“Kenapa berita itu bisa menyebar!?” bentak Rama sambil melemparkan tablet-nya.
Beberapa orang yang ada di ruangan Rama, hanya pasrah menerima kemarahan bosnya. Itu memang salah mereka yang tak bisa menjaga rahasia.
“Siapa yang menyebarkannya?” tanya Rama, lalu melihat satu persatu karyawannya.
Perusahaan Rama sering melakukan kegiatan amal untuk membantu masyarakat. kali ini mereka akan membangun perumahan murah untuk ditinggali masyarakat kelas bawah. Proyek itu sudah berjalan sebagaimana mestinya. Gedung dibangun empat tingkat dan ada 20 kepala keluarga yang tinggal di sana. Namun, di luar perkiraan mereka, baru seminggu ditempati, sebagian gedungnya sudah roboh, padahal seminggu yang lalu Rama tak menemukan kesalahan apa pun. Laporan yang ia terima sesuai perencanaan, tetapi itu semua hanya kebohongan. Salah satu manajer yang mengurus proyek itu, terbukti telah menipu perusahaan dengan melakukan korupsi dan membawa kabur uang perusahaan.
“Cari dia sampai dapat, berani sekali menipu kita!” perintah Rama ke sekretarisnya. “Kalian semua pergi!” Pria itu menyuruh karyawan yang lain untuk pergi dari ruangannya. Menyisakan Evan—sekretaris Rama, orang yang sangat ia percaya.
***
Di lain tempat, di waktu yang sama, seorang wanita sedang bekerja. Seperti biasa, ia sangat tekun dalam mengerjakan pekerjaannya. Bahkan banyak sekali yang meminta bantuan Sera dalam menyelesaikan pekerjaannya. Sera Amanda, wanita yang memiliki wajah cantik sesuai dengan namanya. Terkenal rajin dan baik hati di kantor.
“Sera, ini dokumen yang akan ditandatangani Tuan Rama,” ucap Merlin—Manajer divisi Sera.
“Saya, Buk?” Sera tak percaya dialah yang akan menyerahkan itu ke CEO, selama ia bekerja, Sera sangat jarang berkomunikasi langsung dengan CEO mereka.
“Ibu saja, ya?” Sera berusaha bernegosiasi dengan Merlin. Ia tak berani masuk ke dalam ruangan CEO yang terkenal dingin dan tak tersentuh itu.
“Tuan Rama butuhnya sekarang, saya ada kerjaan yang mendesak,” kata Merlin lagi.
“Baiklah, Buk,” kata Sera pasrah.
Rama Mahendra–CEO Mahendra grup. Pria itu memang terkena sangat tegas dan disiplin, sedikit saja ada yang melanggar aturan yang dibuat Rama, nyawa bisa jadi taruhannya. Sang CEO selalu saja menatap dengan tatapan tajam, aura intimidasinya membuat semua karyawannya tunduk dan tak berkutik saat berhadapan dengan Rama
“Semangat Sera!” Sera menyemangati dirinya sendiri. Baru pertama kali ini, ia akan bertatapan langsung dengan Rama. Wajar saja Sera takut, terlebih image Rama yang memang terkenal kejam itu.
***
Sementara itu, di ruang kerja Rama. Sejak tadi Evan sudah berada di sana sedang membahas masalah kontraksi yang gagal dan semua yang terlibat harus menanggung akibatnya. Ya, Rama tidak akan melepaskan mereka begitu saja, terlebih banyak korban akibat semua itu.
“Cari tau siapa yang menyebar berita itu dan segera take down berita itu! Bahkan jika perlu habisi mereka!” perintah Rama. Ia sangat kesal dengan manajernya itu karena telah berani mengkhianatinya.
“Baik, Tuan.”
“Satu lagi, cari tau tentang keluarga mereka,” perintah Rama lagi.
Tanpa Rama sadari, Sera yang sejak tadi ada di depan ruangan mendengar semuanya. Ya, wanita itu memang sengaja menunggu Evan selesai bicara dengan Rama karena tak ingin mengganggu setelah melihat dari celah pintu ruangan yang sedikit terbuka jika keduanya tampak sedang terlibat percakapan yang serius.
“Jadi, Tuan Rama yang membuat kontruksi gagal?” Sera bertanya-tanya di dalam hatinya.
“Aku nggak nyangka Tuan Rama menipu semua orang, katanya ini proyek amal, tapi ….” Sera tak bisa berkata-kata lagi, ia kecewa dengan Rama.
Ia akui Rama sangat kejam, tetapi bukankah Rama terkenal baik hati? Suka membantu rakyat kecil, sering menggratiskan orang yang tak mampu untuk tinggal di salah satu gedungnya. Namun, hari ini justru kebalikannya yang ia lihat, Rama sangatlah jahat, apalagi ia tahu jika banyak nyawa yang menjadi korban akibat gagalnya kontruksi itu.
Sera beranjak sedikit ke kiri menjauhi pintu untuk pergi, tetapi tanpa sengaja ia membuat sebuah pot bunga jatuh.
“Argh ….” Sera merasa kaget karena tidak sengaja menyenggol pot bunga dan menimbulkan suara yang keras.
“Siapa itu!?” teriak seseorang dari dalam.
“Gawat! Apa aku ketahuan menguping?” batin Sera, ia menutup mulutnya agar tak menimbulkan suara.
Sera mendengar langkah kaki mendekat ke arahnya, mau kabur pun percuma. Jadi, ia memilih untuk tetap diam di tempat.
“Siapa?” tanya Evan sambil membuka pintu yang baru ia sadari jika tadi pria itu tak menutup pintu sampai rapat.
“Tuan, ini dokumen yang harus ditandatangani Tuan Rama,” kata Sera menyodorkan dokumen yang ia bawa. Menepikan sejenak rasa gugup, berharap agar Evan tidak tahu jika ia telah menguping pembicaraannya dengan Rama.
Sementara itu, dari dalam ruangan, Rama yang melihat Sera membawa dokumen untuknya pun langsung meminta wanita itu masuk. “Masuklah!”
Dengan takut-takut Sera melangkah masuk ke dalam ruangan Rama. Aura intimidasi dari atasannya terasa sangat kuat, bahkan dengan melihatnya saja Sera merasa sudah terintimidasi.
“Ya Tuhan, aku ingin cepat keluar dari neraka ini,” batin Sera merasa sangat takut. Ia melihat dengan jelas Rama menatapnya dengan sorot tajam, seakan-akan Sera adalah musuhnya.
“Mana dokumennya?” tanya Rama saat melihat Sera hanya berdiri saja di depannya.
“Oh iya, Tuan, ini.” Sera memberikan dokumen untuk ditandatangani oleh Rama.
“Sejak kapan kamu di luar?” tanya Rama sambil membuka dokumen.
“Hah?” Sera kaget dengan pertanyaan Rama yang tiba-tiba. Wanita itu pun langsung saja menengadah untuk melihat ke arah Rama. Tepat saat itu pula, Rama juga sedang menatapnya, tatapan mereka saling bertemu beberapa detik. Setelah sadar akan tatapan intens dari atasannya, Sera langsung mengalihkan pandangan matanya ke sembarang arah asalkan tak menatap Rama. Namun, sekilas Sera melihat tatapan lelah dari seorang Rama, bukan tatapan tajam seperti biasa.
“Ada apa dengan Tuan Rama?” Sera bermonolog dalam hati penuh pertanyaan. Namun, seketika ia tersadar jika mengkhawatirkan dirinya sendiri jauh lebih penting dalam situasi saat ini. “Tidak-tidak, itu tidak penting. Ingat! Sekarang nyawamu sedang di ujung tanduk Sera!”
“Apa kamu tadi menguping pembicaraanku dengan Evan?” tanya Rama dengan nada dingin. Pertanyaan yang tiba-tiba itu seketika membuat Sera semakin gugup.
“Hah? Tidak-Tidak. Hmm … itu.” Sera menghentikan ucapannya, ia mencari kata-kata yang tepat. Sementara Rama, masih menatap penuh curiga karena melihat gelagat aneh dari Sera.
“Tadi aku baru datang, Tuan! Ya, aku baru datang, tapi nggak sengaja nyenggol pot bunga. Maafkan saya, Tuan,” kata Sera dengan cepat, ia ingin cepat-cepat keluar dari ruangan Rama.
“Benarkah itu?” tanya Rama, curiga dengan perkataan Sera.
“Iya, Tuan, saya tidak bohong.” Sera berusaha santai saat mengatakannya. Ia tahu jika Rama sampai melihatnya ketakutan, pasti pria itu akan semakin mencurigai. Sera tak ingin hidup berakhir di pemakaman.
“Baiklah, silakan keluar!” perintah Rama tanpa bertanya lebih lanjut.
Tentu saja Sera kaget saat Rama mengatakan hal itu, semudah itu kah menghadapi Rama? Itu yang dipikirkan Sera.
“Saya permisi, Tuan.” Tanpa membuang waktu, Sera dengan cepat melangkah pergi dari ruang Rama. Dadanya terasa semakin sesak jika terlalu lama berada di sana.
Setelah Sera menutup pintu ruangan kembali, Rama langsung melihat asistennya yang masih ada di ruangannya.
“Cari tau tentang wanita itu! Jangan sampai dia membocorkan semuanya! Aku tahu dia pasti mendengar pembicaraan kita tadi,” perintah Rama, lalu fokus melihat laptopnya di atas meja.
“Baiklah, Tuan.”
Sama seperti Rama, Evan juga merasakan hal yang sama. Pria itu merasa jika Sera tadi sudah berbohong dan jelas dari sikapnya yang gugup jika wanita itu pasti mendengar semua yang mereka bicarakan tadi.
****
“Aku nggak akan mau lagi masuk ke dalam ruangan itu,” batin Sera masih memikirkan kejadian di ruangan Rama. Beruntung, Sera tak punya riwayat sakit jantung, kalau punya, mungkin Sera bisa mati mendadak tadi.
Tak terasa waktu pun berlalu dengan cepat. Jam kerja Sera yang begitu padat hari ini sudah usai. Waktunya ia pulang dan tidur di ranjang yang empuk. Sera pun tampak merapikan meja kerjanya dan bersiap untuk pulang.
Sambil menunggu lift, sesekali ia melihat jam di pergelangan tangannya. Ya, saat ini belum terlambat baginya untuk menunggu bus. Jadi, ia bisa lebih santai dan tak perlu terburu-buru keluar dari gedung perkantoran tempatnya bekerja.
Setelah menunggu beberapa menit, pintu lift pun terbuka. Namun, kedua matanya seketika membulat sempurna hingga langkahnya yang sudah terangkat, sekejap terhenti di udara tak berani berpijak untuk melangkah masuk.
“Hah! Tuan Rama?” Sera pun memaksa langkahnya mundur saat melihat Rama. Wanita langsung melihat sekeliling, sepertinya ia memang tidak salah masuk lift. Lalu, kenapa Rama bisa ada di lift karyawan?
“Masuk saja!” kata Rama dengan nada dingin dan terdengar begitu menusuk.
Sera sampai diam tak berkutik, ia begitu ketakutan saat ada di dekat Rama, terlebih jika mengingat lagi kejadian menakutkan di ruangan pria itu.
“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” batin Sera bertanya-tanya.
“Masuk, Sera!” bentak Rama, ia kesal melihat Sera hanya mematung diam, padahal ia sudah menahan agar pintu lift tak menutup.
“Maaf, Tuan ….” Sera dengan cepat melangkah masuk ke dalam lift, ia takut Rama bisa semakin marah padanya.
Sementara itu, Rama sejak tadi terus memperhatikan gerak-gerik Sera yang terlihat mencurigakan. Ya, wanita itu masih kelihatan gugup di depannya.
Mereka sama-sama terdiam, tak ada yang membuka suara. Sera dengan rasa takutnya, sedangkan Rama masih menatap Sera dengan sorot yang tajam.
“Kenapa Tuan Rama natapnya gitu banget?” Sera bertanya-tanya di dalam hatinya saat ekor matanya melirik ke samping. Mendapati jika atasannya sejak tadi terus menatapnya dingin. “Ngeri banget.” Sera bergidik ngeri. Namun, ia lebih memilih untuk pura-pura tidak tahu.
“Kenapa?” tanya Rama tiba-tiba yang justru semakin mengejutkan Sera.
“Tidak ada, Tuan,” kata Sera, sengaja tak melihat Rama. Ia lebih memilih melihat ke depan daripada menatap wajah dingin atasannya itu.
Tak lama, pintu lift pun terbuka. Sera lega karena mereka sudah sampai di lobi kantor. Itu artinya, ia sudah terbebas dari Rama.
“Mau pulang bersamaku?”
“Hah?” Sera kaget bukan main saat Rama menanyakan hal itu, apa? Pulang bareng? Apa ia tak salah dengar?
"Tidak perlu, Tuan." Sera tertawa kecil di akhir kalimat. Menolak dengan sopan tawaran dari atasannya itu.
"Untuk besok dan seterusnya kita akan pulang bersama!” ucap Rama dengan nada dingin dan begitu datar seolah tak ingin dibantah.
Mulut Sera sampai terbuka saat Rama mengatakan hal itu karena saking terkejutnya. "Ya Tuhan, ini bencana!" Sera bermonolog cemas. Menunduk, menyembunyikan wajah gugupnya. Ia merasa sudah melakukan kesalahan fatal sampai Rama mengatakan hal itu padanya. "Apa maksudnya? Kenapa Tuan Rama sampai menawarkan itu?" Sera bertanya-tanya dalam hatinya.