Di pagi selanjutnya, Tae Hwa terlihat duduk di teras rumahnya meski sudah mengenakan seragam sekolah. Tak seperti biasanya, tak ada lagi semangat perjuangan di wajah pemuda itu. Dan itu dikarenakan tetangga barunya yang memelihara seekor anjing.
Tae Hwa sedikit terlonjak begitu mendengar suara gonggongan anjing dari kejauhan. Sebegitu takutnya ia pada anjing hingga mendengar gonggongannya pun dia sampai terkejut. Tae Hwa tak begitu saja takut kepada anjing. Hal itu terjadi ketika dia berusia sepuluh tahun. Saat itu ayah Tae Hwa mengajak pemuda itu mengunjungi kuil yang berada di gunung Seorak. Dan saat berjalan-jalan di sekitar kuil, Tae Hwa diserang oleh anjing hutan lalu jatuh ke lereng yang cukup dalam. Saat itu Tae Hwa mendapatkan luka yang cukup serius. Dari situlah ketakutan Tae Hwa terhadap anjing mulai muncul. Tapi bagaimana jika ia tahu bahwa seekor anjing besar telah menunggu kedatangannya dalam waktu yang lama, akankah pemuda ini langsung berlari atau meringkuk ketika Shin Chang Kyun berhasil menemukan keberadaannya.
Helaan napas panjang Tae Hwa terdengar pagi itu. Dia kemudian bergumam, "kenapa anjing itu berbicara terlalu banyak di pagi hari?"
"Kau masih di sini?"
Tae Hwa segera menoleh ketika mendengar teguran dari arah belakang yang tidak lain adalah teguran dari ayahnya yang hendak pergi ke kantor.
Kita panggil saja dia Pak Kim—pria paruh baya yang merupakan seorang pekerja kantoran. Memiliki istri yang cantik dan membesarkan dua orang anak. Si sulung, si anak perempuan saat ini telah bekerja. Sedangkan si bungsu, si anak laki-laki saat ini tengah memandangnya dengan tatapan memelas.
Pak Kim menghela napas singkat dan menegur dengan malas. "Apa lagi sekarang? Kau ingin ayah mengantarmu sekolah? Bukankah kau selalu berangkat bersama Kang Min Soo?"
Tae Hwa tak menjawab, masih tetap memandang dengan tatapan yang sama. Dan seperti inilah kelakuan bandit yang sering berkelahi dengan anak-anak dari sekolah tetangga jika tengah menginginkan sesuatu. Dia akan menjelma menjadi anak anjing.
"Eih ... ya sudah, jika tidak ingin pergi ke sekolah, diam di rumah saja."
Tae Hwa menggerutu, "orang tua macam apa yang mendukung anaknya bolos sekolah."
"Jika kau tidak ingin menjadi orang bodoh, cepat berangkat sekolah sekarang. Ayah harus bekerja sekarang."
Pak Kim hendak pergi namun, tiba-tiba Tae Hwa memeluk salah satu kaki Pak Kim. Membuat sang ayah kembali berhenti.
"Apa yang kau lakukan sekarang?"
Tae Hwa mendongak. "Ayo kita pindah dari sini."
Pak Kim menghela napas kasar. Sejak kemarin putranya itu menyerukan ingin pindah dari komplek itu.
"Ke mana kau ingin pindah?"
"Ke manapun, di tempat yang aman dan tidak ada anjing."
"Kau kira berapa gaji ayahmu sehingga kau meminta untuk pindah rumah dengan seenaknya?"
"Ayah menjual rumah kita yang ada di Gwangju untuk membeli rumah di Seoul. Kita bisa menjual rumah ini dan membeli di tempat lain lagi."
"Aigoo!" Pak Kim memukul singkat kepala Tae Hwa. "Kau kira semudah membeli dan menjual? Jangan mengada-ngada. Lagi pula anjing tetangga kita cukup jauh, kenapa kau meributkan hal itu?"
Suara Tae Hwa sedikit meninggi, "jauh dari mana? Aku bahkan bisa melihatnya hanya dengan melongokkan kepalaku keluar."
"Kalau begitu tutuplah matamu ketika kau keluar."
"Ayah!" Tae Hwa mulai merengek dan terlihat dipaksakan. "Ayah tidak tahu betapa takutnya aku? Setiap waktu aku merasa terancam, aku berada dalam bahaya—"
Perhatian Tae Hwa teralihkan oleh panggilan masuk di ponselnya. "Sebentar," ucapnya, menunda keluh kesahnya untuk menerima panggilan dari salah satu temannya.
"Oh, Dong Ju. Kenapa meneleponku pagi-pagi?"
"Aku berada di depan rumahmu," sahut Dong Ju, benada dingin seperti biasa.
"Oh! Di mana?" Tae Hwa melepaskan kaki Pak Kim dan memandang depan rumahnya namun, tak melihat siapapun.
"Aku tidak melihat siapapun."
"Keluarlah."
Sambungan telepon terputus. Tae Hwa segera bangkit, membatalkan sebuah drama yang baru ia mulai di pagi hari.
"Aku pergi sekarang," pamit Tae Hwa yang kemudian meninggalkan Pak Kim.
"Dia pergi begitu saja?" heran Pak Kim.
Tae Hwa membuka gerbang rumah dengan rasa percaya diri yang tinggi. Namun, di langkah pertama yang ia ambil, dia kembali menjadi seorang pecundang. Merasa berat untuk melangkahkan kakinya, Tae Hwa terlebih dahulu melihat ke arah rumah tetangga barunya. Dan setelah memastikan bahwa keadaan sudah aman, Tae Hwa bergegas keluar. Dia kemudian berlari ke arah Dong Ju yang berdiri tidak jauh dari depan rumahnya.
"Dong Ju ..." seru Tae Hwa. Namun, alih-alih menghampiri Dong Ju, Tae Hwa justru melewati Dong Ju.
"Aku tunggu di depan komplek," teriak Tae Hwa sambil berlalu guna melarikan diri dari situasi yang menurutnya tidak aman baginya.
"Ya! Kim Tae Hwa! Kau sudah sinting!" teriakan itu berasal dari halaman rumah Kang Min Soo begitu ia melihat teman baiknya berlari seperti dikejar sesuatu.
~ ECLIPSE : IMOOGI'S REVENGE ~
Pagi itu tiga sekawan itu kembali berjalan beriringan dengan Tae Hwa yang selalu menjadi penengah antara kedua rekannya. Namun, kali ini Tae Hwa berjalan dengan gontai, sama sekali tak bersemengat.
Kang Min Soo yang sudah tidak tahan lagi pada akhirnya memukul bagian belakang kepala Tae Hwa.
Tae Hwa yang kaget langsung memegangi kepalanya dan menatap tajam. "Kenapa kau tiba-tiba memukul kepalaku?"
"Untuk menyadarkanmu," ucap Min Soo dengan tak acuh.
Tae Hwa balas memukul bahu Min Soo yang hanya membuat pemuda itu mengusap bekas pukulan Tae Hwa.
Min Soo kemudian berbicara, "lagi pula ada apa dengan cara berjalanmu? Ini masih pagi, tapi suasana hatiku menjadi suram hanya karena melihat wajahmu."
"Kau sudah bosan hidup!" gertak Tae Hwa.
"Kapan aku mengatakan bahwa hidupku membosankan?"
"Pikirkan saja sendiri." Tae Hwa memalingkan wajahnya yang tampak kesal.
"Kau bisa tinggal di rumahku jika mau," celetuk Dong Ju dengan nada dingin, karena seperti itulah cara pemuda itu berbicara selama ini. Sikap dinginnya justru berbanding terbalik dengan wajah manisnya.
Tae Hwa dan Min Soo langsung memandang rekan mereka itu. Min Soo kemudian menegur. "Kenapa Tae Hwa harus pindah ke rumahmu?"
"Dari mana kau tahu jika aku ingin pindah rumah?" sahut Tae Hwa.
"Kau ingin pindah rumah?" Langkah Min Soo tiba-tiba berhenti, dia langsung menarik bahu Tae Hwa hingga pemuda itu berbalik menghadap dirinya. "Tidak boleh!" ucapnya dengan tegas.
"K-kenapa? Kenapa aku tidak boleh pindah?"
"Setelah apa yang kita leeati bersama dan setelah semua yang aku berikan padamu, kau ingin mencampakan aku dan pergi ke rumah Dong Ju?"
Begitu mendramatis, beberapa pelajar yang mendengar ucapan Min Soo sempat menahan diri agar tidak menertawakan mereka. Sementara Tae Hwa memberikan tatapan menghakimi sebelum pada akhirnya menendang kaki Min Soo.
"Akh! Sakit!" rintih Min Soo, berjalan mundur sembari mengangkat salah satu kakinya.
"Memangnya apa yang pernah kau berikan padaku?" gumam Tae Hwa dengan memberikan penekanan pada kalimat yang ia ucapkan.
"Ya! Tega sekali kau mengatakan hal semacam itu padaku." Min Soo menggunakan jari telunjuknya untuk menunjuk Tae Hwa. "Kita sudah bersama bahwa saat kita masih berada di perut ibu kita masing-masing. Aku sudah meluangkan banyak waktu untukmu selama ini. Apakah itu masih kurang?"
"Aku lah yang harus meluangkan waktu untukmu, bodoh!" Seperti biasa, Tae Hwa selalu kehilangan kesabarannya setiap kali berdebat dengan Kang Min Soo.
Min Soo tertegun. "Kau? Bagaimana bisa?"
"Kau ... saat aku pindah dari Gwangju ke Seoul, kau juga ikut pindah ke Seoul. Bukan hanya itu! Kau bahkan membeli rumah di dekat rumahku. Aku yang pindah lebih dulu, kau lah yang mengikuti. Dasar penguntit."
"Apa? Aku?" Min Soo terlihat tak percaya. "Ya! Son Dong Ju, apakah aku terlihat seperti seorang penguntit?"
"Ya ampun, mereka mulai lagi?" bisik-bisik beberapa pelajar yang melewati mereka mulai terdengar.
"Aku kasihan pada Son Dong Ju. Bagaimana dia bisa terjebak di antara dua orang sinting itu?"
Tae Hwa berdehem, tiba-tiba saja suasana menjadi canggung. Dia kemudian memandang Dong Ju yang sedari tadi hanya berdiam diri menyaksikan keributan di hadapannya.
Tae Hwa kemudian menegur, "kau baik-baik saja, kan?"
"Lanjutkan saja jika belum selesai," sahut Dong Ju, tampak tak masalah dengan apapun yang dilakukan oleh kedua rekannya.
Min Soo kembali menyahut dengan nada bicara yang normal. "Tapi kenapa kau ingin pindah?"
Tae Hwa menjawab dengan nada normal pula. "Aku merasa bahwa pemukiman itu sudah tidak aman lagi."
"Kenapa? Apa karena anjing tetangga baru kita?"
Wajah Tae Hwa mengernyit, dia kemudian menjawab dan melanjutkan perjalanan mereka yang sempat tertunda. "Apa lagi? Setiap waktu aku merasa bahwa hidupku terancam. Bagaimana jika tiba-tiba anjing itu datang ke rumahku?"
"Kau hanya perlu membukakan pintu," celetuk Min Soo dengan santai.
Tae Hwa menatap tajam. Namun, Min Soo hanya membalas dengan seulas senyum lebar.
Tae Hwa kemudian menyampaikan keluh kesahnya. "Kenapa harus ada anjing di dunia ini? Itu sangat merepotkan."
"Bukan anjingnya yang bermasalah, tapi dirimulah yang bermasalah," Min Soo kembali menyahut dengan nada bicara yang sama.
"Penawaranku masih berlaku," Dong Ju menengahi.
Tae Hwa menyahut, "kau tinggal sendirian?"
"Ada seorang Hyeong yang tinggal di sana."
"Kakakmu?" sahut Min Soo.
"Sepertinya begitu."
Tae Hwa tiba-tiba teringat sesuatu. "Ah, benar sekali. Sejak kita berteman, kami tidak tahu di mana rumahmu. Sebenarnya di mana kau tinggal?"
"Penthouse tiga puluh lantai."
Tae Hwa dan Min Soo seketika menghentikan langkah mereka dengan wajah yang tampak tertegun. Dan Dong Ju yang menyadari hal itu pun turut menghentikan langkahnya.
"Ada apa?" tegur Dong Ju.
"Kau tinggal di Penthouse?" tanya Min Soo.
"Di lantai berapa?" sahut Tae Hwa.
"Lantai tiga puluh."
Tae Hwa dan Min Soo kemudian memunggungi Dong Ju dan berbicara dengan suara berbisik.
"Sudah aku duga, benar apa yang aku katakan dulu. Dong Ju pasti anak orang kaya," ucap Min Soo.
"Tinggal di Penthouse lantai tiga puluh. Ayahku pernah mengatakan bahwa lantai paling atas adalah unit yang paling mahal. Dia lebih kaya dari pada kita."
"Dia seorang bangsawan. Orang tua kita hanya pekerja kantoran, bagaimana bisa membeli satu unit Penthouse?"
"Tapi kita tidak begitu miskinn, kita hanya sederhana."
"Kau ingin melihat rumahku?" Dong Ju menengahi.
Kedua pemuda itu lantas kembali berhadapan dengan rekan mereka. Namun, wajah keduanya kini terlihat sedikit canggung.
"Jika kau tinggal di Penthouse, kenapa kau naik bus saat pergi ke sekolah?" tanya Tae Hwa.
"Aku tidak memiliki mobil."
"Bagaimana dengan kakakmu?" Min Soo menyahut.
"Dia orang yang sangat sibuk. Kau ingin melihat rumahku?"
"Kau hanya mengajak Tae Hwa?" protes Min Soo. "Ada dua orang di sini tapi kau hanya menawarkan pada satu orang. Apakah aku tidak dianggap dalam pertemanan ini?"
"Kau bisa ikut jika mau? Mau pergi bersama setelah pulang sekolah?"
Tae Hwa dan Min Soo saling bertukar pandang, mencoba menyatukan pikiran keduanya hingga sebuah anggukan dari keduanya menjadi keputusan akhir.
"Jika itu tidak merepotkan, aku akan pergi."
"Aku juga," sahut Min Soo. "Kapan lagi aku melihat isi dari Penthouse tiga puluh lantai secara langsung.
"Jangan kampungan," tegur Tae Hwa.
"Kita memang lahir di Gwangju."
"Gwangju juga salah satu kota besar."
"Tapi kita lahir di desa."
"Maka dari itu jangan bersikap kampungan."
"Mau bagaimana lagi? Ini sifat bawaan dari lahir."
"Kau selalu mengatakan alasan yang tidak masuk akal."
"Kalau begitu aku harus mengatakan apa?"
Terjadi lagi. Seperti itulah Kim Tae Hwa di era modern ini. Jika tidak berkelahi dengan pelajar dari sekolah tetangga, dia akan bertengkar dengan Kang Min Soo. Dan Son Dong Ju selalu berperan sebagai pengawas.
Sungguh kehidupan yang jauh berbeda di jalani oleh Kim Tae Hwa. Dari sudut manapun, sifat Kim Tae Hwa sangat berbeda dengan sifat Yi Tae Hyung dari Joseon dan Wang Hee Seung dari Goryeo. Seakan ia yang tak ingin mengulangi takdir yang sama dengan dua kelahirannya terdahulu. Di kehidupan yang ketiganya, Kim Tae Hwa benar-benar terlahir menjadi sosok yang berbeda.
~ ECLIPSE : IMOOGI'S REVENGE ~