Ikhtiar Perbaikan dan Perubahan Jalan Memasuki Abad Kedua NU
Setelah hampir satu abad berkhidmat, NU sebagai jamiyah ulama membutuhkan kader penerus ulama guna menjalankan risalah para Nabi dan utusan-Nya, khususnya dalam membersamai umat dalam menjalankan ketaatan dan menjauhi maksiat, agar kehidupan umat senantiasa mendapatkan rahmat dari Allah Taala.
Dalam memasuki abad kedua, adalah melintasi ruang dan waktu dimana sudah satu Abad dilewati serta ruang waktu Abad mendatang akan dilewati.
Perjalanan NU yang riuh rendahnya lahir sejak 1926 ini tak lepas dari politik kebangsaan dalam bingkai akhlus sunnah wal jamaah.
Dalam perjalanannya selanjutnya, bisa dibilang NU tidak bisa lepas dari pesantren.
Karena itu Mustasyar PBNU almarhum almaghfurlah KH Dimyati Rais pernah berpesan bahwa menghidupkan NU harus menghidupkan pesantren. Hal senada juga disampaikan oleh KH Nurul Huda Jazuli bahwa berkhidmat pada NU adalah berkhidmat pada pesantren sebagai lembaga yang menghidupkan ilmu-ilmu agama atau ulumaddin.
Dalam pembukaan Konferensi Besar (Konbes) NU di Jakarta bulan Mei 2022 yang lalu, Mustasyar PBNU KH Musthofa Bisri juga menyampaikan bahwa jamaah dahulu tidak menanyakan dalil kepada para kiainya, karena apa yang dikerjakan oleh ulama terdahulu merupakan implementasi dari dalil-dalil itu. Nah, sekarang ini apakah kiai-kiai mampu menjadi dalil yang mudah dipahami oleh jamaah dalam kehidupan sehari-hari?
Memasuki abad kedua NU, nampak terjadi perubahan di segala bidang kehidupan yang tak terelakkan. Ideologi, ekonomi, politik, dan sosial budaya sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam mengantisipasi perubahan tersebut, NU memiliki prinsip yang lentur, yakni menjaga nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik. Guna menjalankan prinsip ini, pesantren juga mengalami perubahan, sehingga terdapat pesantren yang tetap mengajarkan kitab-kitab ulama asssalafu shalih juga mengajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan membuka program pendidikan kurikulum yang ditetapkan pemerintah.
Karenanya Wakil Presiden RI, KH Makruf Amin yang juga Mustasyar PBNU telah berpesan dalam memaknai khittah NU itu dengan kerangka langkah perbaikan-perbaikan.
Bagaimana menjadikan potensi yang dimiliki NU itu menjadi sebagai lokomotif gerakan perbaikan, sebagai lokomotif al-harakatul ishlahiyah di semua aspek, sehingga dia bukan merupakan kekuatan yang hanya terkumpul tapi tidak memberikan dampak dinamika terhadap perbaikan-perbaikan, tetapi dia justru bagaimana bisa menjadi kekuatan itu lokomotif penggerak di berbagai sektor,” ujar Wapres.
Wapres mengatakan NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia memiliki banyak ulama dan cendekiawan yang berdaya saing secara nasional maupun internasional. Hal tersebut merupakan kekuatan serta potensi yang harus dikelola dengan baik.
Wapres menyampaikan, mengutip pernyataan Hadlratus Syekh Hasyim Asy’ari, NU adalah jam’iyyatu ishlahin, organisasi perbaikan. Sehingga NU merupakan sebuah gerakan ulama dalam menuntun umat ke arah kebaikan di berbagai bidang.
“Nahdlatul Ulama adalah gerakan ulama dalam memperbaiki umat, baik menyangkut masalah keagamaan maupun masalah kemasyarakatan. Kemasyarakatan tentu menyangkut soal ekonomi, budaya, soal politik, dan semua aspek kemasyarakatan,” papar Wapres.
Oleh karena itu, Wapres berharap kepada para pemimpin NU di setiap tingkatan untuk dapat menjadi dinamo penggerak yang akan membawa seluruh jaringan NU baik di Indonesia maupun di luar negeri untuk menjadi penggerak di semua tingkatan.
“Itu arti dari pada Nahdlatul Ulama itu kebangkitan ulama. Sebab kalau tidak terjadi gerakan itu bukan Nahdlatul Ulama lagi namanya, tapi sukutul ulama, diamnya ulama,” ujar Wapres.
Persoalan yang dihadapi dalam mengajarkan kedua hal tersebut bukan persoalan mudah, karena pendidikan bukan semata-mata transfer ilmu pengetahuan, melainkan juga sikap (adab, akhlak yang terpuji, dan pengamalan nilai-nilai Islam), dan keterampilan. Ditambah lagi, sekarang ini sulit ditemui ulama yang memiliki kapasitas ilmu pada semua bidang kehidupan seperti pada generasi ulama terdahulu yang baik.
Yang ada sekarang adalah spesialisasi disiplin keilmuan tertentu sesuai bidang studinya. Hal ini juga berdampak pada pemahaman umat pada Islam. Katakanlah, mereka yang ahli tentang ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak banyak memahami tentang ilmu-ilmu keislaman. Dan sebaliknya mereka yang ahli dalam ilmu-ilmu keislaman, tidak mahir dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.
Padahal kedua ilmu tersebut bersifat saling melengkapi dan sama-sama dibutuhkan oleh umat dalam kehidupannya. Barangkali inilah kebutuhan NU dalam memasuki abad kedua, agar mampu eksis berkhidmat kepada umat, bangsa, dan negara.
Tantangan Abad kedua, mensinergikan potensi internal NU untuk menjawab tantangan kebutuhan jaman, ini telah dijawab oleh kalangan pengurus di berbagai tingkatan dengan memajukan sektor pendidikan (ma'arif) dari pendidikan dasar sampai kampus perguruan tinggi. Ini merupakan salah satu yang membanggakan, karena NU paling tidak sudah mengkader ummat terdidik untuk menjawab tantangan keummatan yang lebih besar yakni bangsa dan negara bahkan tingkat global.
NU secara keagamaan tak bisa lepas dari pesantren. Namun secara organisatoris, NU juga mendidik sendiri kadernya untuk mengemban amanah organisasi menjadi organisasi keagamaan yang modern, akuntable dan mandiri.
Peta Jalan NU Abad Kedua, telah coba ditelaah sedari awal oleh puluhan bahkan ratusan aktivis NU.Mereka sudah berupaya meluruskan cara pandang dalam meneropong dimensi waktu. Dalam dua-tiga tahun terakhir, bahkan sejak Muktamar ke-33 NU di Jombang, semangat menyongsong satu abad NU telah didengungkan.
Pada Buku Peta Jalan NU Memasuki Abad Kedua NU, Buku ini mengingatkan, disongsong atau tidak, satu abad NU pasti datang. Jadi bukan menyongsong miladnya yang selalu seremonial itu. Yang lebih penting adalah bagaimana perkhidmatan NU di abad digital nanti terorganisasi lebih sistemik lagi.
Buku setebal 194 halaman ini merupakan ringkasan hasil diskusi panjang tokoh-tokoh NU generasi kedua. Yakni mereka yang telah mengikuti perjalanan jamiyah ini sejak 40 atau 50-an tahun yang lalu.
Yang hingga saat ini masih konsisten menjaga nafas perkhidmatan NU. Mereka antara lain Ahmad Bagdja, Mustofa Zuhad, Maskuri Abdillah, Masduki Baidlowi, Endin Soefihara, Nasihin Hasan, dan yang lain.
Beberapa gagasan dan elaborasi penting disajikan antara lain; terkait upaya pengembangan organisasi dan reorganisasi yang berorientasi tidak lagi pada pendekatan geografi melainkan pendekatan komunitas.
Struktur organisasi NU saat ini secara hierarkis-demorafis mengikuti pola pemerintahan negara. Secara pararel dapat dilihat, NU berkantor pusat di Jakarta. Membawahi seluruh wilayah di Indonesia. Pengurus wilayahnya berkantor pusat di ibukota provinsi, dan seterusnya ke bawah.
Pertanyaannya, apakah NU akan berkhidmat dalam kerangka sistemik yang sama persis dengan pemerintah? Dengan mengikuti model hierarki pemerintahan yang rentang kendalinya sangat panjang ini, sementara SDM dan pendanaan yang dimiliki relatif terbatas. Dengan pola hierarki ini, efektifkah NU selama ini menjalankan tugas pokok dan fungsinya?
Di sinilah reorganisasi NU dibutuhkan. Pengembangan struktur menurut buku futuristik ini, ke depan perlu mempertimbangkan dinamika stakeholders yang semakin terdiferensiasi seiring perkembangan zaman. Contoh, dinamika masyarakat urban yang tumbuh di perkotaan sudah mengalami diferensiasi yang semakin rumit. Ada masyarakat industri perkotaan seperti kalangan perbankan, kalangan industri kreatif dan jasa,7 yang pertumbuhannya sangat pesat.
Ini semua sangat memerlukan pendekatan khusus. Dalam arti pengorganisasian tidak cukup hanya dengan pendekatan geografi. Tetapi perlu juga mempertimbangkan pengembangan struktur organisasi di komunitas-komunitas baru sesuai dengan perkembangan masyarakat urban, yang sangat dinamis, yang tak bisa dijangkau oleh eksistensi struktur organisasi yang terlalu administratif seperti pemerintahan negara.
Terawangan penting lainnya, ke depan NU harus berjejaring dan berinteraksi dengan komponen potensial yang lebih luas lagi, baik di tingkat domestik maupun internasional. Selama lima belas tahun terakhir tidak dapat dipungkiri terjadi interaksi yang semakin meningkat antarorganisasi dari berbagai jenis dan bidang. Berbagai perkumpulan, yayasan, jaringan kerja, perhimpunan, lembaga bantuan, kelompok hobi, bahkan instansi dan perusahaan swasta telah memperluas jangkauan kegiatan mereka ke bidang yang selama ini hanya menjadi trade mark kegiatan klasik organisasi nirlaba.
Dalam perkembangan situasi ini, akan muncul berbagai lembaga, instansi pemerintah maupun swasta yang bakal mengincar kompetensi, expertise dan waktu pengurus NU yang sangat berharga. NU tidak mungkin mengelak dan harus berjejaring dan bekerjasama dengan pihak tersebut. Sebab jika tidak, NU akan merasakan kesulitan menghadapi ragam persoalan kemasyarakatan secara sendirian di zaman yang semakin multidimensional itu.
Jadi pilihannya, NU harus aktif masuk ke wilayah sistem yang lebih besar, baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi, nasional, maupun internasional. Ketidaksiapan masuk ke wilayah sistem yang lebih besar ini akan membawa NU hanya pada saling ketergantungan dalam berbagai dimensi. Kekurangan di daerah dilimpahkan ke pusat, kelemahan di pusat dilemparkan ke daerah, dan seterusnya. Inilah situasi yang amat sangat tidak boleh terjadi. Situasi yang menempatkan NU menjadi bagian dari suatu kesatuan sistem, dimana NU akhirnya hanya menjadi sub-sistem.
Persoalan di atas kini mulai terjawab dengan tampilnya tokoh perubahan yakni KH Yahya Cholil Staquf pada Mukramar 34 di Lampung.
Ada perubahan besar di tubuh NU. Organisasi sosial kemasyarakatan yang selama ini dikategorikan sebagai ormas Islam tradisional itu telah menunjukkan gestur baru, tradisi baru, dan tata kelola baru.
Perubahan itu terlihat setelah Muktamar NU di Lampung memilih KH Yahya Cholil Staquf menjadi Ketua Umum PBNU. Geliat perubahan itu semakin terlihat dalam Rakernas dan Pengukuhan Pengurus Lembaga/Badan Khusus PBNU di Cipasung, Tasikmalaya.
Meski berlangsung di pondok pesantren yang berada di pelosok, namun kegiatannya sangat serius. Agenda rapat selalu dimulai tepat waktu. Ketika pembahasan belum selesai, rapat bisa berlanjut hingga tengah malam. Disiplin dan serius.
Jika biasanya rapat PBNU atau agenda besar NU diisi pembicara stakeholder strategis dari luar NU, kini tidak. Materi program kerja telah disiapkan dengan matang sehingga rapat itu tinggal pembahasan, pendalaman, dan penetapan.
Mengikuti Rakernas PBNU kali ini tak ubahnya seperti mengikuti Musrenbang yang diselenggarakan pemerintah. Terorganisir dengan baik, materi disiapkan dengan matang, diikuti para pengurus baru dengan latar belakang dan penampilan yang beragam.
Ada dua pendekatan untuk melihat perubahan ini. Pertama, dengan melihat gaya dan tipe kepemimpinan Gus Staquf –panggilan akrab KH Yahya Cholil Staquf. Kedua, dengan melihat pergeseran basis sosial dan lingkungan warga Nahdliyin.
Ketua Umum PBNU yang menggantikan KH Said Aqil Siraj ini adalah bagian dari generasi baru NU yang tidak hanya mendapat sentuhan pendidikan pesantren. Ia juga memperoleh pendidikan umum yang tentu mempengaruhi cara dia dalam memandang masalah dan cara memecahkannya.
Gus Staquf adalah cucu dari salah satu pendiri NU KH Bisri Mustofa. Seperti Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), ia menjalani masa remajanya di Yogyakarta. Sambil mondok di Krapyak, ia mengambil pendidikan umum di SMA Negeri I Yogyakarta. Lalu meneruskan studi sosiologi di Fisipol UGM.
Ketika Gus Dur menjadi presiden, ia salah satu juru bicaranya. Meski menjadi kader PKB, ia belum pernah menjadi pejabat politik karena keterlibatannya di partai. Gus Staquf sempat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Joko Widodo.
Pendidikan umumnya telah memperkaya pisau analisisnya tentang segala sesuatu. Juga telah memperluas spektrum pergaulannya. Tidak terbatas di dunia pesantren. Tapi juga lintas profesi, kelompok masyarakat, dan lintas golongan serta agama.
Rapat kerja PBNU pun seperti Musrenbang di lembaga pemerintahan. Menjadi tempat menggodok rencana strategis, program aksi, tata kelola pelaksanaan, dan monitoring serta evaluasinya. Mengadopsi tata kerja modern yang terstruktur dan terukur.
Ini bisa terjadi karena makin banyak pemimpin NU yang memiliki kemampuan teknokratis. Mereka sudah terbiasa mengelola organisasi dengan perencanaan yang kuat, target capaian yang jelas, dan instrumen evaluasi dan monotoring yang terukur. Masing-masing memiliki KPI (Key Performance Index) yang telah disepakati bersama.
Akankah perubahan gestur dan wajah kepengurusan NU ini membuahkan hasil? Bagaimana wajah NU ke depan dengan kepemimpinan seperti ini? Tentu masih perlu waktu untuk melihat hasilnya. Yang sudah pasti, menjadi tak relevan lagi membedakan Islam di Indonesia ke dalam kategori Islam Tradisional dan Islam Modern.
Yang juga pasti, NU sebagai organisasi Islam raksasa telah menggeliat dalam merespon perubahan dunia yang begitu cepat. Ia ingin menjadi organisasi atau jam’iyah yang luwes (fleksibel) dan tangguh (resillience) untuk menjadi bagian dari pembentuk peradaban. Bukan hanya obyek peradaban.
NU tak ingin menengok ke belakang. Apalagi menarik kembali ummat Islam ke dalam peradaban awal ketika Islam diturunkan di tanah Arab. Seperti yang dilakukan sekelompok ummat Islam yang kini mengkampanyekan hal itu secara massif di bumi Indonesia.
NU di bawah kepemimpinan Gus Staquf ingin menatap ke depan. Membangun peradaban baru dunia yang damai dan maslahat bagi ummat manusia.
(****) Aji Setiawan, mantan anggota Litbang PMII Cabang Yogyakarta 1999-2002
Simpedes BRI 372001029009535