MENDADAK MEMINTA RESTU

1141 Words
  Esok harinya, dengan setengah hati, Aura masih terus berusaha untuk berangkat kerja. Teman satu kantornya yang juga satu kos-an yang sama dengannya, pun tidak yakin kalau Aura bisa memberanikan diri ke kantor.   “Kamu serius mau berangkat ke kantor?” tanya Selsi.   “Aku mau bagaimana lagi, Sel? Aku benar-benar nggak lakuin apa-apa, malah terjebak seperti ini.” Keluhnya dengan resah.   “Tapi kamu juga bilang kalau keluargamu dari kampung akan segera datang ke sini?” ujar Selsi membahas apa yang ia dengar dari Aura tadi malam saat menghubungi keluarganya, menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.   “Iya, tapi mereka juga nggak akan langsung sampai  juga, ‘kan Selsi?” balas Aura yang wajahnya kian kalut mendengar pertanyaan temannya itu.   Iya juga sih. Tapi kamu juga nggak usah galau gitu. Anggap aja dapat rejeki nomplok. Dapat duda plus anaknya. Kamu ‘kan suka sama anak-anak?” goda Selsi terkekeh mencoba menghibur hati Aura.   “Sialan kau! Aku bingungnya bagaimana harus berhadapan dengan Adam,” ujar Aura tidak terkendali.   “Kamu masih harus panggil dia ‘Pak’ kali, Ra. Belum jadi suami kamu,lho,” ujar Selsi mengingatkan.   “Iya. Tapi dia itu teman kuliah aku dulu, udah biasa bilang gitu,” ujar Aura keceplosan.   “Eh? Apa kamu bilang? Jadi Pak Adam itu teman kuliah kamu?” tanya Selsai yang baru mendengar itu.   Mau tidak mau, Aura pun harus mengakui itu. “Iya. Tapi kamu jangan bilang sama yang lain. Aku nggak tahu, apa Adam juga menganggap aku teman kuliah atau bagaimana” ujar Aura membujuk.   “Memangnya kenapa?” tanya Selsi penasaran.   “Aduh, gimana yah bilangnya. Aku dulu mengidolakan dia banget, tau! Semua teman kuliah aku tahu kalau aku suka sama dia. Tapi dia nggak suka sama aku,” jujur Aura. “Please, Sel! Jangan kasih tahu yang lain,” pintanya.   “Iya, ya! Kamu kayak nggak tahu aku aja, deh. Tapi,  rejeki kamu banget dong kalau memang bisa berjodoh sama dia? Secara dari dulu kamu suka sama dia. Atau, jangan-jangan dia jadi duda memang ditakdirkan untuk kamu!” canda Selsi.   “Ssstttt, kamu kalau ngomong jangan sembarangan. Hati-hati dong! Soalnya aku dengar kalau dia juga baru duda, belum lama. Nggak enak juga sebenarnya. Semalam itu hari pertamanya masuk udah dapat masalah aja. Coba aja dia mau damai. Setuju ngasi uang ke para tukang fitnah itu. Pasti semua nggak jadi serumit ini,” sesal Aura.   “Sudah, sudah. Tidak perlu mengeluh berlebihan. Kamu pernah dengar ‘kan pasti ada hikmah di balik setiap masalah. Mungkin saja semua jawaban itu akan segera kamu dapatkan. Yuk! Sebaiknya kita berangkat!” ajak Selsi.   “Iya sih,” ujar Aura yang kemudian berjalan mengikuti langkah temannya.   Sepanjang jalan, Aura berusaha untuk menunduk menghindari tatapan warga yang tertuju padanya. “Kamu baik-baik saja ‘kan?” tanya  Selsi.   “Yah, aku baik-baik saja,” jawab Aura sekaligus mengatur nafasnya agar terlihat baik-baik saja.   Memang jarak kos-kosan mereka dengan gedung Bank swasta itu tidak terlalu jauh. Itu sebabnya Aura memilih tinggal di daerah itu untuk menghemat ongkos dan waktu.   Keduanya segera masuk ke ruangan itu. Selsi seperti biasa di bagian pelayanan umum. Sedangkan Aura langsung masuk ke bagian administrasi di bagian belakang.   Aura mulai jengah dengan tatapan rekan-rekan sekantornya yang saling berbisik saat ia masuk. Namun Aura masih bersikap baik-baik saja. “Bagaimana kabar hari ini, Aura? Apa kamu baik-baik saja?” tanya Almira yang duduk di hadapannya. Kalimat itu jelas sangat menyinggung Aura.   “Yah, aku baik-baik saja,” jawabnya seadanya.   “Ra, aku dengar gosip tentang kamu. Katanya kamu akan segera menikah dengan Pak Adam, yah?” tanya Tiwi to the point. Aura tak langsung memberi jawaban.   “Itu rumornya benar atau bagaimana? Padahal ‘kan kita baru kenal kemarin sama Pak Adam?” sambung Kartika masih terus memainkan jarinya di depan laptop.   “Iya, itu benar. Sabtu besok akad nikah,” jawab Aura secara langsung membuat melongo mulut rekan-rekannya itu.   “Jadi kejadian malam itu memang benar?” tanya Putra.   “Kalian punya hak untuk percaya atau tidak. Tapi aku juga punya hak untuk bilang kalau sebenarnya tidak ada yang terjadi malam itu,” ujar Aura tanpa menatap wajah seorang pun diantaranya.   Di saat mereka masih tanda tanya dengan semuanya yang serba tiba-tiba, Adam pun masuk ke ruangan itu. Sontak semuanya menempati posisi duduk masing-masing.   “Kamu, ke ruangan aku!” titahnya pada Aura.   Setelah mengatur nafasnya, Aura yang baru saja duduk itu pun kembali berdiri untuk memenuhi perintah pria itu.   Masuk dan berdiri di hadapan Adam yang sudah duduk  di kursi kerjanya. “Aku kira kau tidak akan masuk kerja hari ini. Apa kau sudah menyampaikannya pada orang tuamu?” tanya Adam sambil memegangi wajahnya sisa bogem mentah tadi malam, dan tanpa menatap ke arah Aura.   “Su-sudah. Mereka sedang dalam perjalanan untuk datang ke sini,” jawab Aura. “Bagaimana juga aku tidak datang? Aku diajarkan untuk bekerja secara profesional. Lagi pula, tadi malam itu kamu bisa menolaknya dengan memberi uang kepada mereka,” ujar Aura mengikuti kata hatinya.   Adam menatapnya. “Aku tidak suka membayar untuk sesuatu yang tidak aku beli,” ujar Adam dengan tatapn dingin.   “Tapi semua jadi begini. Kita harus menikah. Apa kita harus menikah secara pura-pura?” tanya Aura lagi dengan hati-hati.   “Menikah yah menikah. Tidak ada kata untuk berpura-pura,” jawab Adam dengan santai. Dan sesekali masih memegangi sudut matanya. “Baiklah, nanti malam, aku akan ke rumahmu,” ujar Adam lagi.   “Tapi, apa keluargamu juga setuju dengan masalah ini?” tanya aura lagi.   “Keluargaku urusanku,” jawabnya pendek membuat Aura harus menelan air liurnya sendiri. “Baiklah, aku harap kamu tidak perlu menanggapi ucapan apap pun dari siapapun. Itu pesan dariku,” ujarnya. “Silahkan kamu lanjut kerja,” titahnya kembali.   Ada rasa kesal di hati Aura mendengar kalimat Adam. Yah, terkesan pedas. Namun, itu adalah sisi buruk dari pria tampan yang dulu pernah ia idolakan. Laki-laki proporsional. Tidak banyak bicara, tapi sekali bicara memang sangat menusuk.   Gadis itu segera menuju meja kerjanya. Tatapan dari beberapa rekannya yang ada di sana menunggu untuk penjelasan.   “Ssst, dia bilang apa?” tanya Kartika sebelum Aura benar-benar duduk di kursinya. Namun seperti pesan Adam, Aaura sama sekali tidak menjawab pertanyaan itu.   “Kerjakan pekerjaanmu! Dari pada nanti kamu juga kena tegur kalau dia lihat dar CCTV,” cetus Aura. Kartika pun langsung memegang pekerjaannya.   Siang pun kian beranjak. Aura melirik jarum jam menunjukkan pukul 11 siang. “Sebentar lagi, mereka pasti akan datang. Astaga, kenapa fikiranku kacau seperti ini?” fikir Aura yang hatinya terus berkecamuk. Bersamaan dengan itu, ponselnya pun segera berdering. Benar, nama adiknya berdering di layar utama.   “Halo?” sapanya.   “Kak, kami sudah mau sampai ini,” suara khas Lila, adiknya memberi tahu.   “Yah, aku akan segera ke sana. Udah mau makan siang juga,” ujarnya yang segera mempersiapkan diri dan bergegas meninggalkan ruang kerjanya dengan buru-buru.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD