Hari ini, Naya sudah siap dengan seragam sekolahnya, hanya tinggal menunggu Dinda yang dibantu Bu Rena memakai baju dan memasukkan bekal makan siangnya.
"Kamu duluan aja, Nay. Biar Mama yang anter Dinda." Bu Rena muncul dengan menggandeng Dinda di sebelahnya.
"Ini mama serius? Bukannya mama harus ke kedai?" Naya tahu betul kesibukan Bu Rena di kedai mereka. Bahkan saat Minggu, pun, mereka enggan nutup kedai karena terlalu suka dengan hobby yang menghasilkan, itu kata mereka, Bu Rena dan Pak Leo saat Naya bertanya kenapa ga pernah nutup kedai barang sehari.
"Iya, Nay. Mama dapet surat dari sekolah, katanya adik kamu di daftarin lomba cerdas cermat se-jabodetabek. Mama suruh dampingi."
Hmmm ... Pantas saja.
Naya pun bergegas pergi setelah semua perlengkapan sekolahnya sudah dia bawa semua.
Seperti biasa, dia harus berjalan kaki beberapa meter masuk ke gang untuk sampai ke sekolahnya.
Saat masuk ke gang yang memang selalu sepi saat pagi begini, Naya merasa bahwa ada yang mengikutinya di belakang. Dia mempercepat langkahnya sebab takut kalau yang mengikutinya adalah orang jahat.
Eh, pasti orang jahat lah. Mana ada orang baik ngikuti orang lain diam-diam.
Ahhh ... Naya takut orang itu berniat jahat padanya.
Dia semakin mempercepat langkahnya, lalu saat dia menemukan tempat persembunyian, dia menghentikan langkah, sengaja berbalik badan ke belakang agar penguntit itu ngumpet dan Naya bisa punya kesempatan masuk ke persembunyian.
Tap ... Naya berhasil mengelabui penguntit di belakangnya.
Jadi benar-benar ada yang ngikutin aku?!
Naya memerhatikan sosok bermasker dengan topi bergambar tengkorak di kepalanya yang menoleh ke kiri ke kanan.
Saat itulah Naya keluar dari persembunyiannya dan menarik topi yang bertengger di kepala penguntit itu. Pun, Naya menarik paksa masker yang juga menutupi wajahnya.
"K_kamu?" Naya tak habis pikir dengan orang yang katanya terkenal ini.
Rupanya Ansel-lah yang mengikuti Naya sejak tadi.
Ansel menggaruk kepalanya yang tak gatal sama sekali. Dia ketahuan sekarang. Ah, padahal sedikit lagi dia akan tahu sekolah perempuan yang baginya limited edition ini.
"Hehehe, Sorry. Aku tuh habis syuting tapi gabut. Jadi aku mutusin buat jalan-jalan. Eh, liat kamu lagi jalan sendirian." Ansel membela diri. Tentunya dia hanya mengarang cerita.
Sebuah kebetulan gitu?
Ah, terserah dia lah. Aku udah telat!
Naya berlari tanpa menjawab Ansel. Sedangkan Ansel yang lebih tinggi jauh dari Naya hanya berjalan santai dengan memasukkan tangannya ke saku celananya mengikuti Naya dari belakang.
Tak lupa, dia memakai lagi topi dan masker yang dicopot Naya tadi.
"Ohhh ... Dia sekolah di situ?" Ansel bergumam saat melihat Naya masuk ke gerbang sekolah yang di papan dekat gerbang bertuliskan SMA Negeri Harapan.
Naya sudah hilang, berbaur dengan murid yang lain di dalam gerbang.
"Mas ada kepentingan apa?" Satpam sekolah menyapa Ansel yang berdiri di depan gerbang. Mencurigakan sebab memakai penutup wajah.
Bisa aja, kan dia penculik yang suka jual organ?!
Ansel tak menjawab, dia langsung mundur malas sekali kalau urusannya jadi panjang karena harus berurusan dengan satpam sekolah.
Ansel memilih berbalik badan, urung ke sekolah. Tapi meski begitu, misinya sudah berhasil, mengetahui tempat sekolah perempuan limited edition-nya.
****
Naya sudah sampai di kelasnya. Dia langsung disambut oleh si ratu heboh Intan yang disampingnya ada si pelit ngomong, Bian.
"Tumben Naya hampir telat, biasanya selalu duluan dari kita-kita. Ya, kan, Bi?" Intan menyenggol lengan Bian yang seperti biasa hanya bengang-bengong kalau diajak ngobrol.
"Hmmm," sahutnya malas.
Intan berdecak kesal lalu berpindah ke kursi di samping Naya. Kebetulan, teman sebangku Naya sedang sakit, jadi tak masuk sekolah.
"Eh, Nay ... Lo tau, nggak? Kalo Minggu depan bakal ada syuting film di sekolah tercinta kita ini." Intan berucap dengan penuh antusias. Tentu saja karena menurut kabar yang dia dengar, pemerannya adalah aktor tampan idola semua gadis-gadis termasuk Intan. Siapa lagi kalau bukan, Ansel Mahardika.
Tapi itu hanya berlaku bagi mereka, Naya tidak termasuk salah satu dari mereka. Naya sama sekali tidak tertarik apalagi sampai berantusias seperti teman-temannya yang lain.
Wajah gadis itu tampak biasa-biasa saja meski Intan memberitahukannya dengan penuh semangat.
Kayaknya cuma dia satu-satunya yang ga semangat denger berita ini!
"Selamat pagi anak-anak." Seorang guru matematika datang dan menyapa murid-muridnya seperti biasa.
“Kelas hari ini Ibu ingin bersantai dan melihat hasil tangkapan kalian atas materi yang sudah ibu ajarkan. Buka halaman enam puluh satu,"ucap guru itu dengan wajah serius sembari mendaratkan kedua tangannya di atas meja.
Dengan tanpa bersuara, semua siswa membuka lembar pelajaran sesuai halaman yang perintahkan Bu Ondi. Ya, nama guru killer pelajaran membosankan itu adalah Bu Ondi.
Memang namanya sedikit aneh. Menurut murid-murid kelas dua, nama Bu Ondi mirip dengan nama makanan yang ada isian kacang ijo di dalamnya. Tapi siapa sangka? Tak hanya namanya saja yang mirip makanan bernama onde onde itu, tapi juga bentuk tubuhnya. Bentuk onde onde yang bulat ternyata sangat mirip dengan ukuran tubuh Bu Onde yang pendek serta perawakannya yang agak gelap dan posturnya yang berisi. Benar-benar seperti pinang dibelah dua, kata mereka. Terlebih rambut keriting miliknya yang selalu disanggul ke atas, membuat murid muridnya menyebutnya Bu Onde onde.
Tentu saja itu dilakukan mereka saat dibelakang Bu Ondi. Jika di depannya, murid murid yang sangat tidak menyukai pelajaran dan cara mengajar Bu Ondi hanya selalu menunduk takut, karena sisi lain Bu Ondi yang mirip makanan berbahan ketan itu, Bu Ondi tipikal orang yang tegas dan tak tanggung-tanggung dalam memberikan hukuman ketika ada siswa siswinya yang melanggar aturan belajarnya.
Kembali pada halaman enam puluh satu sesuai yang diinstruksikan Bu Ondi, siswa siswi di kelas dua langsung kompak bersorak, begitu melihat isi halaman yang diperintahkan ternyata adalah ulangan.
Ya, isi dari halaman enam puluh satu itu adalah deretan angka yang berupa soal soal yang dalam otak mereka sudah tidak ada satupun rumus yang singgah, kecuali Naya. Jangan heran dengan gadis itu. Karena hidupnya yang selalu serius dan hanya belajar, ternyata menjadi penyelamat di saat genting seperti sekarang.
“Huuu ....” para siswa langsung bersorak begitu membuka halaman yang dimaksud Bu Ondi. Bukan bersorak bahagia pastinya.
“Jangan mentang-mentang kalian sudah kelas dua bisa, kalian bisa bebas sekarang. Saat kelas akhir nanti, ibu akan mengetes ulang secara keseluruhan dari materi kelas satu untuk persiapan kalian ujian. Jadi ingat, ulangan seperti ini hanya bagian kecil dari perang yang sebenarnya,” ucap Bu Ondi tegas.
“Matematika kok ada perang? Sejarah kali ya, Bu?” Ups ..., Otornya keceplosan, bisa digeplak pakek penggaris kayu nih sama Bu Ondi.
“Dan kalian perlu tahu, penentuan kelulusan kalian adalah jumlah nilai keseluruhan dari kalian kelas satu. Jadi yang ingin berleha-leha hari ini boleh-boleh saja, tapi jangan sampai kalian menyesal ketika kelas tiga, kalian tidak lulus.” Bu Ondi berbicara lagi ketika para siswanya hanya menunduk dan tak lagi gaduh seperti tadi. Netra pekat milik Bu Ondi memandangi satu persatu siswanya yang semuanya menunduk kecuali Naya.
Duh, anak didikku yang satu ini memang luar biasa.
Semuanya merasa bahwa ulangan dadakan ini adalah suatu yang menakutkan.
Terkecuali bagi Naya tentunya, dia tersenyum melihat deretan angka di halaman yang dia buka.
Intan melirik sahabatnya.
Giliran ada begini, dia senyum. Ya Tuhan ... Sepertinya ada yang tak beres sama sahabatku ini!