aja!"     Acara malam itu diawali dengan pembukaan yang dilakukan oleh Ayah. Ia mengenalkan seluruh keluarga inti--meskipun sebenarnya sudah kenal--hanya sebagai formalitas saja.     Junot akhirnya tahu bahwa ini adalah acara lamaran. Iya, lamaran. Jadi, malam ini Riefan akan melamar Araya untuk menjadi calon istrinya.     Sekarang giliran keluarga Araya yang mengenalkan anggota keluarga intinya. Lelaki berkumis tebal yang merupakan ayah dari Araya itu memulai tugasnya.     Mendadak fokus Junot teralih. Ia terlalu asyik menatap seorang remaja tanggung yang duduk menyendiri, menjauh dari kerumunan. Ia juga berdandan, memakai setelan jas rapi. Jadi, pasti ia adalah anggota keluarga, kan? Tapi kenapa ia tak mau berbaur?     Junot terkesiap saat si Penyendiri tiba-tiba menatapnya. Tatapan matanya begitu tajam, sulit diartikan, dan mengintimidasi. Seketika Junot menunduk. Ia tak berani menatapnya lagi. Junot memejamkan matanya untuk beberapa saat. Setelah ketakutannya sedikit mereda, ia berusaha kembali fokus pada penjelasan tuan rumah.     "Dia adiknya Raya, anaknya memang agak pendiam. Tapi dia anak yang baik, kok."   ***       Pernikahan Riefan dan Araya berlangsung satu bulan kemudian. Semuanya berjalan lancar tanpa halangan suatu apapun. Junot ikut bahagia melihat Riefan dan Araya bersama. Satu hal yang membuatnya gelisah, anak itu—si Penyendiri. Junot benar-benar tak menyukai anak itu, terutama tatapan matanya.     Untungnya tak lama setelah pernikahan Riefan dan Araya, si Penyendiri tak pernah kelihatan lagi batang hidungnya. Junot tak tahu mengapa. Ia dengar, anak itu kabur dari rumah tanpa alasan yang jelas. Orangtuanya menutup rapat perihal itu. Bahkan dari keluarga besannya.     Setelah itu, Junot mengganti julukannya pada adik Araya. Bukan si Penyendiri, melainkan si Orang Hilang.     Tak lama kemudian, tak hanya si Orang Hilang, kedua orang tua Araya pun menghilang tanpa kabar. Hal itu tentu membuat Araya sangat sedih. Untungnya Riefan berjanji akan mencari keberadaan keluarganya.   ***       Satu tahun kemudian.     Junot merasa hidupnya begitu bahagia dan lengkap. Ia barusaja mendapatkan keponakan yang lucu. Junot sangat menyayanginya. Ia berjanji akan menjaga anak ini, yang kelak akan menjadi teman main barunya.     "Jun senang?" tanya Araya.     Wanita itu memakai cannula di hidungnya, wajahnya sangat pucat, dan ia terlihat lemah. Kondisinya belum membaik semenjak operasi caesar dilakukan. Bayinya mustahil lahir normal karena kehamilan Araya mengalami komplikasi pre eklampsia.     Junot sedih melihat Araya dalam keadaan seperti itu. Ia hanya menjawab pertanyaan Araya dengan sebuah anggukan.     Riefan datang dengan wajahnya yang kusut. Ia baru saja dari ruangan dokter, ia bicara banyak tentang kondisi istrinya.     Seorang wanita memasuki ruangan ini. Ia adalah Lestari, sahabat Araya. Air matanya mengalir begitu saja tanpa diminta.     "Selamat ya, Raya! Anak lo ganteng, lo harus jagain dia dengan baik," ucap Lestari di sela isakannya.     Araya tersenyum. Perlahan ia meraih jemari Lestari, kemudian menyatukannya dengan jemari suaminya. Baik Riefan ataupun Lestari tak bisa menutupi keterkejutannya.     "Tari, gue tahu selama ini lo mencintai Mas Riefan. Gue mohon, jagain suami gue dan Yas, ya! Maaf, karena bahkan sampai akhir, gue masih selalu repotin lo."     Lestari menghapus air mata yang menuruni pelipis Araya. Ia kemudian menggeleng kasar. "Lo ngomong apa, Raya? Lo pasti sembuh."     Araya hanya tersenyum, pandangannya beralih pada sang suami. "Mas, maafin aku. Maaf karena nggak bisa nepatin janji untuk mendampingi Mas selamanya. Tapi setidaknya satu janji sudah aku sanggupi, untuk bersama sampai maut memisahkan. Mas dan Tari harus bersama dan bahagia, jaga Yas baik-baik!"     Riefan tak mengatakan apapun perihal permohonan istrinya. Apa yang bisa ia katakan? Bahkan dokter sudah menyerah akan kondisi istrinya. Riefan hanya bisa menggenggam erat jemari pucat itu. Berharap pemiliknya akan terus berada di sisinya, tak pernah pergi meninggalkannya, selamanya.     Lestari pun tak sanggup berkata-kata lagi. Ia menenggelamkan kepalanya di leher Araya. Ia hanya bisa menangisi takdir yang begitu kejam. Ia memang mencintai Ifan secara diam-diam sejak lama. Ia sakit hati ketika mengetahui Araya, sahabatnya, ternyata sudah dekat dengan Ifan terlebih dahulu.     Tapi Lestari diam. Tak apa. Toh masih banyak lelaki di dunia. Persabatannya dengan Araya terlalu kuat, terlalu berharga jika harus hancur hanya karena masalah cinta.     Meskipun harapannya untuk bisa bersama Riefan masih selalu ada. Tapi bukan seperti ini caranya.     "Gue mohon, lo harus janji bakal jagain mereka ya, Tar!"     "Tapi, Raya ...."     "Janji sama gue, Tari!"     Lestari benar-benar tak rela jika akhirnya seperti ini. Ia membuang mukanya ke arah lain, tak ingin menatap Araya yang masih memohon padanya.     Bayi itu tertidur pulas di dalam box-nya. Ia masih suci, tanpa dosa. Tidakkah terlalu jahat, bila ia harus kehilangan ibunya sekarang?     Pandangan Lestari beralih pada Riefan. Lelaki itu juga tengah menatapnya. Riefan kemudian mengangguk, meminta Lestari untuk memenuhi permintaan terakhir istrinya. Karena pada saat ini, hanya hal itu yang bisa mereka lakukan untuk Araya. Untuk memenuhi satu-satunya permintaan terakhirnya.   ***   TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN