Balada Kepulangan Kurta
“Khuṇ ca dị̂ s̄ìng thī̀ khuṇ t̂xngkār nı mị̀ cĥā.” (Kamu akan segera mendapatkan apa yang kamu mau)
“Hah? Sa wat dii kha?” (Hah? Hallo?)
“Khuṇ ca dị̂ phb kạb cêā mạngkr ṭhex ca yxm cảnn t̀x khuṇ h̄lạngcāk thī̀ khuṇ sụ̄̂x phechr ṣ̄ạkdi̒s̄ithṭhi̒ h̄ı̂ ṭhex!” (Kamu akan bertemu ratu naga, dia akan tunduk padamu setelah kamu memberinya berlian suci)
“Hah?”
Sejurus kemudian sosok wanita paruh baya berkulit eksotis itu memudar layaknya arwah dengan tubuh transparan tetapi pria yang sedari tadi diajak bicara masih saja mengerutkan keningnya, tak mengerti maksud perkataan wanita bermata perak itu. Berulang kali lawan bicaranya menegur tetapi wanita itu hanya tersenyum tipis.
“Kurta, Kurta!” panggilan-panggilan itu dihiraukan. Bagi pria yang kini tertegun melihat sosok wanita dengan modelan rambut kepang kecil memenuhi kepalanya, ucapan wanita itu sungguh membingungkan.
“Kurta! Kurta! Bang Krut, bangun woy!” teriakan yang sarat akan kekesalan itu membawa Kurta kembali dari alam mimpi. Beberapa kali ia mengerjapkan matanya dan terkesiap saat ia menoleh pada Keenan, teman yang daritadi berusaha membangunkan Kurta yang begitu damai terlelap.
“Kita mau landing, siap-siap!” ujar Keenan seolah tahu isi kepala kawannya yang kebingungan. Kurta tak banyak bicara. Dia menoleh ke sisi lain, berusaha menyembunyikan ekspresi bingungnya yang membuat Keenan penasaran.
***
Bogor Nirwana Residence.
Sebuah sedan melaju memasuki area perumahan elite setelah menempuh jarak cukup jauh. Keadaan di dalam mobil hening dengan dua orang pria yang duduk di bangku belakang. Pasalnya keduanya merasa lelah setelah tiga bulan lamanya berkelana ke beberapa negara di dunia. Tujuan mereka tak lain ialah mencari jodoh yang tak kunjung datang. Setelah beberapa waktu sebelumnya mereka mendengar ceramah salah satu ustadz bahwa jodoh itu harus dijemput, maka Kurta dan Keenan bergegas keluar dari zona nyaman guna menjemput jodoh.
Sayangnya, belum sampai seperempat negara di dunia yang sempat mereka kunjungi, Adam Satyadiningrat –ayah Kurta, menyuruh keduanya pulang ke tanah air, jika tidak, Adam tak segan mengerahkan pengawalnya untuk menyeret pulang satu-satunya anak pria, si bungsu yang Adam miliki.
Suara kaca mobil milik sang supir diturunkan guna menyapa kedua satpam yang membuka gerbang cluster terdengar, hal itu membuat Kurta terbangun dari lamunannya. Laju mobil yang melambat membuat Keenan yang duduk di sebelah Kurta siap-siap, merapikan rambut serta aksesoris yang menempel di badannya.
“Lo bakal ketemu keluarga gue, bukan mau ketemu pak Komar! Santai aja, Nge!” dengus Kurta.
Keenan mendelik sekilas kemudian mematut diri menggunakan ponsel, membersihkan kotoran mata yang tertinggal.
“Gue juga tahu! Tapi kalo papa lo ada di rumah gimana? Dia lebih nyeremin daripada mantan wali kelas kita!”
Kurta nyengir kuda. Sejauh ini Keenan-lah yang paling sering berkunjung dan menginap di rumah Kurta, tetapi rasa takut Keenan terhadap ayah Kurta masih sama, tak berkurang sedikit pun. Kurta turun dari mobil saat pintu mobil di sebelahnya dibukakan oleh sang supir. Kurta mengangguk sebentar untuk menunjukkan rasa terimakasihnya pada pak supir.
Rumah megah, empat lantai dengan nuansa putih dan gold serta kedua patung kuda yang menyambut kedatangan Kurta membuat Kurta teringat bahwa dia harus kembali pada realita, rutinitasnya dalam bekerja dan segera meninggalkan hura-hura. Kedua patung kuda itu seolah berkata ‘Selamat datang di neraka!’ sukses membuat Kurta merasa gelisah dan enggan masuk ke dalam rumah.
“Aden, udah di tunggu ibu!”
Lagi-lagi Kurta terkesiap saat suara lembut dari wanita tua menyambut kedatangannya. Tanpa kata, Kurta melenggang masuk ke dalam rumah meninggalkan Keenan yang masih mematung dengan kedua alis bertaut, bingung dengan kelakuan Kurta.
Itu bocah napa, sih? Dari tadi di pesawat ngelamun mulu? Dia gak kesambet kan, ya? bathin Keenan.
“Den Keenan, ayo masuk juga! Barangnya mau sekalian dibawa ke kamar Aden Kurta?”
“Oh? Ya, iya bi! Koper yang kecil aja yang dibawa. Yang gede gak usah! Aku gak lama kok!” jawab Keenan yang dibalas anggukan oleh Bi Icah -ketua ART di kediaman keluarga Diningrat.
Langkah ringan Keenan membawanya menelusuri dalam rumah, kemudian tak lama ia tercekat saat suara berat seorang pria menggelegar di area ruang tamu. Keenan hapal betul, suara berat itu milik ayah Kurta. Dalam hati, dia mengumpat karena Keenan datang di saat yang tidak tepat. Alih-alih menampakkan diri dan menyapa, Keenan memilih bersembunyi di balik buffet, menunggu amarah Adam mereda.
“Papa gak masalah kamu jalan-jalan atau pergi kemana pun, tapi jangan lepas tanggungjawab gitu aja dong, Kurta! Kamu ini anak laki satu-satunya, perusahaan papa yang bakal nerusin itu ya kamu!” suara Adam terdengar menyeramkan, apalagi emosinya kini sedang tak stabil, menyambut putra bungsunya dengan amarah sambil menunjuk-nunjuk Kurta yang duduk di sofa sebrang Adam yang duduk dengan angkuhnya.
Kepala Kurta menunduk, netranya hanya fokus pada ujung sepatu yang dia pakai. “Kakak-kakak kamu sudah hidup enak dengan ekonomi mapan. Jangan sampai kamu lengah dan menghancurkan bisnis keluarga. Kalau papa udah gak ada, siapa yang bakal nopang kamu? Kakak-kakakmu? Atau mamamu? Jangan jadi beban keluarga, Kurta!”
Bentakan Adam sukses membuat Keenan yang sedang bersembunyi merinding sekujur tubuh. Keenan memeluk dirinya sendiri sambil komat-kamit ‘bangun-bangun, makan nasi sama garem!’ ucapnya guna memperbaiki detak jantungnya yang berdebar tak karuan.
“Yang dimarahin si Bang Krut, kenapa yang merinding gue, ya? Apa mending gue cabut aja? Ngeri juga kalau gue kena terkam black panther itu! Mending diterkam Jeni Blackpink gua mah!”
Keenan segera berbalik, namun nasib buruk tak mengijinkannya untuk pergi begitu saja. Pasalnya ia secara tak sengaja menabrak bi Icah yang sedang membawa dua gelas teh panas dan langsung tumpah membasahi kaos Keenan.
“Eh ayam tumpah! Panas, panas!” teriak Keenan refleks saat minuman itu mendarat di dadanya, sama halnya dengan bi Icah yang latah, mengulang kalimat Keenan.
Perhatian Adam, Kurta dan dua wanita lain di ruang tamu itu beralih pada Keenan. Adam mengurut pelipisnya, jengah melihat kelakuan teman putranya.
“Gimana mau sukses, temenannya sama yang gitu terus?” keluh Adam secara lirih namun masih bisa Kurta dengar.
“Keenan, kamu datang bareng Kurta juga?” pertanyaan seorang wanita berusia lima puluh sembilan tahun itu menjeda amarah suaminya pada Kurta sehingga seluruh mata tertuju pada Keenan yang kaosnya basah sekaligus kepanasan.
“Keenan, kayanya kamu harus ganti kaos sekaligus obatin deh takutnya malah luka kesiram air panas! Kurta bawa Keenan ke kamarmu, gih! Kalian juga harus istirahat, baru flight juga, kan?” kini seorang wanita berlesung pipi menambahi.
Wanita itu, Gayatri Diningrat, kakak kembaran Kurta, mantan gebetan Keenan. Senyumannya yang hangat membuat Keenan sejenak melupakan rasa panas dan nyut-nyutan di dadanya. Sedangkan Kurta menoleh pada sang mama, mamanya mengangguk memberi sinyal agar sebaiknya Kurta pergi dengan kesempatan ini.
Kurta bangkit dan menoleh pada Keenan yang memasang senyum kuda seraya terlena dengan kecantikan Gayatri. “Ayo ke kamar gue!” titah Kurta namun Keenan tak mengindahkannya. Kurta berdecak kesal, buru-buru ia hampiri Keenan dan menarik pergelangan tangannya. Kurta harus membawa sahabatnya pergi sebelum emosi papanya meledak dan Keenan ikut kena luapan amarah.
“Buru Bang Kee!” pekik Kurta geram, menyeret Keenan menuju puluhan anak tangga.
***
“Makasih ya bang, lo udah nyiram diri lo pake aer panas!”
“Nyengir lo, tomket! Gue nyut-nyutan nih!”
“Lagian bukannya buru-buru keatas, elo lelet banget jalannya!” dengus Kurta seraya melempar kulit kacang pada Keenan yang bertelanjang d**a dengan kedua jemari aktif mengolesi salep pereda luka bakar.
“Senyuman Aya itu loh! Masih bikin jantung gue cenat-cenut, Nge!”
“Inget, dia udah jadi istri orang!” imbuh Kurta mengingatkan, Keenan tersenyum miris ditampar kenyataan.
“Btw, dari semenjak di pesawat lo kenapa diem aja? Kesambet apa nahan buang hajat? Atau lo udah feeling mau dimarahin bokap?”
Pertanyaan Keenan membuat Kurta teringat pada mimpinya yang bertemu wanita Thailand sambil berpesan padanya, pesan yang sama sekali tak ia ketahui maksudnya.
“Tuh kan diem lagi, kenapa sih? Mikirin kerjaan? Apa mikirin paylater?”
“Anjir, itu mah elo! Enggak, gue tadi mimpi aneh banget, ketemu ibu-ibu gitu matanya perak tapi kulitnya gelap dikepang kecil-kecil sekepala! Terus dia ngomong sesuatu,” ucap Kurta berusaha menjelaskan.
“Hah? Ngomong apa?”
“Mmm … malingkingkong nonggeng-nonggeng–”
“Ah, siluman gagang pintu! Ngomong yang bener lo, anjir!” teriak Keenan setelah menimpuk wajah Kurta dengan bantal, emosi Keenan setelah Kurta mempermainkan keseriusannya.
“Gue ngomong bener, Nge! Gue juga gak tahu dia ngomong apaan soalnya di mimpi gue dia ngomong pake Bahasa tagalog, Bahasa Siam, atau apalah itu yang biasa dipake orang Thai!” jelas Kurta secara cepat dengan kecepatan cahaya, Keenan memasang wajah datar mendengarnya.
“Menurut lo dia ngomong apa, Ke?”
“Mana gue tahu! Mimpi juga mimpi lo! Bikin pusing aja! Udah gak usah lo anggap penting, namanya juga mimpi itu bunga tidur! Elo kali kesemsem sama ladyboy di sana jadi kepikiran terus sampe sekarang!” ledek Keenan menyunggingkan seringai.
“Sial!” keluh Kurta. Inginnya Kurta tak mempedulikan mimpi itu, tetapi entah mengapa mimpi itu sangat mengganggu. Keenan yang peka terhadap sahabatnya itu mencoba mengalihkan perhatian Kurta supaya tidak memikirkan mimpi aneh itu lagi.
“Mending sekarang kita bungkus hadiah buat bininya si Bang Kai deh! Lo ambil gih di tas itu!” titah Keenan. Kurta bergerak, mengeluarkan sebuah kain sutra berwarna merah maroon.
“Bang kee, kita gila gak sih hadiahin ini ke orang yang baru lahiran?”
“Coba lo jembrengin bajunya jangan digumbel-gumbel gitu, gue jadi gak bisa nilai!” pinta Keenan, dan dengan polosnya Kurta menunjukkan hadiah tersebut pada Keenan.
“Nih!”
Beberapa saat sebelumnya, setelah Kurta membawa Keenan ke kamarnya, Adam bangkit dan tanpa kata memilih untuk pergi. Aya dan mamanya tersisa di ruang tamu, mereka menghembuskan napas lega sebab Adam tak memperpanjang amarahnya. Kala itu Bi Icah melewati mereka berdua sambil menarik koper milik Keenan.
“Bi Icah mau kemana?”
“Eh, Bu, ini mau anterin kopernya Den Keenan. Tadi minta dibawain ke atas soalnya,” jawab Bi Icah dengan segan dan senyum kikuk, masih merasa bersalah sebab menjadi salah satu pelaku kekacauan yang menunda amarah Tuan Besar.
“Saya aja yang anterin.”
“Mama masih kuat? Aya aja yang bawa!” Aya ikut bangkit saat mamanya meninggalkan tempat duduk.
“Kamu tahu kan mama mau apa, Ay?”
“Tapi kamar Kurta di lantai 4, lift juga belum selesai di maintain. Gimana kalau Aya temenin sekalian bantu bawain?”
Mendengar permintaan putrinya, Citra tak bisa mengelak. Dia mengangguk seraya tersenyum lembut pada Aya sehingga membuat wanita itu tersenyum senang. Aya mengambil alih koper milik Keenan dari tangan Bi Icah, kemudian menuntun mamanya menaiki satu persatu anak tangga.
Napas terengah dan kaki yang gemetar akhirnya membawa mereka ke lantai empat. Umur memang tak bisa berbohong, kendatipun Citra terlihat cukup bugar diusianya yang hampir kepala enam tetapi tetap saja mencapai empat lantai dengan tangga cukup menguras energinya. Langkah kaki ringan menuntun mereka menuju kamar Kurta. Dari jauh Aya melihat pintu kamar Kurta yang tidak tertutup rapat. Kebiasaan Kurta masih saja tak berubah, mentang-mentang di lantai empat hanya ada kamar dia satu – satunya dan ruangan lain, dan tak banyak orang menggunakan area lantai empat ini, jadi Kurta tak pernah menutup rapat pintu-pintu itu.
Sisi penakut Kurta masih ada sampai usia matang, dia kerap kali mengganjal pintu dengan benda apapun supaya dia tak terkurung sendirian di kamar. Tetapi kali ini tindakannya berakibat fatal, sebuah kesalahpahaman menarik Kurta ke jurang amukan sang Mama. Bagaimana tidak? Saat Aya membukakan pintu kamar Kurta untuk mamanya, kedua wanita itu melihat pemandangan yang tak biasa.
Keenan bertelanjang d**a dan hanya menggunakan celana boxer duduk menselonjorkan kaki di atas kasur, sedangkan Kurta berdiri di hadapan Keenan sambil menunjukkan baju tidur seksi wanita yang biasa para wanita gunakan untuk bertugas melayani suami.
“Nih!” ucap Kurta dengan polos.
“Wow! Amazing baby! Mata gue emang gak pernah salah, ini cocok banget!” balas Keenan seraya tersenyum puas.
“Astagfirullah, Kurta!”
Pekikkan mamanya membuat Kurta dan Keenan menoleh secara bersamaan, keduanya membeku saat menemukan mamanya dan Aya berdiri di ambang pintu dengan wajah pucat pasi.
“Mampus!”
***