Pandai bersandiwara

2196 Words
Jonathan menghela nafas, “gue gak pernah berharap hubungan kita akan berakhir seperti ini, Din. Padahal gue udah memikirkan tentang masa depan kita kelak. Gue bahkan membayangkan kita hidup bersama, bahagia dengan keluarga kecil kita.” “Tapi ternyata, lo mengkhianati cinta dan kepercayaan gue. Bahkan pria itu adalah sahabat gue sendiri. Gue gak nyangka lo tega ngelakuin semua itu ke gue. Apa salah gue sama lo selama ini, Din? Apa masih kurang yang gue berikan ke elo selama ini? apa semua itu sama sekali gak ada artinya buat lo?” “Andai itu bukan Dava, gue pasti akan mendengar apa alasan lo sampai melakukan itu di belakang gue. Tapi itu Dava. Sahabat gue. Sahabat yang udah gue anggap seperti saudara gue sendiri. Sekarang semuanya sudah hancur dan gak akan pernah bisa diperbaiki lagi. Mungkin kita masih bersama sampai sekarang. Tapi, semua gak akan bisa kembali seperti dulu lagi.” Jonathan mendengar suara ponselnya berbunyi. Ia lalu melangkah menuju ranjang untuk mengambil ponselnya. Dina! Ngapain dia menghubungi gue jam segini? Jonathan lalu menggeser tombol warna hijau itu ke atas. “Hem.” Hanya deheman yang keluar dari mulut Jonathan saat panggilan itu mulai tersambung. “Sayang, kamu dimana? Sekarang aku ada di apartemen kamu, tapi kamu gak ada.” “Ada apa kamu mencariku?” “Kok gitu tanyanya. Memangnya kamu gak kangen sama aku? kita udah satu minggu gak ketemu lho. Padahal aku kangen banget sama kamu.” Jonathan menghela nafas, “hari ini aku sedang sibuk. Lebih baik kamu pulang. Aku juga gak akan balik ke apartemen lagi.” “Enggak! Aku akan tunggu kamu di apartemen. Aku akan tetap menunggu sampai kamu pulang ke apartemen.” “Percuma juga kamu nunggu disana, aku gak akan pulang ke apartemen. Lebih baik kamu pulang, kasihan kedua orang tua kamu.” “Enggak! Aku akan tetap menunggumu.” Jonathan mengakhiri panggilan itu tanpa berkata apa-apa lagi. Ia lalu mengambil jaket dan kunci mobilnya dari atas meja, setelah itu ia melangkah keluar dari kamar hotel itu. Masuk ke dalam lift setelah pintu lift terbuka. Menekan lantai dasar. Sampai di basement, Jonathan masuk ke dalam mobil. Ia melihat foto dirinya dan Dina yang memang sengaja dulu ia gantung di kaca spion depan. Jonathan mengambil gantungan foto itu, lalu memasukkannya ke dalam dashboard. “Gue gak mau ada foto Dina di dalam mobil gue.” Jonathan lalu melajukan mobilnya keluar dari basement apartemen. Dalam perjalanan, Jonathan menghubungi kedua sahabatnya, yaitu Rendy dan Tegar untuk menemuinya di cafe tempat biasa mereka nongkrong. Mereka memang sering menghabiskan waktu di cafe ketimbang di club malam. Tapi, itu bukan berarti mereka tidak pernah pergi ke club malam. Jonathan dan ketiga sahabatnya bukanlah pria yang bisa bilang pria baik-baik. Tapi, mereka juga bukan pria buruk juga, karena mereka masih punya rasa cinta dan perasaan. “Gue males ketemu sama Dina. Mungkin dia baru saja ketemu sama Dava dan menghabiskan malam dengannya. Mendingan gue seneng-seneng sama yang lain.” Jonathan mempercepat laju mobilnya, hingga mobil yang ia kendarai kini sudah berada di depan cafe, tempat nongkrongnya saat bersama dengan teman-temannya. Ia lalu keluar dari mobilnya, melangkah masuk ke dalam cafe. “Hai...” Jonathan melambaikan tangannya saat melihat Tegar yang sedang melambaikan tangan ke arahnya. “Rendy mana?” tanya Jonathan lalu mendudukkan tubuhnya di sofa tunggal. “Rendy, lagi OTW,” balas Tegar. Jonathan memanggil pelayan, “lo mau pesan apa? pokoknya malam ini gue yang traktir.” “Siap, Bos.” Tegar lalu memanggil pelayan. Tegar lalu berbicara dengan pelayan itu, ia memesan makanan apa saja yang enak di cafe itu. Tak lupa ia juga memesankan untuk yang lainnya. “Baik, silahkan ditunggu sebentar,” ucap pelayan itu lalu pamit undur diri setelah mencatat pesanan Tegar. “Itu Rendy,” ucap Tegar sambil melambaikan tangannya ke arah Rendy. “Sorry, jalanan macet,” ucap Rendy mengatakan alasan kenapa dia sampai telat. Ia lalu mendudukkan tubuhnya di samping Tegar. “Dava mana?” tanya Tegar kepada Rendy. “Ya mana gue tau. Emangnya gue babysitternya,” kesal Rendy. “Ya gak usah nyolot gitu jawabnya!” Tegar ikutan ngegas. “Udah... udah. Kalian ngapain malah pada berantem. Dava mau kesini atau gak, itu terserah dia. Pokoknya malam ini gue ingin mengajak kalian untuk seneng-seneng,” ucap Jonathan. Jonathan tidak menyangka, Tegar dan Rendy akan mengajak Dava juga. Tapi, ia juga tak bisa melarang jika Dava memang ingin kumpul bareng sama dirinya dan yang lainnya. Rendy dan Tegar saling menatap. Mereka tau, jika Jonathan sudah bersikap seperti itu, itu tandanya dia sedang ada masalah. “Lo, kenapa lagi? ribut lagi sama cewek lo itu?” tanya Rendy yang sama sekali tidak bisa menahan mulutnya untuk tidak bertanya. “Siapa? Dina maksud lo?” tanya Jonathan balik. “Emangnya cewek lo ada berapa sih? Penasaran gue?” tanya Tegar basa-basi. “Gaya lo kayak gak tau aja.” Rendy menyenggol lengan Tegar. “Ya siapa tau Jonathan mau nyebutin nama ceweknya satu persatu,” sindir Tegar. “Jo, gue sebenarnya masih penasaran. Kenapa lo bisa berubah? Padahal dulu lo setia sama Dina. Bahkan setiap ada cewek yang godain lo, lo cuek dan gak ambil pusing. Tapi sekarang, lo embat semua cewek yang bilang suka sama lo.” Tegar akhirnya mengeluarkan pertanyaan yang sudah hampir dua bulan ini dia tahan. “Semua orang bisa berubah dengan berjalannya waktu. Termasuk juga gue,” sahut Jonathan dengan entengnya. “Kayak puitis aja lo,” cebik Rendy. “Kita juga gak mungkin Cuma bertahan dengan satu cewek ‘kan? Bisa bosen dong entar,” ucap Jonathan nyengir kuda. “Gue tau, tapi dari kita berempat, cuma lo yang setia sama satu cewek selama ini.” Rendy ikut berkomentar. “Seperti yang gue bilang tadi. Semua orang bisa berubah, termasuk juga gue,” ucap Jonathan lagi. Tak berselang lama makanan dan minuman yang mereka pesan datang. Pelayan menata makanan dan minuman itu ke atas meja. Setelah mempersilahkan Jonathan, Rendy, dan Tegar untuk menikmati makanannya, pelayan itu lalu pamit undur diri. “Gar, coba lo hubungi Dava. Tumben dia ngaret lama banget,” ucap Rendy sambil menyenggol lengan Tegar. “Udah, biarin aja. Mungkin dia lagi seneng-seneng sama pacarnya,” ucap Jonathan lalu mengambil makanan yang tadi dipesan Tegar dan mulai memakannya. Gue lebih seneng kalau Dava gak dateng. Bikin mood gue tambah jelek aja. Tegar menggelengkan kepalanya melihat Jonathan makan dengan begitu lahapnya. “Lo kelaparan, Jo? Udah berapa hari lo gak makan?” sindirnya. “Gue makan tadi pagi doang. Habis itu gue ajak Jenny untuk bertempur. Tenaga gue terkuras habis,” sahut Jonathan setelah menelan makanan yang ada di dalam mulutnya. Rendy dan Tegar hanya geleng-geleng kepala mendengar ucapan Jonathan. Mereka berdua sama sekali tidak menyangka, sahabatnya akan berubah 180 derajat. Bahkan sampai sekarang mereka sama sekali tidak tahu apa penyebab seorang Jonathan yang sangat terkenal dengan kesetiaannya kepada Dina, kini berubah menjadi playboy kelas kakap. “Jo, bukannya Jenny itu sahabat Dina ya? Kok lo tega gitu sama Dina? Dia ada salah apa coba sama kamu?” tanya Rendy yang merasa kasihan dengan Dina. “Lo berdua gak perlu tau. Daripada ngurusin hidup gue, mendingan lo makan tu makanan sebelum dingin,” ucap Jonathan lalu kembali memasukkan satu suap makanan ke dalam mulutnya. Rendy menatap seseorang yang dikenalnya sedang bersama dengan seorang gadis. Ia lalu mengernyitkan dahinya saat mengetahui siapa gadis yang bersama dengan Dava. “Jo, itu Dava. Tapi dia sama cewek lo,” ucapnya kepada Jonathan. Jonathan menengok ke arah belakang. Benar. Dava memang datang bersama dengan Dina. Mereka sedang berjalan menuju tempat ia dan kedua sahabatnya duduk. Katanya mau nungguin gue di apartemen, nyatanya malah jalan sama Dava. Dasar munafik! Gimana gue bisa kembali percaya sama lo, jika lo gak pernah bisa menepati kata-kata lo sendiri, Din. Jonathan terlihat tidak peduli, ia kembali menikmati makanannya. Daripada melihat Dina jalan sama Dava, Jonathan lebih menikmati makanan yang ada di depannya. Jauh lebih menarik dan membuat perutnya kenyang. “Sayang, kok kamu gak ajak aku kesini sih? Untung Dava bilang sama aku kalau kamu lagi kumpul sama yang lain,” ucap Dina sambil mendudukkan tubuhnya dipinggiran sofa. “Din. Kamu itu cewek, apa lagi ada 4 cowok disini. Duduk yang sopan,” ucap Jonathan lalu meletakkan makanannya yang tinggal separuh ke atas meja. Dina lalu beranjak berdiri, “makanya kamu pindah dong duduknya, aku ‘kan ingin duduk disebelah kamu,” ucapnya dengan manja. Jonathan menatap Dava yang terlihat tenang, ‘mereka berdua memang pandai bersandiwara,’ gumamnya dalam hati. “Gar, Ren, lo pindah,” pinta Jonathan lalu beranjak dari duduknya. Tegar dan Rendy menurut. Tegar pindah duduk disebelah Dava, sedangkan Rendy duduk di sofa tunggal yang tadi Jonathan duduki. Dina merangkul lengan Jonathan, “boleh suapin aku gak? Aku belum makan malam. Aku juga ingin disuapin sama kamu,” pintanya dengan manja. Tegar memberikan makanannya yang masih utuh kepada Jonathan. “Makan ini aja, gue masih kenyang,” ucapnya. “Biar gue pesen yang baru aja. Makanan itu ‘kan tadi lo yang pesan. Masa lo gak makan,” tolak Jonathan. Kini giliran Dava yang menawarkan makanannya kepada Jonathan. “Makan punya gue aja. Tadi gue udah makan di rumah. Masih kenyang juga. Daripada mubazir, mending dimakan sama Dina. Sepertinya dia sangat kelaparan,” tawarnya. Tanpa pikir panjang, Dina menganggukkan kepalanya. Ia lalu mengambil makanan Dava dan memberikannya kepada Jonathan. “Makasih ya, Dav. Kamu memang teman yang baik.” Dina lalu menyodorkan piring yang berisi makanan itu kepada Jonathan. “Suapin aku ya,” pintanya lagi. Jonathan menghela nafas, ia juga tak mungkin menolak keinginan Dina di depan teman-temannya. Bisa-bisa mereka semakin curiga. Jonathan mengambil piring makanan itu dari tangan Dina, lalu mengambil satu sendok makanan dan menyodorkan nya di depan mulut Dina. Dina dengan senang hati membuka mulutnya, menerima suapan dari tangan Jonathan. Mengunyahnya dengan perlahan dan menikmati cita rasa makanan itu. “Em... makanannya enak. Mau lagi dong,” pintanya lalu kembali membuka mulutnya. Jonathan kembali memberikan suapan ke dua ke mulut Dina, “kapan terakhir kamu makan? Lapar gitu?” tanyanya yang juga merasa penasaran. Apa Dina kehabisan tenaga setelah bermain dengan Dava? gue benar-benar gak habis pikir. Kenapa mereka bisa berbuat seperti itu di belakang gue. “Terakhir aku makan tadi siang. Itupun hanya sedikit,” balas Dina dengan kembali membuka mulutnya dan siap menerima suapan ketiga dari Jonathan. Tegar dan Rendy juga mulai memakan makanan mereka, sedangkan Dava meminum minuman yang sudah dipesankan oleh teman-temannya. “Kok lo bisa sama Dina? Kalian janjian ya?” tanya Rendy dengan mulut yang hampir penuh makanan. Dina yang saat itu tengah mengunyah makanan, tiba-tiba langsung tersedak dan terbatuk-batuk. Dava bergegas mengambilkan minuman untuk Dina. “Makanya kalau makan jangan sambil ngelamun,” ucapnya setelah Dina mengambil minuman dari tangannya. Dina hanya mengangguk sambil meminum minuman yang Dava berikan. Sedangkan Jonathan menepuk-nepuk pelan punggung Dina. Jonathan tidak peduli dengan perhatian Dava kepada Dina, bahkan dia tunjukkan langsung didepan kedua matanya. Setelah selesai makan, mereka lanjut dengan obrolan-obrolan tentang rencana mereka kedepannya. “Lo mau kerja dimana, Jo?” tanya Tegar. “Salah kalau lo tanya Jonathan mau kerja dimana.” Rendy langsung menoyor kening Tegar. “Lho, memangnya kenapa? memangnya dia gak perlu kerja hanya karena dia anak orang kaya,” cebik Tegar. Rendy kembali menoyor kening Tegar, “apa lo lupa kalau Jonathan itu anak tunggal? Sudah pastilah dia akan jadi CEO di perusahaan papanya.” Tegar yang mendapatkan 2 kali toyoran di kening oleh Rendy hanya nyengir kuda. “Sorry, lupa bro,” ucapnya. “Jo, gue boleh dong kerja di perusahaan keluarga lo nanti?” tanya Tegar kemudian. “Boleh aja,” sahut Jonathan sambil menyingkirkan tangan Dina yang terus merangkul lengan nya. Jonathan lalu beranjak dari duduknya, “sorry, gue cabut dulu. Gue lupa kalau ada janji sama bokap gue.” Dina menarik tangan Jonathan saat dia ingin melangkah pergi. “Kamu mau ninggalin aku disini?” “Bukannya kamu datang kesini sama Dava?” tanya Jonathan sambil menatap Dava. “Iya, tapi kan aku kesini ingin ketemu sama kamu. Masa kamu tinggalin aku begitu aja,” kesal Dina dengan wajah cemberut. “Jo, gue tadi ngajak Dina kesini, karena dia nyariin lo dirumah gue. Makanya gue ajak kesini sekalian,” jelas Dava. Jonathan tersenyum sinis, ‘kalian memang pandai bersandiwara,’ gumamnya dalam hati. “Ya udah, aku akan mengantar kamu pulang,” ucap Jonathan yang akhirnya menyerah karena tidak ingin terus berdebat dengan Dina di depan teman-temannya. Dina tersenyum, ia lalu beranjak dari duduknya, merangkul lengan Jonathan. “Malam ini aku menginap di apartemen kamu ya? Aku kangen,” bisiknya di telinga Jonathan. “Terserah!” Jonathan lalu melangkah pergi, dengan Dina yang terus merangkul lengannya. Setelah kepergian Jonathan dan Dina, Dava pun ikut pergi. Menyisakan Tegar dan Rendy di cafe itu. “Lo mau langsung cabut pulang atau lanjut ke club?” Tegar melihat jam di pergelangan tangannya. Waktu menunjukkan pukul 22.00 malam. “Lanjut ajalah, lagian di rumah sepi,” sahutnya. “Woke.... kita pergi sekarang. Gak seru kalau gak lanjut.” Rendy dan Tegar lalu tertawa. Rendy dan Tegar pun beranjak dari duduknya, melangkah keluar dari cafe dan melanjutkan malam panjang mereka ke club yang sering mereka datangi bersama dengan Dava dan Jonathan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD