BAB 2

1103 Words
Linggar berjalan menuju lobby, ia tahu bahwa kantor ini adalah kantor abang iparnya Tibra. Linggar menempelkan ponsel di telinga kiri. Ia menunggu Dian mengangkat ponselnya. Sedetik kemudian sambungan terangkat. "Iya Ling," "Gue udah di kantor lo," ucap Linggar. "Kan gue udah bilang, gue masih kerja gimana sih lo," "Ya, minta ijin keluar bentar lah, kalau ke sorean enggak bisa, gue mau persiapan ngevlog," "Atasan gue galak tau, enggak bisa," "Lo bagian apa sih," ucap Linggar penasaran. "Gue sekretaris," "Sekretaris," Linggar lalu menekan tombol merah pada layar. Mematikan sambungan ponselnya. Linggar terus berjalan menuju salah satu ruangan yang ia hafal betul di mana letak ruangan itu. Ia tahu yang di maksud Dian atasannya yang galak itu adalah Tibra. Linggar mamadang pintu beretalase kaca, dan membuka hendel pintu. Linggar memandang seorang wanita, yang berjalan mendekati arah pintu. Wanita berparas cantik itu menghentikan langkahnya, dan mungkin terkejut atas kehadiran dirinya. Dian tadi sempat ingin memarahi orang yang masuk tanpa diundan. Ia tidak percaya bahwa yang ada di hadapannya adalah Linggar. Linggar terlihat seperti anak ABG itu masih berseragam perawat kebanggaanya. Dian dengan cepat menghampiri Linggar, yang masuk seenaknya udelnya. "Lo kok bisa tau ruangan gue," ucap Dian pelan, nyaris berbisik. Masalahnya di dalam ada Tibra atasannya. Tibra bisa marah besar,  Ia tidak ingin di pecat hanya gara-gara bocah satu ini "Tau dong, gue udah pernah berapa kali ke sini," ucap Linggar santai. Dian mengerutkan dahi, "Ngapain lo ke sini," "Ngantarin makanan sama atasan lo, soalnya waktu itu bekal makananya ketinggalan gitu deh," Dian lalu berpikir cepat dan ia menepuk jidatnya. Ia pernah membayangkan sebelumnya bahwa wajah Linggar, mirip dengan Hanum. "Jangan bilang kalau lo adiknya Hanum,"  "Lo kenal kakak gue," "Kenal dong, dulu kan kerja di sini,"  Tibra mendengar percakapan dua orang wanita di sana, ia lalu keluar dari ruangannya, ia ingin tahu siapa tamu yang datang. Alis Tibra terangkat, memandang adik iparnya di sana. "Linggar," ucap Tibra. "Eh mas," Linggar kikuk. "Tumben bener kamu datang ke sini," Tibra memperhatikan penampilan Linggar, yang masih berseragam putih kebanggaanya, ia yakin bahwa adik iparnya itu tidak pulang ke apartement. "Dian temen aku mas,"  "Owh, jadi kalian temenan," "Udah lama mas, aku temenan sama Dian. Aku baru tahu, bahwa Dian ternyata kerja sama mas," "Ya, terus kenapa kalau Dian teman kamu," Tibra melipat tangannya di d**a, ia tahu bahwa sang adik ipar pasti akan membuat ulah lagi. Linggar mendekati Tibra, memasang wajah memelas, "Mas, aku pinjam Dian ya," "Pinjam kemana?" Tanya Tibra. "Pinjam mau ngajak ke mall," "Sorean kan bisa, ini masih siang juga,"  Tibra melirik jam melingkar di tangannya menunjukkan pukul 13.12 menit. Dian mendengar itu hanya bisa diam, biarkan mereka saja berbicara. Baginya Linggar sungguh berani, dengan Tibra yang terkenal dengan tidak punya hati itu. "Enggak bisa mas, jam tujuh nanti aku harus buat ngevlog, untuk brand terbaru aku," Tibra tahu bahwa adik iparnya kini sepertinya sudah menikmati perannya sebagai Vlogger. Ia yakin sebentar lagi Linggar akan menjadi artis, dengan bermodal wajah cantik yang di milikinya. Setidaknya Linggar sudah menjadi jati dirinya. "Ke mall kamu mau beli apa?" Tanya Tibra penasaran. "Beli kado buat temen aku yang mau nikahan," "Teman kampus kamu yang nikah?" "Bukan mas, tapi teman ngumpul jaman dinosaurus," Tibra menyungging senyum, teman macam apa yang di maksud jaman dinosaurus, "Kamu dari kampus langsung ke sini," ucap Tibra, "Iya mas," "Enggak ganti baju dulu," "Ya, biarin aja lah, aku kan emang perawat mas,"  Linggar melirik Tibra, "Mas, Linggar pinjam Dian nya ya, pliss," "Iya boleh," "Tapi nanti jangan marahin Dian," ucap Linggar lagi, ia tahu bahwa Tibra emang terkenal tidak berperikemanusia ketika di kantor, itu juga ia mendengar dari saudaranya Hanum. "Ya, enggaklah, ngapain dimarahin kalau enggak salah," "Takutnya kan, karena aku ngajak Dian pergi gini," "Iya, enggak apa-apa pergi aja," "Mas baik deh," "Kamu ada uang?" Tanya Tibra mencoba memastikan Linggar tidak kekurangan apapun. "Mas mau ngasi aku uang?" Ucap Linggar tidak percaya, sungguh ia senang ketika abang iparnya menawarkan secara cuma-cuma. "Kalau kamu mau," ucap Tibra. "Mau mas," ucap Linggar, tanpa berpikir dua kali. "Yaudah ikut mas," Tibra lalu, melangkah masuk ke dalam ruangannya, di ikuti oleh Linggar dari balakang. *** "Lo di kasih berapa sama abang ipar lo," tanya Dian penasaran, ia memasang sabuk pengamannya. "Lumayan, dikasih dua juta," Linggar menghidupkan mesin mobil meninggalkan area kantor. "Baik banget," "Entahlah mimpi apa abang ipar gue, tumben bener mau ngasi gue duit," "Mungkin diliatnya lo mau belanja, jadi dikiranya enggak ada duit," "Sebenarnya gue tadi mau bilang kurang. Tapi kakak gue galak, enggak jadi deh, takut dia marah," ucap Linggar. Dian mengerutkan dahi, menoleh ke arah Linggar, "kakak lo galak," "Banget, gue juga pernah di gampar," "Kok bisa," ucap Dian. "Bisa lah, gue juga sih yang salah," "Lo salah kenapa?" "Gue sebenarnya salah jurusan, tau lah lo, saking pengennya gue kuliah di Jakarta, gue asal sebut aja, gue mau kuliah perawat, gue bawa aja brosurnya sama kakak gue, kebetulan banyak yang sosialisasi gitu di sekolah gue dulu," "Setelah itu, gue ikut tes, gue lolos dan gue kuliah deh. Baru beberapa bulan gue asrama. Gue udah enggak betah, lo tau lah gue enggak suka kotor, teman-teman gue juga enggak suka sama gue, mungkin gue kelewat bersih. Gue ngadu sama kakak gue, bahwa gue pengen pindah kampus, tapi kakak gue marah habis-habisan sama gue. Gue frustasi, gue mau pindah dari asrama, bila perlu keluar dari kampus," "Terus setelah itu," tanya Dian penasaran. "Kebetulan gue kenal sama si b******k itu," "Darka maksud lo," "Iya, gue cerita sama dia apa yang gue alami, kebetulan kita lagi dekat waktu itu. Darka ngajak gue ke tinggal sama dia di New York," "Lo mau," "Mau lah, gue yang dari kampung Yan, di Jakarta aja gue belum kemana-mana, siklus gue hanya kampus doang. Tau-tau ada yang ngajakin ke New York. Ya, enggak gue tolak lah, kesempatan enggak datang dua kali. Semua dia yang ngurus keberangkatan gue," "Gila lo, pantas aja kakak lo marah, lo di bawa lari sama Darka," Linggar hanya terkekeh, mengingat itu, "Akhirnya, kakak gue tau kalau gue ke New York, dan gue di gampar deh," "Terus si Darka," "Babak belur, ditinju sama abang ipar gue," ucap Linggar. "Gila, diam-diam gini, ternyata lo nakal. Lo punya jiwa pemberontak, parah," "Biasalah," "Sekarang lo betah kuliah di sana?" "Ya, dibetah-betahin, lagian udah hampir selesai juga, gue udah dinas, sekarang gue juga udah nyusun karya tulis ilmiah, hampir selesai," ucap Linggar. "Terus lo mau jadi perawat?" "Enggak, gue cuma hargai kakak gue aja, yang udah biayain kuliah gue. Kalau gue mau jadi artis lah," ucap Linggar sambil terkekeh. "Ya, lo emang cocok jadi artis sih," Dian membenarkan. "Ngomong-ngomong kita mall mana nih," ucap Linggar. "Yang deket aja, taman anggrek," "Oke," ucap Dian. **********
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD