Meniti Mimpi

2225 Kata
    Enam Bulan Kemudian.     Hari ini mereka sepakat untuk pergi mencari bahan untuk lounge yang akan mereka buat. Mereka sudah siap untuk berangkat.     Setelah diskusi yang cukup panjang, akhirnya bisnis rumahan yang akan mereka jalankan sudah ditentukan.     Daripada rumah makan yang sepertinya akan rumit dalam operasional, dan memerlukan beragam variasi bahan setiap harinya, mereka lebih memilih untuk membuat lounge.     Karena prinsip kerjanya lebih simple. Konsep lounge yang akan mereka buat sebenarnya mirip café. Sengaja disebut lounge, agar antimainstream dan memberikan kesan yang berbeda pada konsumen.     Nama yang mereka pilih adalah LUA. Dalam bahasa Jerman artinya 'pejuang wanita yang lembut'. Dalam bahasa Portugis, LUA berarti bulan.     Kenapa memilih nama itu?     Alasannya pertama adalah karena lounge ini mereka persembahkan untuk almarhumah Bunda—cara mereka memanggil ibu kandung Yas—dan Mama.     Alasan kedua adalah karena lounge ini dibuat untuk memenuhi mimpi Papa. Mereka tahu bahwa Papa begitu mencintai istri-istrinya lebih dari apapun.     Terbukti dengan Papa yang hancur setelah ditinggal pergi oleh istrinya. Bahkan sampai dua kali.     Alasan ketiga, Aditya Bersaudara menganggap bahwa bulan adalah ciptaan Tuhan yang indah, sebagai penggambaran dari kecantikan Bunda dan Mama.     Menu yang akan mereka sajikan adalah beverage  dan dessert. Dengan begitu, variasi pengeluaran bahan harian akan terminimalisir.     Mereka berpamitan pada para tukang dan mandor yang sedang menggarap tambahan bangunan di halaman rumah. Setelahnya, mobil merah milik Yas melesat menuju destinasi.     Mereka berhenti di sebuah parkiran di pusat kota. Di sini banyak toko bangunan yang menyediakan beragam bahan. Mereka ingin melihat satu per satu untuk membandingkan ragam bahan, kualitas, dan harga. Dan pastinya akan dipilih barang dengan kualitas terbaik dengan harga terjangkau.     "Sini, ikut Oom!" Theo meminta Namira yang semula digendong Yas.     Yas begitu mengenal adiknya. Jadi, ia tahu Theo bersikap seperti ini karena ada maunya.     "Yas, fotoin gue sama Nami, dong!"     Tuh, kan!     Theo mencari-cari spot terbaik untuk berfoto. Nanti ia akan meng-upload hasilnya di i********:.     Pasti para followers-nya akan gemas dan kegirangan setengah mati. Theo tak melakukannya semata-mata untuk tebar pesona, kok. Ia punya maksud mulia di balik ini semua.     "Di sini aja, deh. Cepetan, Yas!" seru Theo.     Yas mengambil handphone-nya di saku, dan mulai mencari angle yang pas untuk menuruti kemauan adiknya. Yas tersenyum karena Theo dan Namira terlihat manis seperti itu.     Yas menunjukkan hasil fotonya pada Theo. Elang ikut-ikutan mengintip. Tapi ia tidak tertarik untuk melakukan hal yang sama. Meskipun harus ia akui, bahwa foto itu terlihat bagus.     "Giiiilllaaaaaa, gue ganteng!" Theo memuji dirinya sendiri.     Tapi binar-binar di wajahnya tak bertahan lama.     Ia segera mengambil handphone Yas, kemudian men-zoom foto Namira di sebelahnya.     "Yas kenapa rambutnya Nami nggak numbuh-numbuh, sih?"     "Ntar juga numbuh, Dek."     "Tapi dia udah delapan bulan, lho, sekarang. Dan rambutnya tetep segitu-segitu aja. Padahal kalo panjang, pasti dia tambah cantik. Karena tembemnya jadi nggak terlalu kelihatan."     Seketika Namira menangis dalam gendongan Theo. Theo berusaha menenangkannya. Tapi tidak bisa. Ia menyerah karena Namira  mulai meronta-ronta. Ia takut bayi itu akan jatuh.     "Nih, Lang! Lo gendong ponakan lo. Lo, kan, jagoan bikin dia diem." Theo dengan wajah tanpa dosanya menyerahkan Namira pada Elang begitu saja.     Setelahnya ia sibuk mengirim foto yang baru saja diambil oleh Yas, ke handphone-nya sendiri. Ia langsung menjalankan niat untuk meng-upload foto itu ke i********:.     Yas hanya geleng-geleng. Nami bahkan masih menangis setelah digendong oleh Elang sekalipun. Ia pasti sakit hati karena dikatai tembem oleh Theo. Dan si Tersangka dengan santainya malah sibuk upload foto. Tidak ada tanggung jawabnya sama sekali!     "Udah belum?" tanya Yas, sementara tangannya meraih Namira dari gendongan Elang, untuk ditenangkan.     "Bentar. Wuih ... nih, mereka pada tanya LUAlounge itu apaan?" Theo menunjukkan komentar-komentar yang segera membanjiri foto barunya.     Theo menambahkan caption 'LUAlonge is coming soon', dan para follower-nya langsung penasaran dengan hal itu.     Yas tersenyum takjub. Jadi, rupanya Theo punya bakat terpendam seperti ini. Ia ternyata jago dalam hal pemasaran.     Ia memanfaatkan puluhan ribuan follower-nya yang mayoritas wanita, sesuai dengan pangsa pasar.     "Udahan, yuk, cus!" Theo mendahului mereka melanjutkan perjalanan.   ***       Begitu mobil merah itu terpakir di halaman rumah, Theo segera turun. Yas tertawa karena rupanya anak itu benar-benar menjalankan niatnya.     Jadi, selama perjalanan mencari bahan bangunan tadi, Theo browsing mengenai bahan-bahan alami yang bisa menumbuhkan rambut.     Pastinya yang aman untuk balita. Karena ia benar-benar prihatin dengan nasib keponakannya yang masih saja botak sampai sekarang. Ada, sih rambutnya, tapi cuma sedikit.     "Nggak capek apa itu bocah?" Elang menggerutu seraya turun dari mobil.     Yas juga segera turun, ia kemudian membuka pintu belakang dan mengambil Namira dari baby seat-nya.     "Biarin aja, lah. Niatnya, kan, baik."     "Niatnya emang baik. Tapi ... kayak lo nggak tahu Theo aja. Gue takutnya dia beli sesuatu yang aneh. Kasihan Nami nanti, jadi bahan percobaan."     Yas menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Benar juga apa kata Elang. Perasaanya jadi tidak enak. Mengira-ngira apa yang akan Theo lakukan pada anaknya nanti.     "Pak, saya pinjem sepeda!" Theo mengambil salah satu sepeda milik tukang yang sedang menggarap lounge mereka.     Tanpa mendengar jawaban dari para tukang, Theo segera pergi dari sana. Para Tukang sebenarnya tak masalah Theo meminjam sepeda. Tapi ....     "Aduh, mau ke mana, sih, dia?" Pak Tukang pemilik sepeda yang dipinjam oleh Theo mulai khawatir.     "Udah, dia pasti tahu kok kalo sepeda lo torpedo."     "Iya kalo tahu, kalo nggak gimana? Bisa koprol itu ntar anak orang. Ya Allah, sepeda gue satu-satunya!"     "Lo sebenernya khawatir sama Mas Theo, apa khawatir sama sepeda lo, sih?"     "Dua-duanya gue khawatir. Tapi lebih khawatir sama sepeda gue." Pak Tukang memasang tampang mau menangis.     Sang partner dengan sabar mengelus-ngelus pundaknya. "Yang sabar ya, Bro!"   ***       Theo sudah curiga semenjak pertama kali mengayuh pedal sepeda ini. Tapi karena lama-lama terasa normal, rasa curiganya segera menguap.     Eh, sekarang malah terjadi lagi.     Sepeda ini terasa aneh. Setiap kali Theo tak sengaja memutar pedal ke belakang, sepedanya berhenti mendadak.     Sial! Jadi ini sepeda torpedo?     Theo bukannya tidak bisa naik sepeda torpedo. Hanya saja, ia tidak terbiasa. Ia ingin kembali dan menukar sepeda, tapi sudah terlanjur jauh dari rumah.     'Nggak apa-apalah. Dikit lagi nyampek. Fighting!'  Ia menyemangati dirinya sendiri.     BRUAK.     Seorang nenek-nenek menoleh setelah mendengar suara keras itu. Nenek itu panik begitu tahu bahwa ada orang yang baru saja jatuh dari sepeda. Merasa kasihan, Nenek segera menghampirinya.     "Nggak apa-apa kamu, Nak?"     Theo mengerjap-ngerjapkan matanya. Kepalanya keliyengan karena baru saja menyosor aspal. Lumayan juga rasanya.     Untung ada Nenek baik hati yang datang menolongnya. Nenek itu berusaha sekuat tenaga membantu Theo berdiri.     "Kok bisa jatuh sih, Nak?"     "Ini lho, Nek. Sepedanya torpedo. Saya nggak terbiasa pakek torpedo. Tadi, kan, saya simpangan sama motor, dianya ngebut. Saya kaget. Ya saya jatoh," jelas Theo. Tampangnya memelas seperti anak umur lima tahun.     "Ya ampun, kok kasihan amat kamu ini. Ayo ikut Nenek ke rumah! Minum dulu biar ilang kagetnya."     "Iya, Nek."     Theo menuntun sepeda torpedo milik Pak Tukang ke rumah Nenek. Theo tercengang melihat banyak sekali tanaman di halaman rumah Nenek.     Meskipun rumah ini sederhana, tapi kesannya sangat asri dan indah. Tentu saja karena banyaknya tanaman-tanaman di sini.     Nenek mempersilakan Theo untuk duduk di kursi kayu yang berada di teras rumahnya.     "Bagus banget rumah Nenek!" kagum Theo. "Tanamannya banyak banget!"     Nenek itu tersenyum mendengar pernyataan Theo. "Nenek hobi berkebun, Nak. Buat hiburan. Daripada nggak ada kegiatan."     Theo menerima air putih yang diberikan oleh Nenek. Ia segera meminumnya sampai habis. Theo kemudian mengedarkan pandangan, ia tidak menemukan orang lain di sini. "Nenek tinggal sendirian?"     "Iya. Anak-anak tinggal jauh semua. Cuman pulang waktu lebaran. Kalau Kakek sudah meninggal. Sudah lama."     "Duh, maafin Theo, ya, Nek. Jadi ngingetin." Theo merasa tidak enak pada Nenek.     "Oh, jadi nama kamu Theo, ya. Tenang aja, Nak Theo, nenek udah ikhlas, kok." Nenek itu tersenyum tulus.     Meskipun gurat-gurat keriput sudah memenuhi wajahnya, namun Nenek masih terlihat cantik. Pasti dulunya saat masih muda, Nenek ini adalah cecan idaman para cogan.     "Emang Nak Theo tadi mau ke mana sebenernya?"     "Mau beli lidah buaya, Nek. Buat ponakan saya. Kasihan dia tuh, rambutnya botak gitu!" jawab Theo jujur.     "Ya ampun, baik banget kamu ini," puji Nenek tulus. "Ngomong-ngomong kalau lidah buaya aja, sih, Nenek ada di kebun. Tuh!" Nenek menunjuk gerombolan lidah buayanya.     Theo berbinar melihat tanaman yang sudah dicari-carinya itu.     "Kalau kamu mau, ambil aja itu!"     "Wah, beneran, Nek?"     "Beneran, lah."     "Wah, makasih banget ya, Nek!"     Nenek beranjak dari duduknya. Ia bergegas memotong beberapa helai lidah buaya, memasukkannya pada tas kresek dan memberikannya pada Theo.     "Dulu cucu Nenek juga susah numbuh rambutnya. Nenek kasih lidah buaya juga. Alhamdulillah manjur."     "Iya, Nek. Saya bakal rajin ngasih ini ke rambutnya ponakan saya, biar dia cepet numbuh rambut juga."     "Nanti kalau butuh lagi langsung ke sini aja, jangan sungkan-sungkan ya, Nak Theo."     Theo mengangguk kegirangan. Ternyata jatuh dari sepeda bukanlah pengalaman yang terlalu buruk, bukan?   ***       "Mas nggak apa-apa, kan?" tanya Pak Tukang begitu Theo sampai.     Theo meletakkan sepeda torpedo itu pada tempat semula. "Nggak apa-apa kok, Pak. Tapi maafin ya, tadi saya jatoh."     Pak Tukang kaget setengah mati. Ia segera meninggalkan pekerjaannya dan berlari menghampiri sepedanya. Memeriksa jikalau ada bagian yang rusak.     "Bapak nih, kebangetan! Kirain khawatir sama saya. Eh, ternyata khawatir sama sepedanya." Theo bersungut-sungut. "Sepedanya nggak apa-apa kali, Pak. Tapi ini nih, kepala saya benjol!"     Theo menunjukkan bagian keningnya yang bengkak dan memerah. Untung bisa dututup pakai poni.     Pak Tukang cengengesan. Ia jadi merasa tidak enak pada Theo karena sikapnya sendiri.     "Tapi tetep makasih ya, Pak," ucap Theo tulus.     Theo mengernyit saat matanya melihat sebuah mobil hitam yang terparkir di halaman.     "Mobilnya siapa, Pak?"     Pak Tukang mengangkat bahunya. "Saya juga nggak tahu, Mas. Barusan dateng. Orangnya gede-gede, serem! Mereka pakai setelan jas hitam-hitam, bahkan kacamatanya juga hitam."     Theo berpikir keras. Siapa pula yang bertamu dengan pakaian aneh seperti itu? Karena penasaran, Theo segera pergi dan masuk ke rumah. ***     Suasana tegang segera menyambut. Theo melihat Yas dan Elang bicara serius pada orang-orang berbadan besar itu.     Tak hanya badannya, wajah mereka pun mengerikan. Dan jangan lupakan nada bicara mereka yang tinggi.     Theo ingin bertanya ada apa, tapi sadar bahwa sekarang bukan saatnya. Theo pun segera ikut duduk dengan mereka di sofa yang masih kosong.     "Kesepakatan sudah tercetak dalam hitam di atas putih. Dan itu nggak bisa diganggu gugat." Yas memperlihatkan sebuah dokumen pada mereka.     "Sekali lagi saya katakan, kami hanya menjalankan tugas!" tegas salah satu dari orang-orang itu.     Theo bisa melihat bahwa Yas merasa kesulitan dengan situasi saat ini. Membuat Theo semakin ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Hingga salah satu dari orang berbadan besar itu menjawab semua pertanyaan Theo.     "Kalian harus membayar lunas semua hutang, atau rumah ini akan disita!"   ***       “Gimana dong, Yas? Padahal kita baru aja berdamai, baru aja meniti mimpi buat bangun lounge, buat wujudin impian Papa. Tapi orang-orang itu malah mau nyita rumah kita.” Elang nampak begitu terpukul.     “Kenapa mereka tiba-tiba dateng, sih? Siapa yang nyuruh mereka? Tega banget mau nyita harta kita satu-satunya.” Theo pun tak bisa menerima kejadian buruk yang tiba-tiba terjadi.     Saat kehidupan mereka mulai tertata, bahkan pembangunan lounge sudah dilakukan. Rasanya seperti dihempaskan dari ketinggian menuju dasar palung terdalam.     “Kalian tenang, ya. Mas pastikan rumah ini akan tetap menjadi milik kita.” Yas berusaha menenangkan adik-adiknya.     Meskipun ia sebenarnya juga sama hancurnya dengan mereka. Hal ini sama sekali tak pernah terbesit dalam pikirannya. Yas sama sekali belum tahu bagaimana cara mencari solusi.     Rencananya sudah tertata rapi. Hanya tinggal dijalankan. Tapi … orang-orang itu datang dan menghancurkan segalanya.     “Tapi caranya gimana, Yas? Duit hasil gadaiin mobil udah kita beliin bahan bangunan dan mesin-mesin. Gaji lo buat biaya hidup kita semua. Kita nggak punya sumber penghasilan lain!” Elang ingin mempercayai Yas. Tapi ia berusaha realistis dengan keadaan.     “Pokoknya gue nggak rela kalau rumah kita sampai disita. Pasti ada cara selain tentang finansial, yang bikin kita terbebas dari masalah ini. Bisa jadi dokumen-dokumen mereka palsu, kan? Gimana kalau kita lapor polisi aja, Yas?” Theo berusaha memberikan solusi sebisanya.     “Jangan gegabah, Dek!” peringat Yas. “Saat ini kita masih sama-sama terguncang. Lebih baik kita sekarang nenangin diri dulu. Nanti kalau kita udah tenang, pasti kita bisa mikirin solusi yang terbaik.” Yas memaksakan sebuah senyuman.     “Mas nanti juga akan bicarain masalah ini sama Oom Junot. Beliau lebih dewasa, lebih banyak pengalaman hidupnya dibanding kita. Jadi, pasti Oom Junot punya solusi buat kita.”     Tentu pernyataan itu hanyalah salah satu usaha Yas agar adik-adiknya tetap tenang. Mana mungkin ia bicara pada Junot tentang masalah ini.     Keluarga mereka sudah terlalu banyak bergantung pada Junot. Tak mungkin ia melibatkan Junot lagi dalam masalah sebesar ini.     “Sekarang lebih baik kita masuk kamar masing-masing, sama-sama nenangin diri, sama-sama mikirin solusi terbaik.” Yas lagi-lagi memaksakan senyuman.     Agaknya usahanya menenangkan si kembar cukup membuahkan hasil. Theo dan Elang menurut. Mereka berjalan gontai menuju kamar masing-masing.     Yas menunggu sampai mereka benar-benar masuk kamar. Barulah ia ikut melenggang menuju kamarnya sendiri.   ***       Yas menutup pintu kamar perlahan. Perlahan ia menghampiri Namira yang sudah terlelap di dalam box.     Wajah damai putrinya membuat hati Yas semakin sakit. Pikirannya sulit terlepas dari ancaman orang-orang jahat itu.     Bagaimana ini?     Bahkan dokumen-dokumen yang mereka miliki sama sekali tak bisa digunakan. Karena orang-orang itu juga membawa bukti dokumen yang akurat dan berbadan hukum.     Jika Yas melapor ke polisi, bisa jadi mereka akan membalik semuanya dengan mudah. Jadi itu bukanlah solusi yang tepat.     Langkah pertama yang Yas pikiran, pastinya tentang pembangunan lounge.     Pembangunan lounge terpaksa dihentikan sementara waktu. Entah kapan pembangunan akan dilanjutkan.     Fokus mereka saat ini adalah untuk membayar semua hutang Papa dalam kurun waktu yang ditentukan, yaitu satu bulan. Jika tidak, konsekuensinya rumah ini akan disita. Dan Yas tidak akan membiarkan itu terjadi.   *** TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN