Cerita Junot 2

2131 Kata
    Pernikahan itu digelar secara sederhana, hanya keluarga inti yang hadir sebagai saksi. Sebuah pernikahan yang dipenuhi dengan tangisan. Hari ini baru satu minggu setelah Araya pergi. Tapi mereka semua sudah sepakat, bahwa melangsungkan pernikahan lebih cepat, maka akan lebih baik.     Mereka semua juga sepakat tak akan memberi tahu Yas tentang Ibu kandungnya. Ini adalah permintaan dari Riefan. Karena ia merasa tak sanggup menceritakan kenangan buruk itu pada anaknya. Ia takut kelak Yas akan merasa bersalah atas kematian Araya.     Biarlah anak itu mengenal Lestari sebagai satu-satunya ibu yang ia punya.     Lestari benar-benar menyayangi Yas seperti putranya sendiri. Tak hanya semata-mata karena janjinya pada Araya, namun ada sebuah ikatan khusus antara dirinya dan Yas. Lestari berjanji pada dirinya sendiri, akan merawat anak ini sebaik mungkin. Kelak jika ia memiliki anak sendiri, ia tak akan membedakan kasih sayang pada mereka.     "Mbak Tari, Yas nangis!" Junot berteriak dari ruang tengah.     Lestari berlari dari dapur. Anaknya itu memang sedang menangis di atas lantai, pasti jatuh lagi. Yas memang sudah bisa berjalan sejak beberapa hari yang lalu. Saat ini ia sedang senang-senangnya berlarian ke sana kemari. Karena baru bisa, maka ia belum tahu bagaimana cara mengontrol langkahnya dengan baik, alhasil ia jadi sering jatuh.     "Cup, nggak apa-apa, lain kali jalannya hati-hati ya, Sayang!" Lestari mengecup pipi gembul Yas. Anak itu seketika berhenti menangis setelah sang ibu mengelus lututnya yang memerah.     Lestari terusik saat pintu depan tiba-tiba terbuka. Riefan muncul dari sana dengan beberapa asistennya. Lestari segera menggendong Yas, Junot membuntut di belakangnya. Wanita itu tahu ada yang tidak beres, karena tidak biasanya sang suami pulang siang-siang bolong begini.     "Ada apa, Mas?"     "Ayah sama Bunda kecelakaan, Tari. Mereka ... meninggal." Mata Riefan berkaca-kaca.     Lestari tercengang di tempatnya. "Innalillahiwainnailairajiun."     Riefan perlahan melangkah mendekati Junot yang masih berdiri di belakang Lestari. Riefan kemudian berlutut di hadapannya.     "Ayah sama Bunda sudah meninggal, Mas?" Ketika pertanyaan itu meluncur dari bibir mungil Junot, Riefan tak lagi bisa menahan tangisnya. Lelaki itu segera merengkuh si adik bungsu dalam pelukan. ***     Rumah ini dipenuhi oleh orang-orang yang datang untuk berbela sungkawa. Dua tubuh tak bernyawa itu disemayamkan di ruang tengah, mereka sudah dimandikan, dan saat ini orang-orang tengah bergantian menyolati mereka.     Semua tak kuasa menahan haru saat Junot ... anak itu, ia tak pernah pergi dari sisi ibunya. Ia menangis dalam diam. Ia menatap wajah ibunya lekat.     "Bunda ... Jun nggak apa-apa kalo Bunda manggil Jun dengan sebutan Not-not. Jun memang nggak suka, karena itu jelek. Tapi nggak apa-apa. Beneran. Kalaupun nantinya Jun diledekin lagi, itu juga nggak apa-apa. Asal ada Bunda sama Jun. Bunda, jangan pergi!"     Riefan segera datang dan menggendong adiknya pergi menjauh dari sana.     Kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orangtua mereka diyakini bukanlah sebuah kecelakaan yang sesungguhnya. Hal itu diduga sengaja dilakukan oleh seorang oknum.     Beberapa waktu berlalu, namun kasus itu masih belum terpecahkan. Aparat kepolisian belum berhasil mengungkap siapa dalang di balik tragedi itu.   ***       Junot berusia tujuh tahun saat keluarga kecil Riefan akhirnya pindah ke rumah mereka sendiri. Junot sedih karena ia akan ditinggal oleh Yas, keponakan, sekaligus adik, sekaligus temannya.     Tapi tak masalah, karena rumah mereka tak terlalu jauh dari sini. Sehingga mereka tetap bisa sering bertemu. Lagipula di rumah ini juga ada Mbah Kakung dan Mbah Putri yang menjaganya.     "Oom, d**a!" Yas melambaikan tangannya. Anak itu bahkan baru bisa bicara, tapi ia sudah cerewet sekali. Kadang Junot sampai lelah menanggapi pertanyaan-pertanyaan ajaibnya.     Junot melambaikan tangannya dengan antusias. Dulu saat Riefan dan Lestari mengajari Yas untuk memanggil Junot dengan sebutan Oom, anak itu protes. Ia tidak mau. Ia masih kecil, bagaimana bisa dipanggil Oom? Tapi setelah diberi pengertian, ia akhirnya diam. Karena memang seharusnya seperti itu.     Salahkan saja jarak umur Junot dengan Riefan yang terpaut terlampau jauh!     "Jun, sini!" seru Mbah Kakung dari ambang pintu. Ia memanggil Junot yang sedang bermain dengan anak-anak tetangga.     Karena kesal acara bermainnya diganggu, Junot langsung berhenti berlari. Ia duduk selonjoran di atas tanah. Anak-anak lain sudah tidak heran lagi dengan kelakuan si Junot. Ia memang begitu. Mereka sudah hapal.     "Jun, Mbah udah tua. Udah nggak kuat lagi!" omel Mbah Kakung.     "Tapi Jun males jalan, Mbah. Salah sendiri lagi asyik main malah diganggu!"     Mbah Kakung mengelus dadanya. Mbah Putri menertawakan kelakuan suami dan cucunya dari dalam rumah. Meskipun dengan berat hati, Mbah Kakung akhirnya berjalan menghampiri Junot untuk memenuhi keinginan cucunya itu.     "Nanti kalau punggung Mbah bengkok, kapok kamu, Jun! Nggak ada lagi yang bisa gendong kamu."     Junot tertawa mendengarnya. "Sekarang aja udah bengkok, Mbah. Mau tambah bengkok gimana lagi?" Junot mengeratkan pegangannya, takut jatuh dari punggung Mbah Kakung.     Dasar cucu kurang ajar!     Mereka bertiga duduk santai di ruang keluarga. "Kenapa? Mbah Kakung mau ngomong apa tadi?"     "Kamu inget Keke?"     "Keke?" Junot memutar ingatannya. "Oh, si Kejora yang gembul itu, ya, Mbah? Tapi cantik, sih!" Junot akhirnya ingat. Karena beberapa bulan yang lalu keluarga Kejora memang menginap di sini.     "Anak itu dijodohin sama kamu."     "Ha? Dijodohin. Kan Jun masih kecil. Kejora malah masih bayi. Sama kayak Yas kan umurnya? Gimana bisa nikah? Emangnya Bayi bisa punya bayi ya, Mbah?"     Mbah Kakung dan Mbah Putri tertawa seketika. Pikiran anak ini sudah pergi ke mana-mana. Astaga, anak zaman sekarang!     "Dijodohin bukan berarti menikah sekarang, Jun."     "Nanti kalian nikah kalau sudah cukup umur, lah."     "Oh!" Junot mengangguk mengerti. "Tapi kenapa sama aku? Kenapa nggak sama Yas, yang seumuran?"     "Karena ... karena ini adalah kesepakatan antara almarhum orang tua mu dan juga orang tua Kejora, Jun."     Junot terdiam. Ia jadi rindu Ayah dan Bunda. Seandainya saat ini mereka masih ada.   ***       Junot menowel pipi dua bayi yang baru lahir itu, keponakan barunya. Sepuluh tahun setelah menikah, Riefan dan Lestari akhirnya memiliki bayi mereka sendiri. Bayi kembar super sehat yang bahkan sudah bisa berkelahi di usia yang belum genap satu hari.     Elang meninju pipi adiknya. Theo menangis sebentar, kemudian ia membalas tinjuan kakanya. Gantian Elang yang menangis. Begitu terus tak ada habisnya.     Mereka semua tertawa dengan kelakuan dua bayi itu. Meskiun mereka semua tahu itu bahwa perkelahian itu hanyalah sebuah ketidak sengajaan, wajar kalau bayi suka bergerak-gerak bebas.     "Kamu punya adek langsung dua gini, Yas. Berdoa aja semoga mereka nggak nakal! Kalo mereka nakal, kelar hidup kamu, Yas!" Junot mengatakannya setengah berbisik. Takut para orang dewasa mendengar.     Gagal. Mereka sudah terlanjur mendengar.     "Jun, jangan ngomong sembarangan sama Yas!" Nah, Riefan langsung mengomelinya.     Dasar kakak cerewet!     "Mereka nggak bakal nakal, Oom. Aku bakal jadi kakak yang baik, sehingga adek-adek aku juga bakal baik dua-duanya," jawab Yas. Junot tersenyum. Anak ini baru berumur 10 tahun, tapi ia bersikap sangat dewasa. Memang dari dulu Yas seperti itu sih.     Junot kadang takut jika kelak Yas akhirnya tahu kenyataan di balik keluarganya. Bahwa Lestari bukan ibu kandungnya, pasti ia akan sangat tersakiti.   ***       Tujuh tahun kemudian.     Apa yang ditakutkan oleh Junot menjadi kenyatan. Kecelakaan itu terjadi dan merenggut nyawa Lestari. Seperti apa yang terjadi pada orang tuanya dulu, kecelakaan ini diduga sudah direncanakan oleh oknum tertentu. Kepolisian sedang berusaha memecahkan kasus ini, menggabungkannya dengan kasus yang sudah terjadi.     Di saat bersamaan Yas akhirnya tahu semuanya. Fakta tentang ibu kandungnya, Araya. Yas pergi dari rumah. Hal itu seperti menjadi awal dari kekacauan keluarga kakaknya.     Riefan berubah menjadi seorang workaholic. Ia kehilangan istrinya--lagi. Dan putranya juga pergi entah ke mana. Namun ia tak bisa melakukan apapun. Ia tak bisa mencari yas, ia tak punya nyali untuk bertemu putranya, setelah menyembunyikan sebuah fakta besar yang seharusnya tak pernah ditutupi.     Riefan akhirnya meminta Junot untuk mencari dan mengawasi Yas. Saat Junot menemukannya, anak itu sedang melakukan pekerjaan paruh waktunya di sebuah kedai bubble tea. Yas tidak mengusir ataupun marah padanya, ia menyambut Junot dengan baik.     "Gimana kabar, Oom?"     "Seperti yang kamu lihat." Junot menatap Yas. "Yas, kamu ... pulang, ya?"     Yas tak langsung menjawab. Ia menunduk. "Aku nggak bisa pulang, Oom. Maaf." Lama sebelum Yas mulai bicara lagi. "Gimana kabar Theo sama Elang?"     "Mereka sehat, Yas. Tapi ... nggak ada yang benar-benar ngawasin mereka. Mereka butuh kamu."     "Aku pengen, Oom. Tapi maaf, aku belum bisa maafin Papa. Juga ... belum bisa maafin diri aku sendiri."     Hati Junot mencelos mendengarnya. Yas masih menyalahkan dirinya atas kepergian Araya, serta kepergian Lestari. Araya pergi setelah melahirkannya. Lestari meninggal karena kecelakaan saat perjalanan pulang, untuk merayakan ulang tahunnya dan adik-adiknya. Yas menyalahkan dirinya, meskipun itu sama sekali bukan salahnya.     Begitu seterusnya, Junot rutin mengunjungi Yas. Dan ia tak pernah lelah membujuk keponakannya untuk pulang.   ***       "Mbah, akhir-akhir ini Keke deket sama cowok dekil, temen sekolahnya. Namanya Jodi," lapor Junot pada Mbah Kakung yang terbaring di ranjangnya.     "Ya, nggak apa-apa, namanya juga anak muda. Kamu juga nggak apa-apa kalo mau deket sama teman kampusmu. Tapi nanti kamu nikahnya kan tetep sama Keke."     "Jun cuman sayang Keke. Nggak mau sama yang lain."     "Duh, cucu Mbah udah beneran gede ya. Sabar. Deketin pelan-pelan. Selama kasih sayang yang kamu kasih lebih besar dari pada si Jodi itu, Keke pasti lama-lama luluh. Witing trisna jalaran saka kulina."     Junot menatap mata sayu kakeknya. Mbah Kakung sudah sangat tua, tapi ia masih harus mengurus pabrik. Terpaksa, karena putranya--ayah Junot dan Riefan--sudah berpulang terlebih dahulu. Dan sekarang giliran Junot yang melaksanakan tugasnya.     "Mbah nggak usah khawatir. Jun bakal mengurus pabrik dengan baik."     "Ya, harus, Jun. itu memang tugas kamu sebagai satu-satunya pewaris."     Junot tersenyum. Ia memang satu-satunya pewaris pabrik roti keluarganya. Karena Riefan sudah sukses dengan bisnisnya sendiri.     Malam harinya, rumah ini kembali dirundung duka. Mbah Kakung meninggal, menyusul Mbah Putri, yang sudah lebih dulu pergi dua tahun yang lalu.   ***       Situasi pabrik sudah stabil semenjak ditinggal Mbah Kakung. Junot perlu sedikit waktu untuk beradaptasi. Untungnya selama ini ia sering membantu di sini, jadi adaptasi itu tak berlangsung terlalu lama. Kuliahnya pun tak sampai keteteran.     Merasa pekerjaannya sudah selesai, Junot segera pergi dari pabrik. Sudah lama ia tidak menjemput Kejora dari sekolah. Ia juga rindu pada gadis itu.     Seperti yang sudah diduga, saat sampai di sekolah, gadis itu sedang bersama Jodi. Junot memarkir mobilnya tak jauh dari sana. Ia segera menghampiri mereka.     "Aa Junot!" seru Kejora begitu melihatnya.     "Pulang sekarang, yuk!" ajak Junot langsung pada intinya. Kejora terlihat enggan tentu saja. Ia masih ingin berduaan dengan pacarnya.     "Sebentar, Aa. Aku masih pengen di sini." '    Sudah kuduga!'  batin Junot.     "Not, lo harusnya kalo mau ke sini bilang dulu dong! Mentang-mentang kalian dijodohin. Tapi sekarang gue pacarnya!" Jodi malah mengomel padanya. Junot melotot. Berani sekali si dekil menceramahinya.     "Aa Junot laper nggak? Makan, yuk! Tuh mumpung warungnya Bu Sri lagi sepi!" Kejora menunjuk warung sederhana di seberang jalan yang memang selalu ramai pengunjung.     "Iya deh, ayuk! Tapi si dekil biar bayar sendiri. Nggak sudi aku bayarin dia."     "Ya, terserah Aa Junot aja, deh. Yang penting makan!" Kejora berjalan ke sana duluan, mendahului dua lelaki yang mengawalnya.     Tanpa disangka-sangka, Junot melompat ke punggung Jodi. Untungnya Jodi itu kuat dan sigap. Kalau tidak, mereka bisa langsung jatuh bertumpuk seperti burger.     "Kebiasaan, deh, lo, Not! Udah tua juga! Turun nggak lo?" Terang saja anak itu ngomel-ngomel. Junot sering minta gendong padanya seperti ini, dengan alasan, sedang malas berjalan. Perlu dicatat, malas berjalan!     "Diem aja lo! Gue kepret juga lama-lama!" Junot menoyor kepala Jodi dari belakang, agar anak ini segera diam dan tidak bicara lagi.   ***       Setelah mengantar Kejora pulang, Junot segera melesat ke kantor Riefan. Kakaknya tadi menelpon jika ia butuh bantuan.     Kantor masih ramai dengan pegawai yang sibuk bekerja. Seperti biasa, Junot langsung menuju ke ruangan Riefan. Junot mengeryit melihat seseorang yang sedang berbicara dengan Riefan di sana. Pembicaraan mereka terlihat serius. Tapi Junot tak ambil pusing, pasti orang itu adalah klien baru seperti yang sudah-sudah.     Junot berjalan mendekat. Riefan tersenyum padanya. "Udah dateng kamu?" Riefan menepuk sofa di sebelahnya meminta Junot duduk di sana.     "Kamu ingat dia?" Riefan bertanya sekali lagi.     Junot menatap orang yang dimaksud oleh Riefan itu. Secara fisik, Junot tak terlalu ingat. Tapi matanya ... Junot tak akan pernah melupakan mata itu. Sepasang mata setajam belati, yang selalu menatap lawan bicaranya dengan bengis. Junot tak pernah menyukai orang ini. Tak akan pernah. Bahkan sejak pertama kali melihatnya bertahun-tahun yang lalu, di rumah Araya. Sebelum ia menghilang dalam waktu yang lama.     "Dia dateng buat jadi salah satu investor di sini. Setelah sekian lama, ia akhirnya kembali. Alhamdulillah, Bapak sama Ibu juga sehat, Jun."     "Oh." Hanya itu jawaban dari Junot. "Y-yaudah, Mas tadi mau minta tolong apa?"     Riefan tertawa. "Nggak, Mas mau kamu dateng, ya cuman biar kalian ketemu. Kan udah lama banget semenjak terakhir kali kita ketemu sama ...."     Belum selesai Riefan bicara, Junot segera berdiri dari duduknya. Ia berdecak kesal. "Aku pikir Mas ada butuh apa gitu yang penting. Aku tadi sampek nggak mau disuruh mampir ke rumah Keke, gara-gara pengen cepet-cepet nolongin Mas."     "Tapi, Jun, kita ini keluarga. Kalian berdua sama-sama adek Mas, nggak ada salahnya kalau kalian ketemu dan ngobrol, kan?"     "Aku mau pulang aja, Mas. Maaf!" Junot tak bisa mengontrol dirinya sendiri. Baru kali ini ia bersikap seburuk ini pada orang lain. Entahlah, orang itu memiliki aura mengerikan yang membuat orang lain tak suka.   *** TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN