Alila Noona

1747 Kata
    Sekitar 500 meter jauhnya, akhirnya sepeda itu berhenti. Theo lumayan dibuat ngos-ngosan. Meskipun hanya 500 meter, tapi wanita yang dikejarnya mengendarai sepeda.     Sesantai apapun ia dalam mengayuh pedal, kecepatan sepeda dengan kecepatan berlari pastilah tidak sama.     Bu Alila berhenti tepat di depan sebuah toko buku. Satu lagi sisi postitif yang Theo temukan dari pujaan hatinya. Tak salah memang ia memilih Bu Alila sebagai gebetan.     "Bu Alila!" seru Theo.     Seketika wanita itu celingukan mencari sumber suara. Sampai ia menemukan Theo yang sedang d**a-d**a padanya. Bu Alila memajukan bibir, menyilangkan tangan di d**a, dan menatap ketus pada Theo.     Theo berjalan mendekati wanita itu sambil terus cengengesan.     "Bu Al- ...."     Malang sekali nasib Theo, karena lagi-lagi seseorang membungkam mulutnya saat ia belum selesai bicara—seperti apa yang biasa dilakukan oleh Elang. Apakah segala sesuatu yang ia katakan selalu salah?     "Kamu nggak lihat apa, saya sudah bimoli  begini?" Bu Alila mengomel dengan masih membungkam mulut Theo.     Theo meronta-ronta minta dilepaskan. "Bimoli apaan, sih? Dilarang nyebut merek, lho, Bu!" Theo mengusap-usap bibirnya yang terasa asin, bekas tangan Bu Alila.     "Merek apa emangnya? Bimoli  itu singkatan dari bibir monyong lima senti," jawab wanita dewasa di hadapannya.     Jangan ditanya bagaimana reaksi Theo. Ia tertawa terpingkal-pingkal. Ia sempat menyangka bahwa Bu Alila tadi sedang menyebutkan salah satu merek dagang minyak sayur. Eh, ternyata itu adalah sebuah akronim.     Beberapa orang yang keluar masuk toko buku ini melihat mereka dengan tatapan aneh.     Bu Alila menggeleng-gelengkan kepala, kemudian ia masuk ke dalam toko. Theo segera mengikutinya.     Theo tersenyum menatap wanitanya dari arah samping seperti ini. Di matanya Bu Alila adalah wanita paling cantik sedunia—setelah mendiang Mama.     Rambut panjangnya yang dikuncir kuda, menambah kesan menawan, memperlihatkan leher jenjangnya. Sampai mati pun, Theo tak akan bosan menatapnya lama-lama.     "Kenapa, sih, kamu?" Bu Alila mulai terusik.     Theo berdeham, berusaha bersikap stay cool. Selama ini ia selalu pasif dalam menunjukkan rasa tertariknya pada guru ini. Mungkin itu sebabnya Bu Alila belum me-notice dirinya sampai sekarang.     Jadi, alangkah lebih baik jika ia mulai menunjukkan rasa tertariknya secara gamblang. Sepertinya itu memang solusi yang tepat.     "Bu Alila cantik banget!" puji Theo, kemudian tersenyum.     Mereka saling bertatapan cukup lama. Alunan lagu 'A Thousand Years' milik Christina Perri yang sedang diputar, ditambah dengan semilir angin dari AC, membuat mereka terlihat seperti sepasang kekasih romantis dalam video klip.     Ya, video klip yang sangat singkat. Karena sekarang Theo kembali meronta-ronta. Bu Alila baru saja membungkam mulutnya lagi.     Tak hanya membungkam mulut Theo, tangan kirinya juga sedang mencubit pinggang si Murid dengan sangat keras.     Jadilah Theo kesakitan seraya mengelus-elus bagian pinggang yang baru saja dicubit oleh pujaan hatinya sendiri. Theo yakin besok pinggangnya ini akan gosong.     "Salah saya apa sih, B- ...."     Bahkan belum satu detik setelah Bu Alila melepas bungkamannya pada mulut Theo, kini ia sudah membungkam mulut muridnya lagi untuk ketiga kali, dalam kurun waktu kurang dari sepuluh menit.     "Demi Allah, salah saya apaaaaaa?" Theo kembali mengajukan protes setelah Bu Alila kembali melepas bungkaman dari mulut malangnya. Theo mengusap-usap mulutnya lagi.     Beberapa orang di dalam sana kembali menatap mereka aneh seperti tadi.     "Jangan panggil saya Bu! Ini di luar sekolah, lho." Akhirnya Bu Alila mengemukakan alasannya.     "Emangnya kenapa nggak boleh?"     "Nanti pasaran saya bisa turun, lah. Meskipun jomblo, tapi saya ini masih muda, lho!" Bu Alila bersungut-sungut.     Kelakuan ajaib dari wanitanya, yang lagi-lagi tak pernah gagal membuat Theo tersenyum.     "Bilang, dong, dari tadi! Jangan asal main bungkem ini mulut! Tapi nggak apa-apa, deh. Kalo nggak gitu, kan, saya nggak bakal bisa ngerasain tangan Bu Alila, yang asin-asin dikit, tapi banyak manisnya." Theo menggombal maksimal.     Bu Alila sudah hendak membungkam mulut Theo lagi. Tapi kali ini Theo menghentikannya. Theo menggenggam pergelangan tangan Bu Alila.     Pandangan mereka kembali bertemu. Alunan lagu milik Ada Band 'Karena Wanita Ingin Dimengerti' kini menjadi soundtrack bagi adegan mereka.     "Katakan, bagaimana saya harus memanggil anda?" tanya Theo masih dengan tatapannya yang mengintimidasi.     Bu Alila seperti tersihir. Ia bahkan tidak berkedip. Bagaimana bisa seorang murid berusia tujuh belas tahun bisa terlihat setampan ini?     Ah, tidak!     Bu Alila menggeleng. Ini pasti hanya karena wajah Theo yang kelewat mirip dengan wajah Yas. Makanya ia jadi terbawa perasaan, sekaligus terbawa suasana.     "Panggil saya ... Nuna!" jawab Bu Alila sembari tersenyum miring.     Theo terkaget-kaget. "Nuna?"     "Iya, biar kayak di drama-drama Korea gitu. Cowok yang lebih muda, kan, manggil cewek yang lebih tua dengan sebutan Noona." Bu Alila tersenyum bangga.     "N-nuna?" Theo masih belum bisa menerima kenyataan ini.     Sungguh. Menurutnya itu adalah panggilan yang sangat aneh. Tapi sah-sah saja, sih. Sepanjang berhubungan dengan Bu Alila, semua akan tetap terasa wajar, menyenangkan, dan indah.     "Nah, betul. Seperti itu." Kali ini Bu Alila menirukan gaya Syahrini.     Bu Alila meneruskan langkah menuju rak buku yang lain. Theo masih dengan setia mengikutinya, memperhatikan semua gerak-geriknya, dan tersenyum karena segala tingkahnya.     "Kira-kira ini sama ini bagusan mana, ya?" Bu Alila menunjukkan dua buah buku yang dipegangnya.     Theo mendelik membaca judul buku yang dipilih oleh Bu Alila. 'Tips Menjerat Hati Gebetan' dan 'Kiat-kiat Menjadi Calon Istri Duda'.     Theo akhirnya sadar bahwa saat ini mereka sedang berada dalam deretan index buku non fiksi. Pasti karena Theo terlalu sibuk memperhatikan pujaan hatinya, makanya sampai tidak fokus dengan keberadaan mereka.     Padahal sebelumnya Theo pikir Bu Alila ke sini untuk membeli buku referensi ajar yang baru. Atau pahit-pahitnya ia akan membeli sebuah novel, lah.     Eh, malah membeli buku seperti ini! Dan yang membuat hati Theo sakit adalah, ia tahu untuk siapa Bu Alila membeli buku-buku itu.     'Ya Allah, gini amat nasib percintaan hamba!' batinnya.     "Saya, tuh, kesel, Theo. Saya sedih, galau, baper, gondok, muntab. Pokoknya segala hal yang sejenis itu, deh. Hati saya udah mau mbledos  rasanya."     "Emangnya kenapa?" Theo berusaha menanggapi curahan hati wanitanya, meskipun hatinya sendiri mungkin sudah mbledos duluan di dalam sana.     "Saya kangen sama keluarga di kampung, tapi saya nggak mau pulang. Ini udah tiga bulan semenjak saya nggak pulang sama sekali."     "Emangnya kenapa?" Theo mengulangi pertanyaan terdahulunya.     "Karena ... karena saya males kalo mereka tanya kapan nikah?" Bu Alila memasang wajah sedih. "Di kampung sana, wanita seusia saya ini sudah dianggap perawan tua, Theo. Padahal kalau di sini, banyak wanita yang lebih tua dari saya, yang juga belum menikah, dan itu sah-sah aja. Iya, kan?"     Theo mengangguk-angguk setuju.     "Makanya saya males pulang."     "Emang sekarang umur Bu Al- ...." Theo segera menghentikan bicaranya sendiri, sebelum mulutnya dibungkam lagi.     Tuh, Bu Alila bahkan sudah menatap tajam dirinya. Seram sekali!     "Eh, maksud saya Nuna. Umur Nuna berapa sekarang?"     "Kalo ditanya kayak gini, saya selalu jawab umur saya masih 26, meskipun tahun ini saya bakal 27. Karena ulang tahun saya, kan, masih lama."     Theo mengangguk-angguk lagi.     Bu Alila memutuskan untuk melanjutkan curahan  hatinya. "Saya, tuh, susah jatuh cinta sama laki-laki. Mungkin karena saya sudah terlalu sering dikecewakan di masa lalu."     Theo bisa melihat siratan kesedihan yang mendalam di wajah wanitanya.     "Dan setelah sekian lama, saya akhirnya bisa menambatkan hati kembali pada seseorang. Oleh karenanya, saya kekeuh banget deketin dia. Biar dia tahu saya suka, dan mau mempertimbangkan saya.     "Mungkin kamu berpikir kalau tindakan saya ini terlalu gegabah dan terkesan nggak tahu malu. Tapi nanti kalau kamu sudah seumuran saya, kamu bakal ngerti. Bahwa dalam umur-umur yang mendekati tiga puluh tahun seperti ini, kami tidak lagi bersikap malu-malu kucing seperti anak ABG. Karena kami sudah berpikir jauh ke depan. Itu pendapat saya pribadi, sih."     Ingin rasanya Theo mencengkeram dadanya. Hati dan jantungnya terasa amat sangat sakit sekarang. Ia cemburu buta.     Karena sekali lagi, ia tahu dengan jelas siapa lelaki yang pada akhirnya bisa membuat Bu Alila-nya kembali menambatkan hati. Lelaki yang tak lain dan tak bukan adalah Yas, kakaknya sendiri.     "Saya pilih yang ini aja, deh." Bu Alila memilih buku 'Tips Menjerat Hati Gebetan'.     'Pak Yas, kan, bukan duda.'  Itu alasan Bu Alila.     Bu Alila kemudian berjalan ke kasir. Theo masih terus mengikutinya. Senantiasa berdiri di sampingnya, sampai wanitanya selesai membayar buku itu.     "By the way, thanks  lho udah mau denger curhatan saya, Yo. Maafin, saya curhat seenaknya."     "N-nggak apa-apa kok," jawab Theo kikuk.     "By the way lagi, kamu tadi sebenernya ngapain, sih, di sini? Saya kira kamu mau beli buku juga."     "Tadinya saya nganterin Elang ke ulang tahunnya Luna, terus saya lihat Nona, ya saya ikut aja. Dari pada bosen nungguin pesta selesai sendirian."     "Oh, jadi Elang sama Luna udah baikan, ya? Saya ikut seneng, deh. dengernya. Alhamdulillah. Kalian berdua, tuh, mulai sekarang mbok ya belajar dewasa. Kasihan Pak Yas, pasti capek ngurusin kalian."     "I-iya." Hati Theo baru saja potek lagi.     "Karena saya udah selesai, saya mau langsung balik ke kost. Kamu gimana? Mau di sini dulu, atau mau balik ke venue? Daripada lari lagi, mending naik sepeda, boncengin saya." Bu Alila menawarkan kebaikan sekalian modus.     Kan lumayan kalau dibonceng, ia tidak perlu mengayuh sepeda.     Theo sebenarnya sangat mau menerima tawaran itu. Kapan lagi ada kesempatan membonceng pujaan hati naik sepeda? Pasti romantis.     Sayangnya hati, jiwa, raga, dan sanubari Theo sudah terlanjur tersakiti. Setidaknya ia ingin meredam dan menenangkan dirinya sendiri sebentar.     "S-saya nunggu di sini dulu aja, deh. Siapa tahu nanti saya nemu buku bagus, kan lumayan bisa nambah ilmu," jawab Theo akhirnya.     "Ciyeeee, gitu dong! Itu baru namanya murid saya yang keren! Yaudah, kalo gitu, saya pergi dulu, ya. Bye, Theo!" Bu Alila melambai-lambai, dan Theo membalasnya     Ia memaksakan sebuah senyuman demi wanitanya. Setelah Bu Alila benar-benar pergi, Theo kembali berjalan ke kasir dengan gontai.     "Ada yang bisa dibantu, Mas?" tanya Mbak Kasir.     "Mbak, ada lagunya Isyana Sarasvati yang 'Mimpi' nggak?"     Mbak Kasir seketika kebingungan. Dan Theo tahu kenapa. Di sini itu toko buku, bukannya toko kaset, apalagi radio yang bisa request  lagu. Jadi wajar kalau Mbak Kasir kebingungan.     Theo segera menunjuk pada speaker yang terpasang pada sudut-sudut ruangan di toko buku ini. Dan syukurlah, Mbak Kasir sekarang sudah mengerti maksudnya.     "Aduh, Mas. Lagunya Isyana saya belum download."     "Hari gini?" Theo mendelik, kemudian berdecak kesal. "Terus adanya lagu apa aja? Pokoknya yang tentang patah hati gitu, Mbak."     Mbak Kasir menggeser playlist-nya. Ia kemudian menemukan sebuah lagu patah hati yang pernah nge-hits pada zamannya. "Lagunya Justine Timberlake, 'Cry Me A River' gimana, Mas?"     "Yaudah, itu aja."     Lantunan suara Justine Timberlake segera mengalun. Lirik serta nadanya yang sedih, pas sekali untuk menggambarkan suasana hati Theo sekarang.     Theo kembali memasang wajah muramnya. Ia melihat sekeliling dan menemukan sebuah kursi di pojokan. Theo berjalan ke sana dan segera duduk.     Theo tadi sudah memujinya cantik, tapi ia biasa saja, tidak menunjukkan reaksi yang berarti.     Theo tadi sudah memberikan rayuan gombal, tapi ia bersikap seolah tak terjadi apa-apa.     Wajah Theo semakin terlihat menyedihkan. Jika tadi orang-orang di sana menatapnya aneh, kini mereka justru ikut sedih karena wajah Theo yang melas.   *** TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN