Part 2. Meet Him, Abdi Abrian Abhyaksa

2218 Words
Kalian pasti tahu kan kalau aku punya satu kakak lelaki yang namanya sangat mirip denganku, Reino Adikusumo. Euum, mungkin mama dan papa memang bukanlah orang yang kreatif untuk membuat nama bagi anak-anaknya. Apakah kalian membayangkan Mas Reino seperti seorang CEO yang ada di novel online? Euum, iya, kalian benar! Mas Reino ganteng, tinggi, tubuh proporsional, kulit kecoklatan, pintar dan mapan. Kekurangannya ada banyak kok, tentu saja sebagai seorang manusia biasa, Mas Reino punya banyak kelemahan. Pertama, dia sangat benci pada papa dan kebenciannya itu membuat alergi pada perempuan. Tapi dia tetap suka cewek kok hanya saja belum menemukan gadis yang pas untuknya. Kedua, dia semakin membenci kaum hawa sejak mantan pacarnya selingkuh. Itu membuat kakakku tercinta ini semakin antipati pada pernikahan. Aku dan kakakku terlahir dari sebuah keluarga kaya raya dengan status sosial yang tinggi. Tapi, sayangnya kedua hal itu tidak menjamin kebahagiaan bagi kami, terutama mama. Pengorbanan mama sungguh hebat karena bisa memaafkan tingkah laku papa yang tega meninggalkan kami, anak istrinya demi perempuan lain. Hingga akhirnya mama mengambil langkah nekat, mengajukan perceraian saat kami dirasa sudah cukup besar. Waktu itu Mas Reino berumur tujuh belas tahun, baru saja menjadi mahasiswa baru, umurku tiga belas tahun lebih, hampir empat belas. Menjadi anak dari papa dan mama yang bercerai, membuat hidupku semakin suram. Aku yang introvert, tertutup, menjadi semakin menarik diri. Sekolahku adalah sekolah untuk anak-anak dari keluarga high class, mudah saja bagi anak-anak lain mendapatkan info alasan perceraian papa mama. Hingga aku sering dilabel sebagai anak dari bandot tua! Biasanya sampai rumah, aku akan langsung masuk kamar dan menangis tersedu. Rumah mewah dan megah ini tidak memberi kehangatan padaku. Hanya ada kesepian. Mama yang masih berusaha menghilangkan rasa sedih karena kehilangan papa, menyibukkan diri dengan bekerja gila-gilaan. Mas Reino yang mahasiswa baru, tentu saja sibuk dengan kegiatan kampusnya. Hanya bibik yang mengasuhku sejak bayi menjadi teman keluh kesahku. Seperti saat ini, aku menangis sesenggukan di kasur, bibik mengelus rambutku dan seperti biasa menenangkanku. “Ono opo maneh nduk?” (Ada apa lagi sayang?) Bibik mengelus rambutku dengan penuh kasih. “Kenapa akhir-akhir ini kalau pulang sekolah selalu menangis? Ada lagi yang menganggumu di sekolah?” Tanya bibik dengan sabar. Aku membalik tubuh dan langsung memeluk bibik sangat erat kemudian menangis sangat kencang. “Huwaaaa aku benci papa!! Benciii! Gara-gara papa aku dihina bik, dibilang anak bandot tua. Aku benci papa! Kenapa papa mengkhianati mama sih? Kurang apa mama bik? Papa jahat!” Aku meraung, tapi pelukan hangat dan lembut bibik menenangkanku. “Kamu masih terlalu kecil untuk bisa memahami apa yang terjadi antara mama dan papamu nak. Setahu bibik, mamamu berjuang cukup lama dan menderita untuk mempertahankan pernikahannya, tapi sejak Masmu lulus SMU dan memergoki papamu selingkuh, mamamu tidak bisa menahan diri lagi. Ada beberapa hal yang tidak bisa dibagi oleh orang tua kepada anak-anaknya, terutama masalah rumah tangga yang akan membuat kalian membenci papa mama.” Aku tidak begitu memahami apa maksud bibik, yang aku tahu papa dan mama tidak lagi bersama, dan itu membuatku mengalami hal yang menyakitkan. “Bik, nanti kalau aku udah lulus SMU aku mau kuliah bareng sama Nindi, karena cuma Nindi yang belain aku bik.“ Aku menyebut nama Nindi, cucu bibik yang seumuran denganku. Kami beda sekolah, aku di swasta dan Nindi di SMU Negeri favorit. “Lah kalau Nindi kan ya harus menyesuaikan dengan kemampuan bibik dan orang tuanya toh nduk. Apalah kami, kalau bisa Nindi akan ambil beasiswa saja biar uang yang kami keluarkan tidak begitu besar.” “Nanti aku minta mama untuk bantuin Nindi ya bik, pokoknya aku cuma mau kuliah di kampus yang sama kaya Nindi! Aku sayang bibik… aku juga pingin mama sering memelukku seperti ini, gak yang kerja terus dari pagi sampai malam. Padahal kan uang mama sudah banyak banget, gak akan kekurangan walau tiap hari beli mobil.” Keluhku, aku merasa sungguh nyaman berada di pelukan bibik. Beliau juga dulu yang merawat mama dari mama kecil. Bibik mengabdikan diri pada eyang dari beliau umur dua belas tahun, dengan selisih umur tidak begitu jauh dari mama, membuat mama juga mau mendengar apa kata bibik selain eyang. “Nanti bibik bilang ke mamamu ya, agar jangan larut dalam kesedihan. Tapi ingat ya nduk, kamu tidak boleh membenci mamamu, malah harus beri dukungan biar tidak semakin stres.” Aku melihat ke mata bibik, tersenyum dan mengangguk. Sepertinya, bibik memang sudah bilang keluhanku ke mama, karena beberapa hari setelah itu, setiap jam lima sore mama pasti sudah ada di rumah, bahkan tidak jarang memasak untukku dan Mas Reino. Masakan mama memang bukan yang enak banget, lebih enak masakan bibik tentu saja, tapi karena dimasak dengan cinta dan sungguh-sungguh, membuat aromanya menjadi lebih menggoda, walau untuk rasa yaa tidak banyak perubahan. “Na, sebentar lagi kamu akan lulus SMU. Setelah itu mau lanjut kuliah di mana?” Tanya mama saat kami sedang makan malam. Mas Reino yang memang anak rumahan, juga lebih suka di rumah. “Ma, aku mau lanjutin ke kampus negeri aja ya. Aku butuh suasana baru. Gak mau ke swasta lagi semahal apapun itu.” Jawabku, sambil menunduk, takut melihat mata tajam mama. “Eeeh kenapa kok gak mau Na? Kamu terinspirasi aku pasti ya? Kuliah di kampus negeri dan jadi idola dosen sama maba cewek?” Malah Mas Reino yang bertanya keheranan, bukan mama. “Malesin tahu gak sih Mas. Anak-anak nakal itu sering banget menghinaku mentang-mentang mama papa bercerai, terus mereka bisa seenaknya menghina gitu?” Keluhku, sambil mengaduk sayur sup dengan malas. “Apaaa? Ada yang berani menghinamu? Kenapa? Gara-gara perceraian mama papa ya? Padahal kan udah lama juga cerainya kenapa masih pada julid sih itu bocah-bocah?” Mas Reino bertanya, dia pasti penasaran. “Iya. Aku lelah diejek seperti itu terus-menerus.” “Emang diejek seperti apa?” Akhirnya mama bersuara. “Dibilang anak bandot tua ya Na?” Aku menoleh ke arah Mas Reino, kok dia bisa tahu? “Iya, kok Mas tahu sih?” “Abaikan saja Na, kan memang itu kenyataannya. Papa memang bandot tua, gak tahu diri pula. Sudah, nanti kalau ada anak-anak nakal lagi yang berani mengganggumu, aku akan bungkam mulut mereka.” Kata Mas Reino dengan santai. “Reino… gak boleh berkata seperti itu, gimanapun juga kan papamu. Apa yang sudah dilakukan papa ke mama, biar mama saja yang benci, tapi kalian tidak boleh ikutan membenci papa. Soal masuk kampus negeri, coba kamu dari sekarang cari tahu mana yang kamu mau, belajar dari sekarang biar bisa lolos seleksi.” Mama mulai memberi petuah pada kami berdua. “Eeh Na, kamu kan di SMU Swasta Horay, kalau gak salah, adiknya Stella baru datang dari Aussie mau lanjut masuk ke SMU Swasta Horay tuh, cowok, jadi nanti aku titipin kamu ke dia deh.” “Stella tuh cewek yang ditaksir sama Mas Reino itu bukan sih? Tapi ditolak mulu kan?” Tanyaku, polos. Tapi Mas Reino mendelik marah. “Heeh fitnah itu, mana ada Reino Adikusumo ditolak cewek! Yang ada aku tuh selalu nolak cewek tahu!” Lah kenapa Mas Reino ngegas sih? “Reino, kamu menolak cewek bukan karena kamu naksir cowok kan? Kalau iya, mama akan sunat lagi burungmu sampai habis!” Ancam mama. “Astagfirullah mama! Ntar mama gak bisa punya cucu dariku loh.” Mulailah drama di keluarga kecil ini. Pertengkaran kecil namun penuh canda antara mama dan Mas Reino, membuatku mampu sejenak melupakan masalah perundungan itu. “Mah, tapi nanti aku satu kampus sama Nindi juga ya, cucunya bibik. Mama kan tahu sahabatku hanya beberapa orang saja. Biar aku ada teman curhat di kampus.” Pintaku pada mama. “Iya. Nanti mama bilang sama bibik.” Aku tahu mama pasti akan membantu agar Nindi juga bisa berada di satu kampus yang sama denganku, entah apa yang dilakukan mama. “Soal sekolahmu sekarang, setelah kamu lulus, mama juga akan stop beri donasi. Enak aja, mama gak mau anak mama mengalami perundungan di sekolah yang mama beri donasi. Mendingan mama kasih buat tambahan anak-anak yatim.” *** Singkat cerita, sekolahku ini SMU Swasta Horay berlokasi di daerah lumayan elit di dekat gelanggang berkuda di Pulo Mas. Memang sekolah menengah atas sih, dan melihat mobil yang mengantar, bisa geleng kepala. Dari mobil yang berharga hanya ratusan juta hingga yang kepala milyar juga ada kok. Aku dan Nindi berangkat bersama, diantar oleh Mas Reino yang bilang akan mendedikasikan hari ini untuk mengantar adik tercintanya ini. Padahal aku tahu pasti dia pasti ada agenda lain “Mas udah di sini aja parkirnya deh, gak usah deketan pintu gerbang. Ntar malah jadi omongan.” Keluhku karena Mas Reino sengaja mencari parkir dekat pintu gerbang utama sekolah. “Kan aku harus memastikan kalian aman di sekolah. Biar mereka tahu kalau kamu tuh ada bodyguard siaga.” Jawab Mas Reino acuh. Bukannya apa-apa, tapi dengan fisik Mas Reino yang super duper tampan, tinggi, kulit kecoklatan, akan membuat gadis-gadis meneteskan liur bagai kucing melihat whiskas. “Mas gak usah diantar deh, aku kan udah ama Nindi, ya kan Nin?” Aku menggoyang lengan Nindy yang masih tetap terpesona oleh ketampanan Mas Reino. Nah, benar saja, pasti kesadaran Nindy entah di mana deh. Dari dulu dia memang memendam rasa pada Mas Reino tapi tidak berani menyampaikan dengan alasan klise, perbedaan status! “Reina, itu Mas Reino kenapa bisa cakep banget kayak gitu sih?” Malah itu yang diucapkan gadis manis di sebelahku ini. Mas Reino mengernyitkan keningnya, dia dengar itu, tapi diabaikan. Mungkin juga karena Nindi seumuran denganku jadi juga dianggap sebagai adik. “Nanti dulu, aku ada janji sama Stella dan adiknya. Kemarin sudah kutelpon mau nitipin kamu ke adiknya itu biar sekalian dijagain.” Hmm, mana ada anak lama dititipin ke anak baru masuk sih? Yang ada aku bakalan jadi baby sitter murid baru ini sepertinya. Tidak jauh dari tempat kami berdiri, terdengar suara pertengkaran yang membuat kami penasaran dan mencari asal suara. “Tapi Kak, aku tuh bukan penjaga penitipan tauuuk. Aku gak mau jagain siapa itu anak manja, namanya Reina itu. Udah gede juga kenapa masih dititip-titipin sih?” Eeh aku mendengar namaku disebut dengan tidak hormat. Kebiasaanku adalah jika aku merasa tidak nyaman, maka aku akan sedikit gemetar dan menunduk. Nindi yang paham itu segera merangkul lenganku. “Tenang aja Reina, gak usah didengar apa omongan bocah lelaki itu.” Katanya sambil mengelus lenganku. Kadang, aku merasa iri pada Nindi yang seperti hidup tanpa beban. Lahir dan besar di keluarga yang biasa saja, membuatnya bisa berekspresi dengan bebas, tanpa perlu menjaga image. Nindi adalah gadis pemberani, ceplas ceplos tapi tetap melindungiku. Salah satu sahabat yang aku sayang. “Nah itu temenku dek, ayook dah, gak usah jual mahal gitu. Buruuu bentar lagi bel loh. Kakak tunggu di sini, udah janjian sama kakaknya Reina sekalian ngobrolin kuliah.” Suara derap langkah kaki yang tergesa menuju ke arah kami dari belakang, membuatku semakin gelisah. Tapi kenapa pula aku harus gelisah? “Reinooo… sori telat, ini adek gue laki tapi lelet pisan euy.” Aku melihat ada seorang perempuan cantik memakai dress selutut menarik paksa tangan seorang anak lelaki tanggung, memakai seragam SMU dengan badge nama sekolah yang sama sepertiku. “Gak papa Stel, nyantei aja.” Wajah Mas Reino mendadak berubah semringah saat melihat Stella, apakah Mas Reino suka pada gadis cantik ini? “Lu kebiasaan deh No, kalau singkat nama orang seenak jidat, gak usah disingkat deh, panggil gue Stella aja, jangan disingkat!” Bentak si gadis tadi, sementara aku, Nindi dan bocah lelaki yang melihat ke arahku dan Nindi, hanya diam. “Iya Stella aja, beres.” “Serah elu deh. Nih, sesuai janji gue udah nitip pesan ke adik cowok gue ini untuk jagain adik elu.” “Kakak, aku bukan penjaga penitipan orang! Lagian tadi malam bilangnya kan cuma satu, kenapa sekarang ada dua cewek?” Suara bocah lelaki itu terdengar. “Hai dek, ooh adek gue mah satu doang yang tinggian dan nunduk terus itu, namanya Reina. Yang satu lagi itu temannya, namanya Nindi. Titip ya bro, jagain adek gue. Kalau ada yang macem-macem, sikat aja, ntar gue dukung.” Mas Reino menempelkan lengannya ke lengan bocah lelaki itu. Aku langsung kembali menunduk karena ditatap tajam oleh bocah ini. Ya Tuhan, ini kan hari pertama bocah ini sekolah, bukannya dilindungi yang ada malah aku gemetaran sendiri sama bocah lelaki ini. “Hmm tapi imbalan sesuai dengan yang dijanjikan ya Kak, cantik juga adik kakak ini!” Kata bocah tadi kepada Mas Reino. Entah kenapa tiba-tiba dia berubah pikiran mau jadi penjagaku. “Beres! Gampang itu. Kenalan dulu gih ke adek gue.” Bocah lelaki tampan tapi dengan senyum usil itu mendekatiku dan Nindi. Aku terpaku di tempat, tapi tetap menunduk. “Hai, kenapa nunduk terus? Ada duit ya di bawah situ? Kenalin, nama gue Abdi Abrian Abhyaksa alias Ab3. Jangan tanya kenapa nama gue bisa seunik itu. Tapi mulai hari ini, gue diminta kakak gue yang cantik tapi pemaksa, Kak Stella, sama kakakmu yang sok galak itu, untuk bisa jadi bodyguard yang siap melindungi.” Bocah itu mengulurkan tangannya, sempat beberapa saat tergantung di udara karena aku yang tidak segera menyambutnya. Hmm, Abdi Abrian Abhyaksa. Nama yang unik dan keren, sekeren bocah lelaki ini. *** Tanpa mereka berdua tahu nih, tulisan takdir hidup mereka bersinggungan. Abdi dan Reina, punya kisah cinta yang manis, berharap juga akan berakhir manis, semanis senyum nakal Abdi pada Reina. Tapi apakah kisah cinta itu akan berakhir manis juga?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD