Udara di dalam kantor polisi terasa dingin, meskipun AC tua di sudut ruangan berbunyi berisik. Cahaya lampu neon yang putih terang membuat suasana semakin suram. Di ruangan interogasi itu, Nicky duduk dengan tubuh sedikit membungkuk, kedua sikunya bertumpu pada pahanya, dan jemarinya saling bertaut erat. Sudah hampir satu bulan sejak Diana, istrinya, menghilang tanpa jejak saat bulan madu mereka.
Di sampingnya, Pak Bryan duduk dengan wajah tegang. Pria berusia 55 tahun itu bertubuh agak gemuk, berkepala botak, dan memiliki tinggi yang hampir sama dengan Nicky. Meski berusaha tampak tegar, sorot matanya tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran yang mendalam. Jari-jarinya yang besar mengetuk permukaan meja kayu dengan ritme pelan, seolah mencoba meredakan kegelisahannya sendiri.
Di sebelahnya, Bu Helena tampak lebih rapuh. Wanita berusia 50 tahun itu memiliki tubuh yang agak ramping, kulit putih yang pucat karena kurang tidur, dan rambut hitam panjang sebahunya terlihat sedikit kusut. Matanya sembab, jelas menunjukkan bahwa dia sudah terlalu banyak menangis. Tangannya terus meremas saputangan di pangkuannya, seperti berusaha menahan emosi yang nyaris meledak.
Di hadapan mereka, duduk seorang pria berkulit cokelat dengan tubuh kekar. Pak Marco, detektif berusia sekitar 30 tahun yang menangani kasus ini. Posturnya tegap, dengan bahu lebar dan otot-otot yang terlihat jelas di balik seragamnya. Tatapan matanya tajam, menusuk, seolah ingin menembus pikiran Nicky untuk mencari kebenaran yang tersembunyi. Di tangannya, ada sebuah buku catatan yang sudah penuh dengan coretan, dan sesekali ia mengetuk ujung pulpennya ke permukaan meja, menciptakan suara kecil yang menambah ketegangan dalam ruangan itu.
"Oke, Tuan Nicky." Suara Pak Marco berat dan tegas. "Saya perlu Anda mengulang kronologi kejadiannya sekali lagi. Dari awal. Jangan lewatkan satu detail pun."
Nicky menghela napas panjang. Sudah berulang kali ia menceritakan ini, tetapi tetap saja, jika itu bisa membantu menemukan Diana, ia akan melakukannya lagi.
(FLASHBACK)
Hari itu...
Mereka sedang menikmati bulan madu di sebuah kota wisata yang terkenal dengan keindahan taman bermainnya. Diana sangat antusias, sejak kecil, ia memang menyukai tempat-tempat seperti ini. Matanya berbinar setiap kali melihat wahana-wahana berwarna cerah yang berputar di kejauhan, mencerminkan kegembiraan yang murni.
Sore itu, mereka berjalan berdua, bergandengan tangan, menikmati suasana yang ramai oleh suara anak-anak yang tertawa dan musik yang mengalun di seluruh area taman. Diana terlihat begitu cantik di bawah cahaya senja, kulit putihnya tampak bersinar halus, kontras dengan rambut hitam panjangnya yang tergerai indah hingga sepinggang. Angin sore berembus pelan, membuat beberapa helai rambutnya beterbangan, dan ia terkikik kecil saat harus menyibakkannya dari wajah.
Tubuhnya ramping dan agak pendek dibandingkan Nicky. Jika mereka berdiri berdampingan, tinggi Diana hanya mencapai bahu suaminya. Namun, justru itulah yang membuatnya terlihat semakin mungil dan menggemaskan di mata Nicky. Dengan wajahnya yang manis dan sorot matanya yang selalu ceria, Diana memiliki pesona yang sulit diabaikan.
Diana mendongak menatap Nicky, matanya berbinar penuh semangat. "Kita naik wahana itu, yuk!" Katanya sambil menunjuk roller coaster tinggi di kejauhan.
Nicky terkekeh. "Bukannya tadi kamu bilang mau yang santai dulu?"
Diana menggembungkan pipinya seolah merajuk, tetapi tak lama kemudian ia tersenyum lebar, menarik tangan suaminya lebih erat. "Ya sudah, nanti saja. Kita jalan-jalan dulu!"
Nicky mengangguk, menikmati setiap momen bersama istrinya.
Saat mereka berjalan menuju wahana, perut Nicky tiba-tiba terasa melilit.
"Sial..!!" gerutunya waktu itu. "Diana, aku ke toilet sebentar, ya. Perutku nggak enak."
Diana terkekeh, menatapnya dengan ekspresi geli. "Tuh, kan, aku bilang jangan makan kebanyakan!"
Nicky ingat betul, ketika dia makan siang di sebuah restoran dekat taman. ia memesan makanan dalam porsi besar, terlalu banyak mungkin. Dia sendiri menghabiskan dua porsi steak dan sepiring penuh kentang goreng.
Nicky hanya bisa nyengir kecut sebelum buru-buru berlari ke arah toilet umum di area taman. Ia tidak ingin kejadian memalukan terjadi di depan umum.
Saat itu, Diana memutuskan untuk menunggu di luar, berdiri di dekat bangku taman yang menghadap ke sebuah air mancur.
Nicky butuh waktu lama di dalam toilet. Mungkin hanya sekitar sepuluh menit. Tapi saat ia keluar, Diana sudah tidak ada.
Awalnya, dia tidak curiga. Mungkin Diana hanya berjalan-jalan sebentar. Mungkin dia membeli minuman atau cemilan. Tapi saat Nicky mengeluarkan ponselnya dan mencoba menghubunginya, pternyata ponselnya tidak aktif.
Jantungnya mulai berdebar.
Dia berkeliling area itu, menengok ke segala arah, mencari sosok Diana di tengah keramaian. Ia bertanya kepada beberapa orang yang duduk di sekitar sana, tetapi tidak ada yang melihat kemana Diana pergi.
Satu jam berlalu.
Diana masih belum ditemukan.
Saat itulah Nicky benar-benar panik. Ia melaporkan ke petugas keamanan taman bermain, berharap mereka bisa membantunya mencari Diana melalui CCTV. Namun, hasilnya mengecewakan, kamera di sekitar toilet memiliki titik buta, dan mereka tidak bisa melihat ke mana Diana pergi setelah Nicky masuk ke dalam.
Hari itu menjadi awal dari mimpi buruk yang tidak pernah ia bayangkan.
(FLASH REWIND)
Kembali ke kantor polisi...
Nicky mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri.
"Itu terakhir kali saya melihat Diana," katanya dengan suara serak. "Sejak saat itu, saya tidak tahu apa yang terjadi padanya. Saya sudah mencarinya ke mana-mana, menelepon berkali-kali, tapi ponselnya selalu mati."
Pak Marco mengetuk-ngetukkan ujung pulpennya ke meja, berpikir.
"Tidak ada orang mencurigakan di sekitar saat itu?" tanyanya.
Nicky menggeleng. "Setahu saya tidak ada. Semuanya tampak biasa saja."
Bu Helena menundukkan wajahnya, menahan tangis. Tangannya mengepal di pangkuannya, sementara Pak Bryan menghela napas panjang, berusaha menenangkan istrinya.
"Saya mohon, Pak," suara Bu Helena bergetar. "Tolong temukan anak saya..."
Pak Marco menatap mereka dengan penuh keseriusan.
"Kami akan melakukan yang terbaik, Bu. Kami tidak akan berhenti sampai kami menemukan Diana."
Namun, di balik nada yakinnya, ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Nicky tidak tenang. Sebuah firasat buruk mulai menjalari pikirannya. Dia khawatir seandainya Diana tidak sekadar menghilang, tetapi sesuatu yang jauh lebih mengerikan telah terjadi padanya.
***
Malam ini, suasana di dalam mobil terasa sunyi. Hanya suara mesin dan deru angin yang terdengar di luar. Sudah hampir sebulan mereka berada di kota ini, tempat Diana menghilang. Kota yang awalnya penuh dengan kebahagiaan karena bulan madu, kini berubah menjadi simbol kehampaan dan kehilangan. Namun, mereka tidak bisa terus tinggal di sini. Mereka harus pulang ke kota asal, setidaknya untuk sementara, sambil menunggu kabar dari polisi.
Nicky duduk di kursi pengemudi, matanya lurus menatap jalanan malam yang lengang. Di sampingnya, Pak Bryan terdiam, sementara Bu Helena di kursi belakang sesekali menyeka air mata yang tak kunjung kering.
Nicky melirik ke layar ponselnya yang berada di dashboard. Masih tak ada kabar dari Pak Marco, detektif yang menangani kasus ini. Sesekali, ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang terus dipenuhi oleh berbagai kemungkinan buruk tentang istrinya.
Mobil melaju di sepanjang jalan tol yang sepi. Langit malam kelam tanpa bintang, hanya bulan yang samar-samar tertutup awan.
Untuk mengalihkan pikirannya, Nicky meraih ponsel dan menekan nomor rekannya, James.
Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum akhirnya suara James menyapa. "Hallo, Nick! Akhirnya kau menelepon."
"Ya..." Nicky mencoba terdengar normal, meski suaranya masih berat. "Bagaimana bisnis kita? Apakah semuanya berjalan lancar?"
"Sejauh ini masih terkendali," jawab James. "Aku sudah mengurus beberapa klien yang kau tinggalkan. Bisnis kita masih berjalan lancar. Aku juga sudah mengurus beberapa hal yang kau tinggalkan. Aku bisa menangani ini lebih lama kalau kau masih butuh waktu di sana."
Nicky menggeleng, meskipun tahu James tidak bisa melihatnya. "Tidak, aku akan kembali bekerja besok."
James terdiam sejenak, lalu berkata dengan nada hati-hati, "Kau yakin? Maksudku... kau baru saja kehilangan... maksudku, kau masih mencari istrimu, kan?"
Nicky mengepalkan tangannya di atas setir. "Ya. Tapi aku tidak bisa hanya duduk diam. Aku harus tetap menjalani hidup. Sudah cukup lama bisnis kita aku tinggalkan."
Ada jeda sebelum James menjawab, kali ini suaranya lebih pelan. "Aku mengerti, Nick. Aku harap kau baik-baik saja. Tapi, bagaimana dengan perkembangan kabarnya istrimu?"
Nicky menarik napas. "Di sana ada pihak kepolisian yang masih menanganinya. Mereka pasti akan menghubungi kami jika ada perkembangan tentang kabar Diana."
"Hm, ya... Aku mengerti. Maaf aku tidak bisa membantu banyak, Nick. Aku benar-benar berharap Diana segera ditemukan." Ucap James.
"Terima kasih, James." Jawab Nicky.
Setelah menutup telepon, ia kembali fokus menyetir. Namun, pikirannya tidak bisa lepas dari satu hal: bagaimana keadaan Diana sekarang? Apakah dia masih hidup? Apakah dia terluka? Apakah dia disekap di suatu tempat, sendirian dalam kegelapan?