"Oom nggak pernah tahu namanya. Makanya saat membaca dan mendengar namanya, Oom nggak bereaksi apapun. Baru kemarin saat dia datang ke pengadilan, Oom langsung tahu itu dia."
"Terus kasus kecelakaan orang tua lo dan Mbak Lestari ...?" tanya Jodi.
"Kasus itu udah ditutup. Polisi sudah berusaha memecahkannya, kami juga sudah berusaha merelakan. Kami memutuskan membiarkan kasus itu ditutup demi ketenangan keluarga kami di sana."
"Apa maksud Oom, Zidan adalah dalang dibalik ...." Yas tidak berani melanjutkan kata-katanya.
"Iya, Yas. Makanya Oom putuskan untuk menceritakan masalah ini. Kemunculan Zidan di kantor papamu sore itu, juga merupakan awal dari kehancuran perusahaan. Dia memanfaatkan kondisi papamu yang sedang berkabung dan frustrasi. Sehingga dia bisa membuat Mas Riefan bangkrut dengan mudah.
"Oom sudah curiga bahwa kebangkrutan itu adalah perbuatan Zidan. Sejak awal Oom nggak suka melihat kedatangannya kembali. Tapi Oom tak punya bukti apa-apa. Mas Riefan sedang dalam keadaan labil, melihat adik iparnya yang sudah lama hilang tiba-tiba datang, tentu saja ia senang. Apalagi ia pernah berjanji pada Mbak Araya untuk menemukan keluarganya. Jadi Mas Riefan tak curiga sama sekali.
"Setelah kebangkrutan itu, dan papa kalian meninggal, tak ada kejadian buruk lain yang menimpa kalian. Jadi, Oom pikir Zidan sudah puas melancarkan aksinya. Oom pikir target terakhirnya adalah Mas Riefan. Tapi tiba-tiba ada kasus ini, dan setelah melihatnya di ruang sidang, Oom rasa hal ini benar-benar tak bisa dibiarkan. Kita nggak tahu dia punya rencana apa setelah ini. Bisa jadi ia merencakan hal lain yang lebih berbahaya. Oom takut kalian kenapa-napa. Tapi sekali lagi, kita tak punya bukti."
"Well, gue tahu kita semua takut dan panik sekarang," sela Jodi. "Gue bakal bantu semaksimal mungkin agar kasus ini, terutama tentang kasus hutang piutang, cepet beres dan kalian akan menang sidang."
"Tapi gimana caranya, Jod?"
"Kita harus tahu motifnya, kenapa dia melakukan ini semua? Kenapa dia begitu dendam dengan keluarga kalian? Kita harus tahu semuanya."
***
Elang memakai tas ranselnya. Ia berjalan keluar dari kelas. Untung saat istirahat seperti ini, semua anak sibuk dengan urusan perut mereka masing-masing. Jadilah tak ada yang melihat perbuatan Elang.
Anak itu menuju ke belakang aula. Karena di sanalah tempat paling sepi dan aman. Di sana Luna sudah menunggunya.
"Lun, doain aku nggak ketahuan, ya!" pintanya.
"Tenang aja, nggak usah kamu minta, aku bakal doain kamu dan adek kamu supaya nggak ketahuan."
"Ya udah, aku pergi." Perlahan Elang melepaskan genggaman tangannya, meninggalkan Luna sendirian di sana.
Elang berlari menuju gerbang belakang sekolah yang jarang dilewati orang. Gerbang ini jauh dari jangkauan, jauh dari parkiran, jauh dari kantin. Jadilah Chico—sang Dalang—memilih gerbang ini untuk membantu dua bersaudara itu kabur dari sekolah guna menjalankan sebuah misi.
Saat sampai di gerbang itu, Chico dan Theo sudah menunggu Elang dengan tampang bersungut-sungut.
"Dari mana aja lo?" kesal Theo.
"Sialan, gue sama Theo udah berakar dua meter!" lanjut Chico.
"Ya sorry, gue nyari celah dulu biar nggak ketahuan anak-anak."
"Halah, bilang aja pacaran dulu lo!" tembak Theo.
"Bukan pacaran, tapi pamitan!" Sang Kakak pintar sekali mencari alibi.
"Yaudah, yaudah," lerai Chico. "Jam istirahat semakin menipis, Guys. Sekarang kalian berdua harus dengerin gue!"
"Ransel, check?"
"CHECK!" jawab si kembar bersamaan.
"Isi ransel, check?"
"CHECK!"
"Duit buat naik angkot, check?"
"CHECK!"
"Oke. Theo dulu atau Elang dulu yang naik?" lanjut Chico.
"Gue dulu!"
"Gue duluan!"
Chico mencium aroma-aroma busuk. Ia sudah luar biasa bosan. Semenjak merencanakan hal ini kemarin siang, mereka selalu berkelahi baik dengan kata-kata ataupun fisik. Butuh berjam-jam untuk mencapai kata mufakat. Dan sekarang hanya tinggal melaksanakan rencana. Tapi mereka malah mulai lagi.
"Eh, gue ini kakak lo. Jadi gue duluan!"
"Tapi gue adek lo. Kakak harus ngalah sama adek!"
Elang mendorong pundak Theo. "Nggak bisa gitu!"
Theo balik mendorong Elang. "Harus gitu!"
"STOOOOPPPPP!" Chico muntab. "Suit aja, suit!"
Theo dan Elang masih saling memandang tajam, tapi mereka melakukan perintah si Boss dadakan. Suit sepertinya memang merupakan senjata terhebat untuk menghentikan perdebatan si kembar setan saat ini. Bahkan mereka dulu juga melakukannya hanya untuk memutuskan siapa yang membuka pintu rumah ketika Tante Keke datang, saat Yas masih dirawat di rumah sakit. Meskipun sampai akhir tos yang mereka lakukan tak ada gunanya, gagal total. Karena mereka selalu memakai jari yang sama.
Chico menarik rambutnya sendiri, frustasi. Tak hanya saat itu, saat ini pun begitu. Mereka selalu memakai jari yang sama dalam setiap tos. Tak hanya Chico yang frustasi, tapi juga Theo dan Elang. Mereka juga heran kenapa selalu memakai jari yang sama.
Setelah perjuangan panjang, barulah secercah harapan muncul. Theo mememakai jari kelingking, dan Elang memakai jari jempol. Theo menang. Jadilah ia duluan yang naik.
"Kalian lihat sendiri, kan, betapa tingginya pagar ini? Gue harap rencana ini berjalan lancar, kalian bisa naik dengan lancar, turun dengan lancar, menyamar dengan lancar, dan ikut sidang dengan lancar pula. Untuk itu ...."
"LANGSUNG PADA INTINYA, CO!" Giliran si Kembar yang muntab sekarang, karena sifat bertele-tele Chico kembali kumat.
"Untuk itu, marilah kita berdoa. Berdoa dimulai!"
Mereka bertiga menunduk dan memanjatkan doa masing-masing.
"Selesai!"
Mereka kemudian saling memberi semangat dengan mengangkat kepalan tangan masing-masing ke udara. Sekali-sekali menjadi partner tidak ada salahnya. Partner in crime lebih tepatnya. Tapi ini, kan, rencana mulia. Mereka hanya ingin tahu jalannya sidang. Mereka juga ingin merasakan apa yang Yas rasakan. Mereka tak ingin Yas menderita sendirian. Apakah itu salah?
Apalagi setelah fakta-fakta mengerikan yang diungkap Oom Junot waktu itu.
Theo segera mengambil ancang-ancang. Ia memanjat perlahan. Chico membantu menahan tubuhnya dari bawah supaya ia tidak merosot turun. Saat ini Theo sudah berada di puncak pagar. Hatinya berdesir hebat melihat keadaan di balik pagar.
Di bawah sana, terhambar lahan gersang yang dipenuhi daun kering dan kerikil. Pasti sakit kalau melompat ke sana dari ketinggian ini.
"Hati-hati, Bro! Jangan sampek ada yang kratak!" seru Chico.
"Kalo ngomong dijaga, Bro! Ntar kejadian beneran, Bro!" Theo sudah mau menangis rasanya. "Bismillahirrahmanirrahiim!"
Theo benar-benar melompat. Terdengar suara cukup keras saat ia jatuh ke tanah. Tapi tak ada suara retakan apapun. Chico menajamkan pendengarannya. Kenapa Theo tak bicara apapun?
"Bro, lo nggak apa-apa, kan?"
Di balik sana, Theo sedang berusaha menghilangkan daun-daun kering di sekujur tubunya. Mulai dari rambut, seragam, sepatu, semuanya dipenuhi daun kering. Ia juga sibuk meludahkan sebuah daun kering yang masuk ke mulutnya.
"Check, Bro. I'm okay!" jawab Theo.
Chico mengangguk-angguk. "Alhamdulillah. Woy, Lang! Buruan!"
"Sama Theo aja manis, sama gue galak!" protes Elang.
"Yeeee ... dia, kan, temen gue. Nah, lo? Siapa lo?"
"Iye-iye, I understand!"
Elang mulai memanjat pagar. Seperti apa yang ia lakukan pada Theo tadi, ia juga menahan tubuh Elang dari bawah. Jadi wajar kalau Chico tak dengaja menyentuh bagian pribadi yang sensitif. Tapi sekali lagi. Sepasang kembar ini memang berbeda 180 derajat.
"Woy, apaan lo pegang-pegang!" Elang marah.
"Nggak sengaja, Bego!"
"Sialan, pelecehan!"
"Gaya lo kayak anak perawan aja!" Chico balik mengomelinya.
"Sialan! Gue cowok! Dan gue manly! MANLY!"
"HOEK, CUH!"
Chico mendorong tubuh Elang ke atas dengan kasar dan tidak ikhlas. Elang berusaha memanjat sekuat tenaga, hingga ia mencapai puncak pagar.
"BAZEEEEENG!" teriak Elang begitu melihat ke bawah. Sejujurnya ia agak takut dengan ketinggian.
"Buruan turun!" seru Chico.
"Woy, ntar dulu!" Kali ini Theo. Karena ia masih pada posisi semula, belum pergi, masih sibuk membersihkan daun kering di tubuhnya.
Saking takutnya, Elang seakan tak mendengar suara-suara di sekitarnya. Kepalanya mendadak pusing, dan pandangannya menggelap.
Tak lama kemudian ....
"WADOH! MATI GUE, MATI!" Theo berteriak kesakitan karena Elang jatuh menimpa tubuhnya dari pagar setinggi itu.
"Lang, bangun lo!" Theo berusaha menyingkirkan Elang dari tubuhnya. Sampai ia menyadari bahwa mata Elang tertutup. "Laailahailallah! Pakek pingsan segala lagi!"
***
Chico naik mengintip mereka dari celah pagar. Alhamdulillah mereka berdua sudah mengganti kostumnya dengan sukses. Untungnya tak ada orang. Sesekali Chico tertawa dengan penampilan baru si Kembar Setan. Mereka lucu sekali.
"Semangat, ya, Bro. Fighting!" Chico kembali menyemangati mereka.
"Oke, kita berangkat dulu, Bro," pamit Theo.
"Berangkat, Co!" Elang kali ini.
Mereka berdua mengenda-ngendap bak ninja yang sedang mengintai, memastikan benar-benar tak ada orang yang akan memergoki. Setelah itu, mereka berlari sekuat tenaga menuju halte.
Chico tersenyum puas karena misinya berhasil. Ia senang karena sudah membantu dua anak manusia yang teraniaya. Ia bangga pada hatinya sendiri yang sungguh mulia.
"Alhamdulillah, terima kasih, Ya Allah!" syukur Chico.
"Alhamdulillah, terima kasih, Ya Allah!"
Chico mendelik. Ia menengok kanan dan kiri. Tidak ada siapapun. Seingatnya di tempat ini tak memungkinkan terjadi gema suara. Tapi kenapa suaranya bergema? Apa jangan-jangan hantu?
Barulah saat Chico berbalik, ia melihat penampakan paling mengerikan yang pernah ada. Penampakan guru ter-killer di sekolah. Penampakan manusia yang hampir setiap hari menghukumnya lari keliling lapangan karena terlambat.
"P-Pak Saipul!"
***
TBC