Bab 2

1027 Words
Sorot matanya yang tajam dengan raut wajahnya yang nampak sedang marah membuatku merasa ngeri. Saat itu aku sedikit mundur untuk menghindarinya. Kukira dia benar-benar kesurupan. Namun aku segera mengetahui jawabannya setelahnya. Dia bukan kesurupan. Dengan bertingkah seperti itu, dia bermaksud memintaku untuk pergi tanpa harus melalui kata. Aku yang mengerti akan maksudnya pun perlahan mundur dan membiarkan dia untuk berpuas diri menangis di hadapan jenazah ibu. Kuusap lembut mataku. Masih ada air di sana. Ternyata tanpa kusadari, aku pun masih meneteskan air mata. Perpisahan itu begitu mengejutkan. Seolah-olah, semua kenangan bersama sang ibu akan terkubur bersama jasadnya. Dan ternyata, tanpa ada yang memintanya untuk mengakhiri apa yang ia lakukan pun, ia mengakhiri dengan sendirinya. Salsa berdiri dan berjalan dengan air mata yang membasahi seluruh area wajahnya. Ia tak sanggup melihat ibu yang ia sayangi terkubur bersama kain putih tak bermotif itu ke dalam tanah. "Ibu, Kak," ucap Salsa lirih. Waktu itu dia ada di sampingku dan tak berani melihat jenazah ibu dikebumikan. "Hei, sudah. Jangan nangis, ya! Ibu gak suka, lho, kalau putri kecilnya sampai nangis," ucapku. Dia diam. Hari itu adalah hari terburuk buatku dan juga buat keluargaku. Satu orang tersayang telah meninggal dunia dengan cara yang tidak wajar. Dan aku tahu kalau itu adalah ulah dari si majikan ibuku. Sialnya, tak ada hukuman yang ia terima. Padahal sudah jelas-jelas dia lah dalang di balik semuanya. Dengan alasan tak ada bukti, dia bisa bebas berkeliaran di luar sana. Aku pernah bertekad atas dasar kematian ibuku. Jika hukum di negeri ini sudah tidak bisa diandalkan, maka aku sendiri yang akan menghukum orang itu. Luka dibalas luka, nyawa juga harus dibalas nyawa. Tidak peduli apapun yang akan terjadi jika aku melakukan balas dendam nantinya. "Apa-apaan mereka itu? Apa bukti luka di kepala ibu masih kurang jelas, Pak? Kenapa orang kecil kayak kita selalu kalah sih, Pak?" Aku memprotes entah ke siapa setelah mendengar pengakuan bapak bahwa si pembunuh tak dapat dipenjarakan. "Sudah Niel. Kalaupun dia tidak mendapatkan hukuman di dunia, dia pasti akan mendapatkan hukumannya nanti kelak di akhirat," kata bapak. "Tapi Pak. Aku ingin dia mendapatkan hukuman di dunia juga. Aku tidak akan terima kalau dia bebas berkeliaran di luar sana, Pak," ucapku. "Sabar Niel, sabar," ucap bapak menenangkan aku. "Dia sudah membunuh ibu, Pak. Dia sudah membunuh ibu," ucapku lirih. "Aku gak terima. Sampai dia belum mendapatkan hukuman, aku gak akan pernah terima," lanjutku. Bapakku diam saja menyaksikan betapa marah dan sedihnya aku. "Aku akan nyari dia Pak, sampai ketemu. Kalau hukum di negeri ini nggak bisa adil, aku sendiri yang akan mengadili si pembunuh itu, Pak," ucapku lagi. Bahkan di usia yang segitu, aku sudah mempunyai pemikiran yang seperti itu. Kematian ibuku memang membuat banyak derita di kehidupanku dan keluargaku. Bapakku jadi sakit-sakitan, dan akhirnya harus diberhentikan dari tempat kerjanya, dan adik kecilku, Salsa, sering menangis jika mengingat ibu. Bahkan pernah suatu ketika ia lupa bahwa ibu telah tiada. "Bu, Salsa pulang," teriaknya setelah pulang sekolah. Saat itu aku juga sudah berada di rumah. Aku kaget ketika ia memanggil ibu, padahal kuingat, hari itu adalah sebulan lebih jaraknya dari hari kematian ibu. Bingung dan ragu, itulah yang kurasakan saat itu. Aku ingin mengingatkan padanya bahwa ibu telah tiada, tapi rasanya tidak tega. "Sa," panggilku waktu itu. "Iya, Kak. Oh, ya, ibu mana, Kak?" tanyanya waktu itu padaku. "Sa, sini!" ucapku waktu itu menyuruh Salsa mendekat ke arahku yang duduk lesehan di depan televisi. Ia menurut. Aku masih tak tega untuk mengingatkannya. Dia masih terlalu kecil, tapi sudah ditinggal mati oleh ibunya. Mungkin kesedihan yang ia rasakan jauh lebih besar daripada aku. Hanya saja bedanya aku dipenuhi oleh kebencian dan juga dendam. "Ada apa, Kak?" tanyanya padaku sambil duduk di depanku. "Nggak apa-apa." Aku tersenyum sambil mengelus rambutnya yang hitam dan halus kala itu. "Kamu gak lupa kan, kalau ibu sudah nggak ada?" tanyaku kemudian. Ia langsung diam. Dia terdiam cukup lama, kemudian menangis. Dia tidak menangis kencang, hanya terisak dan tangannya mengusap setiap air mata yang menetes. Sungguh aku tidak tega melihatnya kala itu. Perempuan yang masih duduk di bangku kelas 6 SD harus rela kehilangan sang ibu yang sangat ia sayangi. "Eh, kok nangis?" tanyaku. Jujur sebenarnya saat itupun aku juga ingin menangis, tapi kutahan. "Iya, Kak. Ibu kan, sudah meninggal," ucapnya sambil terus menangis. Seingatku, walau dengan keadaan yang juga tak kuat lagi membendung air mata, aku masih berusaha tetap tenang ketika itu hanya demi untuk membuat adikku berhenti menangis. "Kamu nggak boleh nangis. Nanti kalau kamu nangis, di sana ibu juga akan sedih. Jadi, kamu harus selalu ceria, biar ibu juga bisa selalu tersenyum. Kamu juga tidak boleh cengeng demi bapak. Bapak biarpun sakit masih semangat bekerja. Kamu mau lihat bapak juga menangis kalau lihat kamu nangis?" Aku berbicara dengan gaya sok kuat kala itu. "Enggak, Kak," jawab adikku sambil menyeka air matanya. Beberapa saat kemudian, ia memaksakan senyumannya. Aku pun juga tersenyum ke dia. Itu adalah saat-saat di mana bapak yang sedang sakit-sakitan harus tetap bekerja sebagai pemulung demi menghidupi anak-anaknya. Oh ya, sebenarnya, sebelum ibu tiada, bapakku memang sudah didiagnosa ada masalah dengan paru-parunya. Aku tak tahu secara pasti apa penyakit yang diderita bapak karena ia pun tak pernah mau memberitahu. Hingga ketika ibu meninggal, penyakitnya itu jadi semakin parah. Namun ia tetap memaksakan diri untuk bekerja. Pernah suatu saat, bapak mencari sampah-sampah plastik di sekitar sekolahanku. Maksudku sekolahan SMP ku. Waktu itu aku sedang ingin membeli sesuatu di sebuah toko yang berada beberapa meter dari sekolahanku. Ada satu cewek yang katanya suka padaku tiba-tiba ikut denganku kala itu. Cewek itu bernama Monic, dan sekarang, entah di mana ia berada, aku tidak peduli. "Aduh! Pulpennya." "Kenapa, Niel?" "Lupa belum beli pulpen. Kamu kembali aja dulu," ucapku. "Gak apa-apa, nih?" Dan permasalahannya adalah ketika aku kembali dari membeli pulpen. Dari jauh, kulihat bapakku sedang memulung sampah-sampah di sana. Ada Monic juga yang akan berjalan melewatinya. Aku segera ingin menyapa bapak. Namun belum sempat aku melakukannya, bapak secara tidak sengaja malah menabrak Monic hingga gadis itu terjatuh. Aku pun terdiam dan menantikan hal apa yang akan terjadi nantinya. Dan saat itulah, sebuah kejadian yang sangat tidak menyenangkan harus terhidang tepat di depan mataku. "Woi Pak tua. Kalau jalan tuh pakai mata, dong!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD