"Karena hal ini telah terjadi, maka izinkan aku untuk meminta maaf padamu sebelum semuanya kembali."
***
Beruntunglah pintu lift segera terbuka dan benar dugaanku, beberapa karyawan kantor ini sudah berdiri dengan tatapan terkejut menatap kami. Aku hanya tersenyum canggung sementara Gabriel berdehem, aku tahu dia sedang protes tetapi demi mewaraskan pikiranku, aku pikir cara ini lebih baik.
Sayangnya, deheman Gabriel tadi membuat para karyawan tadi enggan masuk ke dalam lift sampai pintu kembali tertutup. Mereka terlihat tidak ingin ikut campur dengan apa yang hendak kami lakukan dan Gabriel menegaskan itu dengan wajahnya.
Hah, aku tidak pernah merasa semalu ini seumur hidup.
“Risha,” panggilnya, dia meletakkan tangannya di pinggangku tetapi aku hanya meliriknya. “Kenapa kamu sangat tegang? Kita sudah biasa melakukannya dan lagi, kita baru menikah kemarin.”
Kau sudah biasa melakukannya tetapi aku tidak.
“Lebih baik kita tidak melakukannya lagi di kantor atau di tempat umum,” bisikku. “Tiba-tiba aku merasa malu,” tambahku agar dia tidak curiga.
"Tumben,” sahutnya. Aku hanya tersenyum atau lebih tepatnya meringis.
“Rambut aku berantakan, tidak?" tanyanya dengan nada mengejek.
“Kenapa harus berantakan orang aku belum ngapa-ngapain kamu juga,” sahutku membalasnya. Aku menyentil keningnya. "Berhenti tangan kamu, jangan di sini, okay?"
Gabriel tersenyum sambil mengangguk. "Okay."
Setelahnya, aku tidak lagi berbicara dan Gabriel sibuk bermain dengan rambutku. Kata oke baginya hanya sekedar kata-kata dan bahkan sampai kami keluar dari lift dan berjalan ke tempat parkir pun, aku masih tidak berbicara dan dia masih bermain dengan rambutku.
Sejujurnya alasan aku tidak bicara bukan karena aku malu, tetapi lebih karena aku ingin segera memakai bakpao. Hehehe.
"Pelan-pelan saja jalannya, kenapa buru-buru?" Gabriel yang awalnya bermain dengan rambutku kini malah melingkarkan tangannya di pinggangku, membuatku menatapnya dengan kesal.
"Haram hukumnya pegang-pegang di depan umum."
"Kita baru halal kemarin ini, kenapa sekarang masih ada haram-haramnya lagi, ya?" tanyanya pura-pura bodoh.
"Riel!"
"Okay," sahutnya tetapi setelah mengatakan itu, dia malah memelukku dengan erat, mengecup bibirku dua kali dan kabur duluan ke arah mobil sambil tertawa.
"RIEL!" teriakku kesal, tidak peduli pada beberapa orang yang menatap kami. Ck, salahkan tingkah laku bos mereka!
Aku berjalan dengan kesal ke arah mobil, sedangkan Gabriel sedang menatapku dengan tatapan jahilnya. Dia sepertinya sangat senang membuatku kesal, tetapi aku memilih untuk tidak meladeninya dan diam saja.
"Baru sekarang kamu terlihat malu-malu seperti ini, biasanya kamu yang paling suka skinship dan segala macamnya,” katanya ketika aku mulai memakai sabuk pengaman. "Sudah gitu, dulu kamu itu tipe bodoh amat meskipun karyawan-karyawan ngelihatin kita bermesaraan bahkan ciuman.”
Aku terdiam mendengar perkataan Gabriel, dia pasti bingung karena aku tiba-tiba menjadi perempuan yang berbeda dengan yang dia kenal sebelumnya. Tetapi bagaimana juga itu bukan aku, perempuan yang seharusnya dia nikahi bukan aku.
PRUNUS gila, tidakkah mereka ingin menjemputku? Setidaknya tolong beri aku kejelasan tentang apa yang harus aku lakukan dan siapa Gabriel Effendi sebenarnya.
"Tapi tidak apa-apa," katanya kemudian. Dia mengusap kepalaku. "Aku senang, setidaknya sekarang kamu menjadi lebih lucu."
"Kamu lebih suka aku seperti ini? Apa dulu aku sangat dominan?" tanyaku memastikan. Benar, aku sedang memerankan sosok orang lain, aku jelas tidak bisa seegois itu dan mementingkan perasaanku sendiri. Lagipula aku adalah seorang agen, tidak seharusnya aku tenggelam dalam perasaanku.
"Hm, aku suka."
Gabriel mulai menjalankan mobil.
"Benar begitu?" tanyaku lagi.
"Jarang sekali aku melihat kamu ngambek karena hal-hal kecil seperti tadi, dalam hubungan kita.. bagaimana, ya? Jujur saja aku berpikir kalau kamu itu lebih dewasa dari aku. Kata Mama juga begitu, karenanya dia malah takut kalau aku bakal membebani kamu, tetapi dia juga bersyukur waktu aku bilang kalau aku bakal nikah sama kamu," jeda. "Mama selalu bilang kalau aku masih kekanak-kanakan, makanya Mama selalu minta kamu buat jagain aku."
Mendengus pelan sebagai sahutan, Gabriel malah tertawa.
"Tapi sekitar semingguan terakhir ini kamu sering sekali cemberut, ngambek dan tiba-tiba suka manyun. Kamu juga tiba-tiba mau makan batagor, bakpao, padahal dulu kamu itu benar-benar tidak suka. Lalu kamu juga mulai nyapa karyawan dengan ramah. Aku suka. Rasanya aku juga bisa jagain kamu, bukan sebaliknya."
Aku mendengarkan. Cara Gabriel mengatakan bahwa dia menyukai sikapku benar-benar menggambarkan dirinya. Senyum manis yang muncul di akhir kalimatnya membuat aku berpikir apakah dulu dia merasa bahwa harga dirinya terluka?
Tidak, aku tidak bisa berpikiran sejauh itu. Itu hubungan mereka berdua dan aku tidak perlu ikut campur karena aku yakin semuanya akan kembali seperti semula, cepat atau lambat.
"Kamu tidak menyukai aku yang dulu? Apa perubahanku setelah lamaran dan pernikahan membuat kamu terkejut?" tanyaku.
"Bukan begitu, bukan begitu maksudnya, Risha, aku itu.. eum.." katanya sedikit gagap dan ragu. Lihat bagaimana dia mulai panik. Arisha pasti memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap semua sikapnya.
"Aku hanya sedikit merasa kalau sekarang aku juga bisa jagain kamu, aku bahkan mulai belajar bela diri sejak satu tahun lalu. Kamu terlalu kuat, aku bahkan tidak pernah melihat kamu menangis. Kamu itu juga straight forward, kalau kamu tidak menyukai sesuatu ya kamu langsung bilang kalau kamu itu tidak suka,” jelasnya sambil mengusap rambutku. "Tapi seminggu belakangan ini kamu mulai bertingkah seperti anak kecil. Kamu marah karena hal sepele di mana dulu kamu itu selalu tenang. Ah, kamu ternyata juga punya banyak ekspresi saat membaca buku, kamu bahkan nurut waktu tadi aku bilang tidak perlu memakai dress. Jujur awalnya aku kaget waktu kamu langsung taruh dressnya, mungkin sedikit aneh.. tapi aku suka.”
Aku tersenyum. "Memangnya dulu aku seperti apa?"
"Dulu.. hm, kamu sangat-sangat elegan dan dewasa. Kamu jarang sekali marah, kamu jarang sekali merajuk, kamu jarang sekali menangis seperti seorang ratu-- Ah, tadi malam aku melihat kamu menangis," katanya tiba-tiba. Dia melirikku dan wajah tengilnya kembali lagi.
"Kapan? Memangnya aku menangis tadi malam? Aku tidak merasa aku menang-"
"Tadi malam, kamu bilang sakit dan tiba-tiba menangis, jad- aw aw Arisha.. hahaha.. aku sedang menyetir sekarang! Iya-iya ampun!"
Tidak peduli, aku terus memukulinya dengan tas selempangku. Berani-beraninya dia mengungkit cerita tadi malam. Dia pikir gara-gara siapa aku menangis?
"Jangan ungkit-ungkit apa yang terjadi pada kita tadi malam!" tekanku, memberi peringatan.
"Iya, sayang, iya. Hahaha, ampun, oke? Ampun!”
Aku masih mengangkat tas ku, memberi peringatan bahwa aku benar-benar tidak mau dia mengungkit kejadian tadi malam. Setelah itu kami diam saja, aku menikmati pemandangan sementara Gabriel fokus menyetir.
"Sudah sampai, ayo makan bakpao!" Gabriel memarkirkan mobilnya di pelataran sebuah warung makan yang tidak begitu besar. Kami berdua turun dari mobil.
"Disini?" tanyaku memastikan apakah warung makan yang kami datangi benar-benar menjual bakpao.
"Hm, bakpao di sini yang paling enak lalu di sana.." Gabriel menunjuk sebuah tempat dengan gerobak dorong yang berada di ujung jalan. "Kita beli batagor di sana."
Wah, aku pikir anak orang kaya tidak atau jarang makan jajanan yang dijual oleh pedagang kaki lima. Jujur saja aku sedikit terkesan.
"Kenapa?" tanyanya, dia menatapku khawatir. Ck, aku tidak suka tatapannya itu, dia terlihat takut padaku. "Kamu tidak suka, ya? Mau cari tempat lain?"
"Tidak," sahutku sambil menggelengkan kepala. "Aku mau coba bakpao cokelat di sini. Kalau suami aku bilang enak, berarti memang enak sekali, bukan?"
"Hm," Gabriel meletakkan tangannya di pinggangku, tatapannya mulai kembali seperti biasa seakan-akan dia sangat lega. "Enak sekali, dijamin kamu pasti suka."
"Apa ini?" aku tertawa. "Kamu ambasador warung makan ini?"
"Mak nya yang jual tidak mau aku bantu sponsorin," bisiknya dan kami berdua tertawa.
Warung yang kami datangi ini memang tidak besar tetapi dalamnya benar-benar bersih dan sepertinya tempat ini cukup populer karena aku melihat banyak pembeli mulai berdatangan. Syukur kami masih bisa mendapat tempat duduk.
"Den Gabriel?" tiba-tiba seorang wanita paruh baya mendatangi kami, aku bisa menebak jika dia adalah pemilik warung ini, dan melihat dari bagaimana Gabriel tersenyum lebar aku bisa langsung tahu jika dia sangat akrab dengan pemilik warung ini.
"Bagaimana kabarnya, Mak?"
"Baik, Den.. loh ini?" Pemilik warung yang Gabriel panggil 'Mak' itu menatapku bingung. "Tumben Aden bawa pasangan, biasanya sendiri terus,” kelakarnya
"Hahaha, ini istri saya Mak, Arisha."
"Wah.. sudah istri," Wajah Mak tampak terkejut sekaligus senang. Aku berdiri dan menjulurkan tangan untuk menjabat tangannya dengan sopan.
"Eh kotor, Neng," tolaknya, tetapi aku tetap memaksa sehingga kami saling berjabat tangan.
"Arisha. Eum.. boleh saya panggil Mak juga?" tanyaku meminta izin.
"Boleh, Neng, boleh. Manggil apa saja boleh yang penting Neng nyaman."
"Saya manggil Mak juga kalau begitu," putusku, aku tersenyum dan kembali duduk.
Mak tersenyum, dia menatap kami. "Jadi ini pengantin baru?"
Gabriel mengangguk. "Kami baru nikah kemarin, Mak."
"Harusnya Aden sama Neng di rumah saja, kenapa malah jajan bakpao ke sini?"
"Saya yang kepingin makan bakpao, Mak," ungkapku. “Terus katanya Gabriel bakpao di sini yang paling enak.”
"Mak.. kita mau pesen!" teriak seorang pelanggan yang duduk di bangku paling ujung.
"Tunggu, Den, tunggu!" balas teriak Mak pada pelanggan tadi. "Jadi Neng sama Aden mau pesan bakpao isi apa?"
"Cokelat!" jawabku semangat.
"Kalau Aden? Yang biasa?"
"Eum, kali ini saya juga pesan cokelat," sahut Gabriel, dia tersenyum. "Jadi saya pesan cokelatnya 5 sama kacang merahnya 5, terus yang isi cokelat kita makan disini, jadi tolong bungkusin yang kacang merah ya, Mak."
"Siap! Tunggu ya!"
Aku mengangguk, begitupun dengan Gabriel. Karena bersemangat, aku menggoyang-goyangkan kakiku dan Gabriel langsung menatapku sambil tersenyum lebar.
"Kenapa?" tanyaku.
"Bukan apa-apa, lucu saja melihat kamu ada di sini. Jujur saja aku pikir bakal beli bakpao sama batagor sendiri seumur hidup.”
“Halah, lebay kamu,” ejekku.
Gabriel tertawa. “Malah dibilang lebay, aku serius ini. Ah, semoga kamu suka bakpaonya."
"Aku bakalan suka, jangan khawatir."
"Semoga," Gabriel terkekeh pelan. "Pasti bakal seru banget kalau kamu nanti hamil dan ngidam batagor atau bakpao."
Aku tersenyum. Dia sudah mikir ke sana? Tolong PRUNUS segera telpon aku, beritahu aku apa yang harus aku lakukan di sini. Ini gila sekali.
"Aku bakalan beli bakpao sama batagornya di wilayah sini, jadi kamu harus suka."
Haduh, kenapa aku merasa bersalah? Bagaimana jika Arisha asli datang dan aku harus mengembalikan posisinya bahkan sebelum apa yang Gabriel inginkan terjadi? Memikirkannya membuatku merasa tidak tega. Eum, tidak, Arisha yang asli akan suka dan mereka akan hidup bahagia.
Agen Arsila, sebaiknya kau terus menghubungi PRUNUS sampai mereka menjawab panggilanmu. Ya, harus.
"Kamu memang suka cokelat sih dari dulu, jadi kamu pasti suka bakpaonya. Aku yakin seratus persen."
Aku tertawa mendengarnya. "Kamu yakin sampai segitunya."
"Aku itu sudah coba hampir semua bakpao di kota ini dan menurut lidah dewa aku, tempat ini punya bakpao yang paling enak," jelasnya, dia mengacungkan kedua jempolnya. "Empat jempol sama kaki."
"Kamu tidak mau buka usaha makanan? Sepertinya bakal cocok."
Gabriel tertawa. "Kamu bilang aku lebih cocok buka usaha atau investasi di bidang fashion. Sekarang berubah lagi?"
"Hm, makanan lebih cocok buat kamu. Lihat, mata kamu berbinar waktu bicara soal bakpao," kataku, aku menatap matanya yang memang berbinar-binar sejak kami sampai di tempat ini.
"Boleh?"
"Boleh apa?" tanyaku balik.
"Buka usaha makanan."
"Kenapa tidak?" aku menyentuh tangannya yang berada di atas meja. "Kalau kamu suka, kenapa tidak?"
Setelahnya mata Gabriel kembali berbinar, dia bahkan sampai lupa memakan bakpaonya dan terus berbicara tentang membangun usaha restoran dengan semangat. Dia bilang ada satu restoran besar yang menarik perhatiannya.
"Beli saja," celetukku, aku asal bicara saja sebenarnya karena aku tidak mengerti urusan di bidang seperti itu. Dulu aku bahkan tidak kuliah di jurusan bisnis, selain itu aku juga anak bahasa.
"Boleh?"
"Kenapa tidak, Riel? Kamu bebas melakukan apapun yang kamu suka," jelasku sambil terus memakan bakpao. Ternyata benar kalau bakpao di sini sangat enak. “Kamu bisa gandeng Mak juga kalau mau usaha bakpao. Eum.. ini enak.”
"Risha?" panggil pelan Gabriel yang langsung membuatku menatapnya. "Terima kasih."
Terima kasih untuk apa?
Dia itu tidak pantas mengatakan terima kasih kepadaku, tetapi akhirnya aku hanya tersenyum menanggapi.
Aku mengetuk meja. "Makan bakpaonya!"
Gabriel tertawa. "Oh ya, sampai lupa."
Masih tersenyum, aku mengamati Gabriel yang makan dengan sangat lahap dan itu membuat hatiku hangat. Dia hanyalah seorang laki-laki yang terlalu pengertian. Arisha mungkin lebih menyukai dia berinvestasi di bidang fashion dan dia tidak bisa menolak. Melihat dia yang dengan semangat menceritakan seluruh mimpinya membuatku merasa besalah.
Jika.. jika aku pergi sebelum melihat Gabriel tersenyum lebar karena mimpinya terealisasikan, aku akan merasa bersalah. Jika hari itu tiba, aku harus meminta maaf dari mana?
“Riel, ka-“
Terpaku. Aku langsung terpaku ketika merasakan sebuah getaran di belakang leherku. Rasanya seperti sebuah sengatan listrik yang mencoba untuk mengalir- tunggu, apa PRUNUS sedang mencoba untuk menghubungiku?
“Kenapa, hm?”
“Huh?” aku tersenyum canggung. “Bukan apa-apa, ayo makan lagi.”
Benar, sebelum semuanya menjadi lebih runyam, lebih baik aku kembali ke PRUNUS dan mengumpulkan lebih banyak informasi.
***