bc

Terpaksa Dinikahi Dokter Duda

book_age18+
2.3K
IKUTI
21.0K
BACA
HE
age gap
doctor
heir/heiress
bxg
kicking
cruel
substitute
like
intro-logo
Uraian

Kanina Adriana terkejut bukan main ketika ia mendapati pria lain duduk di hadapan penghulu. Pria yang beberapa menit lalu mengucapkan lafal akad nikah dan sah menjadi suaminya itu bukanlah calon suami yang selama ini ia ketahui. Pria itu adalah Ryan Emilio, seorang dokter spesialis anak sekaligus duda beranak satu yang harus rela menggantikan adiknya menikahi Nina. Atas dorongan, paksaan, dan permohonan dari berbagai pihak akhirnya pernikahan itu terjadi. Pada akhirnya, Ryan memilih untuk menerima pernikahannya dengan Nina yang usianya terpaut 15 tahun lebih mudah darinya. Namun ternyata tidak bagi Nina. Gadis itu berjanji akan membuat Ryan tidak betah menjadi suaminya.

Lantas, apa yang akan dilakukan Ryan dan Nina selanjutnya? Bagaimana perjalanan rumah tangga Ryan dan Nina yang diawali dengan keterpaksaan itu?

chap-preview
Pratinjau gratis
Bab 1. Suami Pengganti
“Kenapa aku bisa nikah sama Om, hah?!” Kanina Adriana, gadis berusia 21 tahun yang baru saja resmi menjadi istri Ryan Emilio itu menatap suaminya nyalang. Mereka baru saja menyelesaikan prosesi akad nikah dan sedang berada di dalam kamar hotel, beristirahat sejenak sembari menunggu acara resepsi pernikahan yang akan dilangsungkan malam ini juga. Ryan Emilio, dokter spesialis anak berusia 36 tahun itu menghembuskan nafas pelan. Melepas jasnya, gerah. “Jangan buka baju di sini!” seru Nina galak. “Aku cuma lepas jas, gerah,” bantah Ryan enteng. “Jawab, Om! Kenapa aku bisa nikah sama Om? Di mana Evan?” Ryan masih belum menjawab. Ia melepas dasinya, membuka kancing kemeja teratasnya, menggulung lengan kemejanya hingga siku. Lantas ia duduk di sofa, menatap Nina dingin. “Calon suamimu itu kabur ke New York,” ucapnya datar. “Apa? Jangan bohong, Om! Ini pasti akal-akalan Om supaya bisa nikah sama aku, kan?” Ryan tertawa sinis. “Kamu pikir kamu siapa sampai aku harus menikah sama kamu? Hanya karena kamu anak seorang direktur perusahaan ternama jadi merasa besar kepala?” Nina meradang. Ia menghampiri Ryan dengan cepat, mencengkram kerah leher pria jangkung itu. “Makanya kasih tahu aku, ke mana Evan? Kenapa tiba-tiba aku jadi istri Om?” Ryan mencengkram sepasang lengan kurus itu. Terasa begitu ringkih dan lemah dalam genggamannya. Namun sorot mata tajam Nina justru menunjukkan sebaliknya. Gadis itu mirip seekor kucing betina yang mengamuk di hadapan seekor singa jantan. “Pertama, jangan panggil aku ‘om’. Aku nggak setua itu, Nina.” Ryan menurunkan kedua lengan Nina. Mereka masih saling melempar tatapan tajam. “Kedua, di sini aku juga korban, aku dipaksa menggantikan Evan menikahimu hanya karena pernikahan antara keluarga kita tidak boleh batal. Dan marah-marah sepertimu nggak akan mengubah keadaan, Nina. Sekarang kita sudah jadi suami istri. Mau gimana lagi?” Wajah Nina semakin mengeras. Ia hendak menarik tangannya dari cengkraman Ryan, tapi gagal. Kekuatan Ryan jauh lebih besar darinya. “Ketiga, Evan kabur ke New York tengah malam tadi. Sekarang dia pasti sedang tidur di atas pesawat.” “Nggak mungkin!” “Jangan berteriak di depanku, Nina.” Tatapan Ryan berubah semakin tajam. Nina memutar bola matanya, tak peduli. “Keempat, kita nggak punya waktu buat bertengkar sekarang. Simpan tenagamu, sebentar lagi kita harus keluar lagi untuk menghadiri resepsi.” Ryan melepas kedua lengan Nina tiba-tiba, membuat gadis itu kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke d**a sang pria. Tangan Nina reflek menahan tubuhnya, Ryan menangkap pinggang ramping Nina, membuat gadis itu menahan nafas tiba-tiba. Wajah mereka terpaut amat dekat, hanya beberapa senti saja. Nina menggigit bibir dalamnya kuat-kuat, gugup setengah mati. Dari jarak sedekat ini, ia bisa melihat dengan jelas garis hidung Ryan yang tinggi dan mancung serta iris matanya yang kecokelatan. “Kelima, setelah kupikir-pikir, aku memilih menerima pernikahan ini daripada sibuk menentangnya terus-menerus. Percuma, sudah terjadi. Atau… kamu mau aku ceraikan sekarang juga? Lumayan bisa bikin kamu viral, janda di usia 21 tahun setelah menikah hanya beberapa jam saja.” Ryan menyeringai. Nina mendelik. Ia memukul d**a Ryan sekuat tenaga. “Aduh!” Ryan mengaduh kesakitan, memegangi dadanya. Nina sudah berdiri, menghunus tatapan tajam. “Lihat aja, aku bakal bikin Om nggak betah jadi suamiku!” Gadis itu melangkah pergi sambil menghentakkan kakinya. Namun baru saja ia membuka pintu dan hendak meninggalkan kamar itu, orang tua Nina sudah berdiri di sana. Donny –papa Nina dan Larissa –mama Nina sudah berdiri di ambang pintu. “Papa? Mama? Kenapa ke sini?” tanya Nina sambil segera memperbaiki ekspresi wajahnya. Belum sempat menjawab, orang tua Ryan juga ikut bergabung di sana. Nina menatap mereka bergantian, sedikit bingung karena tiba-tiba merasa dikeroyok begini. “Boleh kami masuk, Nak? Ada hal penting yang perlu kita bicarakan.” Larissa yang bicara, lembut dan ramah. Akhirnya Nina hanya bisa mengangguk lemah. Melebarkan pintu, menepi, dan membiarkan orang tua dan kedua mertuanya masuk. Ryan yang baru saja berganti baju jadi sedikit terkejut dengan kehadiran mereka. Untungnya ini kamar suite, di mana kamar tidur dan ruang tamu terpisah. Ia pun menghampiri orang tuanya dan orang tua Nina, menyalaminya satu persatu. “Papa!” Tiba-tiba seorang gadis kecil yang sejak tadi digandeng oleh Ayu – mama Ryan, berseru kencang. Kedua netra Ryan membulat, bibirnya merekahkan senyuman. “Anak Papa cantik banget sih?” pujinya sambil menggendong gadis kecil itu. Membawanya duduk di atas pangkuan. “Iya dong! Coba lihat, Riry pake pita warna pink!” Gadis kecil itu mulai berceloteh, menceritakan soal sepasang pita berwarna merah muda yang menghiasi kepalanya. “Cantik kan, Pa?” “Cantik dong! Anak siapa dulu?” Ryan menciumi pipi gembul putrinya, gemas. “Anak mama. Kata orang-orang kan Riry mirip mama?” Ryan tertawa lebar. Sebuah ekspresi yang amat berbeda dengan yang ia tunjukkan pada Nina tadi. Nina yang melihat pemandangan itu sedikit tertegun. Ia tahu bahwa Ryan sudah memiliki anak, ia juga pernah bertemu bahkan bermain dengan Riry beberapa kali. Tapi begitu menyadari bahwa ia akan menjadi ibu sambung untuk anak itu, seketika hatinya meringis. Apalagi saat mendengar Riry berceloteh bangga tentang kemiripannya dengan mendiang ibunya. “Duduk, Nak.” Larissa melambaikan tangan pada putrinya, menyuruhnya duduk. Nina segera berjalan mendekat. Ia celingukan mencari tempat duduk. Namun tak ada lagi ruang yang tersisa selain di sebelah Ryan. “Tante Nina!” Riry kembali berseru kencang saat Nina duduk di sebelahnya. “Tante Nina hari ini cantik deh, wajahnya didandani, pakai baju putih bagus. Tapi kenapa tadi Tante duduk di depan sama Papa? Kenapa Riry nggak boleh ke Papa? Emang kalian ngapain?” celotehnya riang. Nina terhenyak, ia bingung harus menjawab apa. Beruntung, kini namanya mulai disebutkan dalam pembicaraan serius itu. "Kapan-kapan deh Tante jelasin," jawab Nina asal. Tanpa ia tahu bahwa jawabannya barusan berhasil membuat Riry merengut kesal. “Kami minta maaf terutama sama Ryan yang terpaksa menikahi Nina, tapi seperti yang kamu tahu, pernikahan tadi tidak mungkin batal karena awak media sudah datang.” Larissa bicara sambil menghembuskan nafas berat, wajahnya tampak gundah. “Tapi sejujurnya aku lebih setuju Ryan menjadi menantuku daripada Evan,” sahut Donny tiba-tiba. Nina merengut seketika. “Kenapa?” Donny beralih menatap putrinya. “Dia lebih bisa mengayomi dan membimbingmu. Papa jadi lebih tenang karena bisa memasrahkan penjagaanmu pada Ryan. Kalau sama Evan, yang ada Papa akan makin kerepotan karena ulah kalian berdua.” “Papa pikir pernikahan ini apa sampai seenaknya mengganti mempelai pria? Papa bahkan nggak bilang dulu sama Nina sampai setelah akad nikah dan Nina keluar ternyata bukannya Evan, malah orang ini yang duduk di depan penghulu," ucap Nina bersungut-sungut. “Tunjukkan rasa hormatmu pada suamimu, Nina!” Donny menaikkan suara, matanya menyorot tajam. Nina mendengus, memalingkan muka. “Tenanglah, Don. Kita ke sini untuk berdiskusi dengan kepala dingin bukan marah-marah begini.” Surya, papa Ryan itu mengingatkan. Donny menghela nafas pelan. “Anak itu memang sulit diatur. Aku beruntung sekarang dia menikah dengan Ryan daripada Evan. Aku yakin Ryan bisa membimbingnya supaya lebih beradab.” Ryan tak merespons apapun. Ia hanya sibuk membelai rambut halus putrinya sambil sesekali melirik Nina yang masih merengut. “Ryan, Nina.” Surya memanggil sepasang pengantin baru itu, membuat keduanya menoleh. “Papa benar-benar minta maaf pada kalian berdua, pernikahan antara dua keluarga kita tidak bisa batal, Nak. Tolong pahami ini. Meski pernikahan ini diawali dengan hal yang sama sekali tidak terduga, Papa harap kalian bisa menjalaninya dengan bijak.” Hening sesaat. Semua orang menyimak dengan seksama. Bahkan Nina yang tadinya cemberut kini mulai memasang wajah datar. “Pernikahan ini semata-mata bukan untuk menyelamatkan muka kami yang sudah terlanjur membuat acara, tapi juga untuk menyelamatkan bisnis kami masing-masing. Nina, kamu tahu keluargamu bisa membantu bisnis kami yang sedang berada di ujung tanduk. Ryan, kamu juga tahu kalau keluarga kita bisa menjadi bantuan untuk melancarkan bisnis keluarga Nina. Jadi, selain karena awak media yang sudah terlanjur datang, pernikahan ini tetap berlangsung karena berbagai kepentingan.” Nina mengatupkan rahangnya kuat-kuat. Jika yang bicara itu adalah Donny, tentu Nina akan langsung membantah. Tapi kali ini yang bicara adalah Surya, papa mertuanya. Dengan kalimat yang tenang dan lembut pula. Ia jadi tak bisa melakukan apapun selain diam mendengarkan. Pembicaraan itu masih berlangsung hingga beberapa menit ke depan, membicarakan banyak hal. Termasuk kemungkinan Donny akan membangun sebuah klinik atau rumah sakit swasta dan meminta Ryan untuk mengelolanya. “Wah kalau untuk mengelola sebuah instansi pelayanan kesehatan, kayaknya saya perlu kuliah manajemen rumah sakit dulu, Pa.” Ryan berseloroh, tertawa pelan. Ia mulai membiasakan diri memanggil Donny dengan sebutan 'papa'. “Silakan kalau kamu mau, biar Papa yang biayain.” Donny menyambut dengan suka cita. Ruang tamu kamar hotel bertipe suite itu segera ramai oleh tawa. Mereka tampak telah berbaur dengan akrab, kecuali Nina yang kini mengepalkan tangan kuat-kuat. Kesal karena dirinya tampak tak dianggap sama sekali. “Awas aja, aku akan bikin om-om ini nggak betah jadi suamiku! Bodo amat deh jadi janda muda!” gerutunya dalam hati.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.5K
bc

My Secret Little Wife

read
98.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook