Garuk Kepala

1821 Kata
    Yas kembali menyeruput teh buatan Tante Keke. Teh itu tinggal setengah cangkir, dan tidak hangat lagi. Tanda bahwa Yas sudah cukup lama berada di sini. Padahal ia susah payah memohon izin pada Kepala Sekolah. Tapi saat sampai sini, hanya ada Oom Junot dan Tante Keke. Si Jodi belum datang. Sepertinya Jodi memang tipe orang yang tidak tepat waktu.     "Kebiasaan dia, tuh! Dari dulu nggak pernah berubah!" Oom Junot mengomel lagi.     Daritadi memang begitu, ia menyumpah-serapahi Jodi. Dan Yas hanya menanggapi dengan senyuman.     "Jangan marah-marah dong, Dad!" Tante Keke menenangkan suaminya.     "Kenapa? Mau belain dia?" Oom Junot malah nyolot.     Sebuah pemandangan asing. Oom Junot adalah tipe orang yang kalem dan selalu tenang. Ia juga sangat baik dan penyayang, terlebih pada istrinya. Ia selalu memanjakan Tante Keke sedemikin rupa, tapi baru saja ia membentak istrinya itu. Sikap-sikap yang ditunjukan Oom Junot hari ini semuanya aneh. Termasuk di antaranya, banyak mengomel dan menyumpahi Jodi.     Tante Keke juga aneh. Wanita itu biasanya lebih dominan, ia seperti menguasai Oom Junot. Ia akan ngambek jika Oom Junot melakukan kesalahan sekecil apapun, seperti tidak memenuhi janji dinner karena kesibukannya, atau kesalahan lain yang sebenarnya sepele. Tapi sekarang, Tante Keke hanya diam dan pasrah saat Oom Junot membentaknya.     Oom Junot beranjak dari kursinya. Ia berjalan menuju pintu masuk. Mencoba memeriksa keluar, apakah si Jodi sudah kelihatan batang hidungnya? Dan hasilnya, belum ada siapapun yang datang. Hanya ada anak sematawayangnya yang sedang bermain pasir di halaman.     "Mom, itu Bjorka jangan dibiarin main lama-lama di luar, ntar dia item!"     "Kalo dari sananya udah putih, pasti nggak bakalan jadi item, Dad!"     "Kali aja jadi item, kan?"     Yas benar-benar tak tahu apa masalah yang terjadi antara Oom Junot dan Tante Keke. Tapi Yas tahu ada maksud tersirat di balik pertikaian tidak penting barusan.     Ayolah, mereka ribut lagi hanya karena takut Bjorka jadi hitam? Sama sekali tak seperti Oom Junot dan Tante Keke.     "Nah, itu dia, tuh, orangnya! Dasar! Udah item, pesek, nyebelin, suka telat, idup lagi!" Oom Junot mengomel lagi-lagi.     Seperti biasa, Jodi datang dengan senyuman merekah. Ia mengenakan pakaian casual. Dari segi penampilan fisik, bisa dibilang oke lah. Sayangnya, dari segi tata krama, Jodi ini nol besar. Bukannya segera meminta maaf karena terlambat, Jodi malah asyik ngobrol dengan Bjorka.     "Adek, lagi main apa? Awas nanti ada harta karunnya!"     "Harta karun apaan sih, Oom?" Bjorka agak malas menanggapi Jodi.     "Tahi kucing!"     Seketika Bjorka melempar skop-nya. Ia menepuk-nepukkan kedua telapak tangan agar sisa-sisa pasir terjatuh, ia takut jika pasir yang dimainkannya tadi sudah tercemar kotoran kucing.     "Bjorka, masuk, Nak!" pinta Oom Junot, masih dari posisi berdirinya di ambang pintu masuk.     "Nama kamu siapa, Dek?" Jodi penasaran. Ia sudah dengar saat sang Daddy memanggil namanya tadi, tapi nama anak ini sedikit tidak biasa--masih asing di telinga--jadilah Jodi bertanya lagi.     "Namaku susah, Oom. Kalo Mommy manggilnya Jojo aja."     Jodi tersenyum mendengarnya. "Wah, sama kayak panggilan Oom dulu dong!"     "Masak sih?"     "Jojo, ayo masuk, Nak!" pinta Tante Keke kali ini, dari posisi yang sama dengan suaminya--di ambang pintu.     Bjorka menatap kedua orangtuanya jengah, beberapa hari ini mereka aneh. Aneh sekali.     Ternyata bukan Yas saja yang menyadari keanehan mereka, bukan? Bjorka pun juga menyadarinya.     "Oom, Mommy sama Daddy nyuruh Jojo masuk, tapi Jojo males jalan."     "Terus?" Jodi kebingungan.     "Gendong, Oom!" Bjorka menaikkan kedua lengannya ke udara.     "Astaga, ini anak ternyata mirip bapaknya di masa lalu!" Jodi segera mengangkat anak itu.     Sayangnya jauh dari ekspektasi Bjorka, ia berharap akan digendong dengan manusiawi, seperti apa yang biasa dilakukan Mommy dan Daddy-nya. Tapi ia malah digendong dengan cara seperti ini. Kalau bahasa Jawa-nya sih, dicengkiwing.     Bjorka pun hanya bisa pasrah, yang penting digendong. 'Dibilangin Jojo lagi males jalan sendiri.' batinnya.     "Gila, ya, lo! Anak gue lo samain kucing sama anjing!" Oom Junot mengomeli Jodi lagi dan lagi.     "Lhoh, Jojo-nya aja nggak masalah. Iya, kan, Jo?" Jodi menurunkan anak itu.     Bjorka segera memeluk kaki Mommy-nya. "Iya, Dad. Jojo nggak apa-apa," jawab Bjorka, membuat sang Daddy terpojok.     "Bjorka sayang, nama kamu itu Bjorka. Bjor-ka! Bukan Jojo!" Oom Junot menasihati putranya.     "Susah, Dad! Enakan Jojo!"     Seketika posisi Oom Junot semakin terpojok. Jodi dengan bebas menertawainya sekarang. Bahkan Yas juga ikut tertawa. Tante Keke sibuk menyembunyikan senyumnya, takut dibentak lagi oleh sang suami.     "Kamu sih, Mom! Udah dibilangin jangan kebiasaan manggil dia Jojo! Lagian dibacanya tuh Byorka, harusnya manggilnya Yoyo, bukan Jojo."     "Udah kebiasaan, Dad! Susah ngilanginnya. Lagian tulisannya kan Bjorka, pakek J, bukan Y. Ntar jatohnya malah mirip tokoh sinetron si Yoyo itu."     "Bilang aja kamu belum bisa move on, kan?"     Ekspresi wajah Tante Keke berubah, ia terlihat marah. Tak apa suaminya bersikap aneh akhir-akhir ini, tapi jika sudah bicara masalah move on, ia tak bisa menahan diri untuk tidak emosi.     "Udah dong, Dad, jangan dibahas lagi!" Tante Keke malas ribut.     "Emang gitu kenyataannya, kan?"     "Daddy, tuh, kayak anak kecil, ya!"     Yas mengernyit mendengarnya. Kenapa obrolan mereka jadi semakin runyam dan tak karuan seperti ini? Yas tidak bisa tinggal diam lagi sekarang, ia menyangklong tasnya dan menghampiri mereka semua di ambang pintu masuk.     "Udah siang, Oom, Jod, berangkat sekarang yuk!" Yas sengaja mengutarakan hal itu, ingin menyudahi segala obrolan yang tak mengenakan.     "Gimana Daddy nggak bersikap kayak anak kecil, kalo tahu Mommy emang belum bisa move on?"     "Berapa kali Mommy harus bilang? Itu masa lalu, Dad. Sekarang ya sekarang."     Yas ternyata gagal menghentikan debat mereka. Dan lihatlah, si Jodi sama sekali tak membantunya. Ia malah cengengesan melihat pasutri paling harmonis sedunia sedang bertengkar, di hadapan anaknya pula. Bjorka terlihat takut, ia bersembunyi di belakang Mommy-nya.     "Kamu manggil Bjorka dengan sebutan Jojo, Mommy pikir Daddy nggak sakit hati apa? Daddy tadi cuman mau Bjorka nggak main lama-lama di luar, biar dia nggak item. Tapi Mommy malah bilang kalo aslinya putih, nggak bakalan item, gimana kalo Bjorka jadi item beneran, dan semakin mirip dia?" Oom Junot terang-terangan menunjuk wajah Jodi.     Jodi kebingungan, ia menunjuk wajahnya sendiri sekarang. "Kenapa jadi mirip gue?" Jodi tidak terima.     Sedangkan Yas, ia semakin yakin bahwa hubungan yang mengikat antara Oom Junot, Tante Keke dan Jodi memanglah tidak baik. Pasti ada hubungannya juga dengan wajah Oom Junot yang selalu murung tiap kali nama Jodi disebut. Dan pastinya juga berhubungan dengan sikap aneh mereka semua beberapa hari ini. Dan oh, sikap aneh mereka dimulai semenjak Jodi datang bukan?     "Lihat dong muka anak gue! Dia mirip sama lo! Pasti gara-gara pas hamil dulu, Mommy-nya kebanyakan mikirin lo."     "Terus itu salah gue gitu?"     Mendengar jawaban Jodi, Oom Junot semakin naik darah, ia sudah menaikkan tinjunya ke udara. Dan Jodi, bukannya merendah, ia justru ikut emosi. Ia juga melayangkan tinjunya, bersiap memukul Oom Junot.     Untung Tante Keke dan Yas sigap. Tante Keke segera mencegah perbuatan suaminya, dan Yas mencegah Jodi.     Sungguh, Yas benar-benar tak mau ikut campur urusan mereka—meskipun selama ini ia sudah curiga—tapi kalau begini ceritanya, terpaksa ia turun tangan. Ia tak mungkin membiarkan dua lelaki dewasa adu jotos di hadapannya. Ya Tuhan, kelakuan mereka ABG sekali!     "S-sebaiknya kita semua duduk dulu, ngomong baik-baik ada apa sebenarnya!" Yas membawa mereka semua ke ruang tamu.     Sayangnya, tak ada yang angkat bicara. Yas kasihan sekali dengan Bjorka yang tidak tahu apa-apa—seperti dirinya—dan harus menjadi korban di sini. Yas melirik Tante Keke, sepertinya ia lebih bisa diandalkan daripada suaminya dan si Jodi itu.     "Tan, sebenernya ada apa?"     "Gini lho, Yas, dulu Jodi dan Tante pernah pacaran, kita ...."     Belum selesai sang istri bicara, Om Junot sudah menyela, "Dulu lho ya, dulu!"     "Daddy, biar Mommy jelasin dulu!"     "Iya, Oom, biar Tante Keke jelasin dulu!" seru Yas. Karena Yas yang memohon, emosi Oom Junot bisa sedikit terkendali.     Meskipun belum tahu cerita detailnya, tapi Yas akhirnya tahu hubungan macam apa yang mengikat mereka. Pantas saja jika kedatangan Jodi membawa hawa-hawa panas dan gonjang-ganjing keluarga ini.   ***       Hari sudah gelap saat Yas sampai rumah. Seperti yang ia tebak, kedua adiknya yang kelaparan sudah menunggu di meja makan dengan piring mereka masing-masing. Karena Yas adalah kakak yang peka, ia memutuskan untuk membeli lauk di luar, tak ingin adik-adiknya menunggu semakin lama jika harus memasak dulu.     "Duh, lama amat! Ngapain aja, sih, di sana?" Elang yang pertama protes.     Yas tahu kenapa. Meskipun badan Elang kecil, tapi jika urusan menahan lapar, Elang payah sekali. Makannya banyak, tapi entah bablas ke mana. Tumbuh ke samping tidak, ke atas apalagi.     "Ya maaf. Antreannya banyak, orang yang punya masalah, kan, nggak kita aja. Belum lagi ngurusin ini itu, laporan ini itu."     "Terus kapan tanggal sidangnya?"     Yas meletakkan kotak yang dibawanya di atas meja. "Sekitar semingguan lagi, kapan pas-nya ntar dikabarin."     "MARTABAK TELOR?!" Theo dan Elang kompak mengatakannya.     "Kenapa? Kalian nggak suka?"     "Gue kira tadi ayam goreng, atau apa gitu yang bisa buat lauk." Elang menggigit ujung sendoknya.     "Ini juga bisa buat lauk, Lang! Makanya cobain dulu!"     Theo dan Elang saling berpandangan. Masih aneh sebenarnya. Tapi karena sudah terlanjur kelaparan, apa boleh buat? Mereka mengambil satu potong martabak dan meletakannya di piring masing-masing. Setelah satu suapan, barulah mata mereka membulat.     "Ternyata enak ya dimakan sama nasi!" Elang menyuap satu sendok lagi.     "Hooh, baru tahu ini gue. Biasanya kalo martabak mah langsung srobot aja, pakek cabe biar greget!" Theo menggigit cabe rawit hijaunya.     "Enak, kan? Mas dulu waktu masih kos, suka patungan sama yang lain buat beli martabak gini. Kan lumayan, dari pada makan mie instan terus tiap hari."     "Wah, kereatip!" Elang mengacungkan jempolnya.     Mata Yas memicing saat melihat ada yang aneh di kedua pipi Theo. Seperti ada lebam kebiruan di sana. "Pipi kamu kenapa?"     Bukannya menjawab, Theo malah cemberut, dan Elang tertawa. Nasi di mulutnya sampai muncrat ke mana-mana.     "Lang, astaghfirullah!" Yas membersihkan beberapa butir nasi yang menempel di wajahnya karena perbuatan Elang.     "Tadi di bus, dia dicubitin sama ibuk-ibuk, gemes katanya," Elang menyuap nasi lagi. "Untung gue pakek masker, jadi aman deh muka mulus bak porselen ini."     Mereka memang naik bus saat pulang sekolah tadi, tentu saja karena mobilnya dipakai Yas ke pengadilan.     "Nyesel gue nggak bawa masker!" sungut Theo.     "Kasihan adek Mas! Tapi ambil sisi positifnya aja, itu artinya kegantengan kamu sudah tidak bisa diragukan lagi." Yas membesarkan hati adiknya.     Seketika senyuman Theo mengembang, hatinya berbunga-bunga. Ia tahu, ia memang ganteng luar biasa.     "Duh, Yas, salah ngomong lo! Terbang tuh dia!"     "Nggak apa-apa, sekali-sekali dipuji, biar nggak galau terus. Ngomong-ngomong nanti pas sidang pertama, Mas tinggalin mobil di sekolah ajalah, biar bisa kalian pakek buat pulang."     "Kok gitu? Terus lo gimana berangkatnya ke pengadilan?"     "Biar Jodi yang jemput. Soalnya tadi mobil Mas nggak kepakek gitu, karena kami semua naik mobilnya Jodi."     "Oh, bagus deh, dari pada gue jadi korban gemes lagi!" Theo memegangi kedua pipinya yang malang.     Dalam sekejap, satu kotak martabak ditambah satu magic com nasi sudah habis dilahap oleh mereka bertiga. Saat membereskan piring, Yas mendadak teringat kejadian siang tadi. Ia jadi senyum-senyum sendiri. Elang melihat Yas seperti itu jadi khawatir, jangan-jangan Yas sudah ....     "Lo kenapa? Sehat?"     "Mas, tuh, sebenernya nggak enak sama Om Junot sekeluarga. Gara-gara masalah kita, eh, malah bongkar sebuah masa lalu kelam, tapi ini lucu."     "Emangnya kenapa?" Theo ikut-ikutan kepo.     Bukannya segera menjawab, Yas malah tertawa semakin keras. Theo dan Elang hanya bisa garuk-garuk kepala.   ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN