Hilangnya Keperawanan

810 Words
“Tu-tuan… apa yang kamu inginkan? Anda bisa ambil apa saja di rumah ini… aku bisa berikan semua uang padamu,” ucap Molly dengan suara gemetar. Tubuhnya bergetar hebat, peluh dingin membasahi pelipisnya. Matanya melirik sekeliling, mencari celah untuk kabur, tapi tak ada jalan keluar. Pria bertopeng itu hanya menatapnya datar. Langkahnya pelan namun mengancam saat mendekati Molly. “Aku memiliki banyak uang, jadi aku tidak tertarik dengan hartamu.” Suaranya berat, dingin seperti malam yang muram. “Yang aku inginkan… adalah tubuhmu. Biarkan aku menikmatinya, dan keluargamu akan selamat. Adikmu… akan tetap suci.” Molly menggeleng cepat, air matanya mengalir tanpa bisa ditahan. “Jangan… tolong… jangan lakukan itu…” suaranya tercekat di tenggorokan. Tangan kasar pria itu tiba-tiba mencengkeram dagunya, memaksa Molly menatap langsung ke matanya. “Memohon padaku?” bisiknya tajam. “Sayang sekali… aku tidak tertarik pada air mata atau permintaanmu. Serahkan tubuhmu, dan semua ini akan berakhir. Keluargamu akan aku lepaskan… jika aku puas.” Ia menyipitkan mata. “Katakan padaku, kau masih perawan?” Molly terdiam. Nafasnya memburu. Otaknya berpacu, mencari cara untuk melarikan diri. Saat pria itu mendekat, ia berusaha menjauh. Seketika, pria itu menindih tubuhnya. Kedua tangan Molly ditekan kuat ke atas, tubuhnya terperangkap di bawah tubuh pria itu. Nafasnya tercekat. Kepalanya menggeleng cepat. “Lepaskan aku!” jeritnya, berusaha melepaskan diri, tapi kekuatan pria itu jauh lebih besar. “Jangan lupa… kau yang memohon padaku. Tiga nyawa ada di tanganku. Ditukar dengan tubuhmu. Kau juga tidak rugi,” bisiknya di telinga Molly, dingin dan kejam. Molly berteriak, meronta, menendang, namun semua itu hanya membakar emosi pria bertopeng itu lebih dalam. Dengan satu gerakan kasar, pria itu menyentakkan kain bajunya—Molly menjerit kaget, namun tetap berusaha melawan dengan seluruh kekuatan yang tersisa. "Tidak! Tolong, lepaskan aku!" tangisan Molly menggema di dalam kamar, penuh ketakutan dan keputusasaan. Pria bertopeng itu menunduk ke arahnya, suaranya dingin. "Apakah kau memiliki pacar?" tanyanya, seperti mempermainkan ketakutannya. "Iya!" jawab Molly dengan suara gemetar, air mata mengalir tanpa henti di pipinya. Pria itu tertawa pendek, getir. "Apakah dia masih akan mencintaimu setelah dia tahu keadaanmu nanti?" bisiknya ke telinga Molly, membuat gadis itu merinding ketakutan. Tanpa ampun, pria itu menarik kasar pakaian Molly hingga robek sebagian. Molly berusaha menahan sobekannya, melindungi tubuhnya sebisanya, namun kekuatannya tak sebanding. "Aku mohon... jangan lakukan ini..." isak Molly, mencoba menahan tangis sambil mendorong tubuh pria itu sekuat yang dia bisa. Tapi pemimpin perampok itu tak peduli. Ia sudah dibutakan oleh kejamnya niat. "Jangan sentuh aku!" teriak Molly Pria itu memadamkan lampu meja di sisi ranjang hingga kamar menjadi gelap gulita. Dalam kegelapan, Molly hanya bisa merasakan kehadiran pria itu. Nafas beratnya di dekat wajahnya membuat Molly semakin ketakutan. Pria itu melepas topengnya, namun wajahnya tetap tersembunyi dalam bayang-bayang. Ia mencengkeram pergelangan tangan Molly, menahan gerakannya. "Tubuhmu ini sudah seharusnya menjadi milikku sejak awal," ucapnya dingin, penuh keangkuhan. "Ingat namaku adalah Vincent Cavendish!" bisiknya yang kemudian mencium leher gadis itu, tangannya meraba tubuh Molly yang setengah telanjang. "Tolong..." suara Molly hanya berupa bisikan putus asa. "Kalau kau melawan lagi," pria itu berbisik dingin di telinganya, "aku tidak akan sungkan membunuh mereka satu per satu di hadapanmu... dan adik kecilmu akan jadi milik anak buahku." Molly yang ketakutan dengan ancaman pria itu hanya bisa meneteskan air matanya. Demi keselamatan keluarga tercinta, ia akhirnya pasrah. Tubuhnya gemetar hebat, seolah seluruh kekuatannya menghilang. Vincent, pria kejam itu, mendekat tanpa belas kasihan. Ia menarik Molly ke dalam pelukannya dengan kasar, membuat gadis itu tercekik dalam ketakutan dan rasa jijik. Molly hanya bisa memejamkan matanya, menahan diri agar tidak berteriak saat pria itu memperlakukannya dengan kejam. "Jacky, maafkan aku..." batin Molly, air matanya tak terbendung. Vincent menindih tubuh Molly, menciumnya dengan paksa. Tangannya meremas tubuh gadis itu seolah dia adalah miliknya. Setiap gerakannya menyisakan bekas luka di hati Molly. Gadis itu berusaha menahan rasa sakit dan kehinaan, mencengkeram sprei tempat tidur, menggigit bibirnya sendiri untuk menahan tangis. "Sakit..." rintih Molly pelan, tubuhnya memberontak, namun sia-sia. Waktu terasa begitu panjang, menyiksa tanpa ampun. Molly merasa seakan seluruh dirinya hancur berkeping-keping, tidak hanya tubuhnya, tetapi juga jiwanya. Satu jam kemudian, Vincent bangkit dengan santai. Ia mengenakan kembali pakaiannya, lalu menatap Molly yang meringkuk di bawah selimut, berusaha menutupi tubuhnya yang gemetar. Vincent menyeringai puas. Ia mendekat dan berbisik di telinga Molly dengan suara yang membuat darahnya membeku. "Molly Alexander, dengar baik-baik... kita akan bertemu lagi, Kau telah berhasil memuaskanku. Aku akan merindukanmu." Molly yang tak kuat lagi menahan rasa sakit dan penghinaan itu, berteriak histeris, "Lepaskan aku! Lepaskan keluargaku! Aku membencimu!" Namun, Vincent hanya tertawa dingin, langkah kakinya bergema saat ia meninggalkan kamar. Molly tetap diam di tempat, tubuhnya kaku, jiwanya hancur. Ia menutup dirinya rapat-rapat dalam selimut, membiarkan dunia luar menghilang bersama gelapnya malam. Namun di balik kegelapan itu, takdir Molly baru saja berubah. Dan ia belum tahu... seberapa besar badai yang akan menghancurkan hidupnya setelah malam ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD