Suara langkah mundur dari sepatu flat milik Aveline terdengar menggema dengan lembut di ruang tamu yang megah namun sunyi itu.
Maniknya yang biru tak bisa berpaling dari sosok pria berjas hitam yang berdiri tak jauh darinya.
Sorot mata pria itu tampak terlalu tajam untuk diabaikan, terlalu dalam untuk ditebak. Bahkan kini udara di dalam ruangan itu terasa jauh lebih berat dari sebelumnya.
Aveline membuka mulutnya, namun ternyata suaranya tak kunjung keluar.
Ia harus memaksa dirinya untuk tetap berdiri tegak, meski kini lututnya terasa lemas dan jantungnya berdetak semakin cepat seperti ingin meloncat keluar dari d**a.
“Maaf,” ucap Aveline akhirnya, dengan suara pelan dan gugup. “Bolehkah aku... bertanya sesuatu?”
Dominic Wolfe tak menjawab dengan kata. Ia hanya menaikkan sebelah alisnya, seolah memberikan izin.
Sorot mata coklatnya tetap menusuk, seakan mampu menembus langsung ke dalam pikiran Aveline.
Gadis bersurai keemasan itu pun menelan ludah.. “Apakah... Anda yang selama ini membiayai kuliahku? Yang mengatur semua beasiswa, tempat tinggal, hingga dana hidupku?” Tanyanya dengan suaranya yang gemetar.
“Apakah benar itu... Anda?”
Hening sejenak. Dominic tidak langsung menjawab, alih-alih melangkahkan kakinya dengan pelan namun pasti ke arah minibar di sudut ruangan.
Ia menuangkan segelas wine merah untuk dirinya sendiri, lalu kembali berbalik dengan gerakan tenang menghadap Aveline.
Satu tangannya memegang gelas, dan satu tangannya lagi dimasukkan ke dalam saku celana.
Kemudian dengan ringan, pria itu pun mengangguk. “Ya.”
Satu kata itu meluncur dari bibirnya dengan dingin, berat, dan pasti.
Seketika Aveline pun menarik napas dalam-dalam.
Seharusnya ia merasa lega, karena jawaban itu adalah konfirmasi atas pencarian panjangnya selama tiga tahun.
Namun entah kenapa, untuk sekarang perasaan lega itu terasa jauh.
Terhalang oleh aura penuh intimidasi yang diam-diam menyelimuti seluruh sosok Dominic.
“Aku... aku minta maaf,” ucapnya cepat. “Sebelumnya, aku selalu membayangkan orang yang menolongku adalah... seseorang yang lebih tua. Seperti ayah, atau kakek. Maksudku, bukan... bukan seperti Anda.”
Dominic meneguk sedikit minumannya, lalu kembali menatap Aveline dengan sorot yang tak bisa ditebak.
“Jadi kamu membayangkan seorang pria tua, berjanggut putih, duduk di kursi goyang dan membaca koran sambil menyisihkan uang amal dari pensiunannya?” sergah Dominic, penuh makna sarkas dan sindiran yang nyata.
Aveline sontak tersipu malu dengan opininya sendiri. “Bukan begitu. Maksudku, aku tidak pernah menyangka penolongku ternyata adalah... Anda. Seseorang yang...”
Dominic menyipitkan mata. “Seseorang yang seperti apa?”
Aveline menggeleng buru-buru. “Seseorang yang... muda, berwibawa, dan... berkuasa,” tukasnya pelan, sebelum kemudian menunduk dalam-dalam.
“Tapi siapa pun Anda, aku sangat bersyukur. Terima kasih banyak atas semua yang telah Anda lakukan.”
Ia kemudian menatap pria itu dengan sorot penuh penghargaan. “Bolehkah aku tahu nama Anda, Tuan?”
Dominic menatap Aveline selama beberapa detik, sebelum akhirnya bicara. “Dominic Wolfe.”
Nama itu terdengar seperti palu yang jatuh ke lantai marmer. Tegas. Berat. Seperti sebuah keputusan mutlak yang tak dapat diganggu-gugat.
Aveline mengulang nama itu dengan suara hampir berbisik. “Dominic Wolfe...”
Dan manik birunya pun seketika membesar, saat menyadari bahwa nama itu bukanlah sekadar nama biasa.
Aveline pernah mendengarnya sebelumnya. Di berita, artikel bisnis, desas-desus industri.
Pria ini... adalah pemilik perusahaan Morningstar, Inc., sebuah perusahaan Investasi terbesar di Chicago, sekaligus sosok pria misterius yang penuh teka-teki.
“Terima kasih, Tuan Dominic Wolfe,” ucap Aveline lagi, dengan suara sedikit gemetar dan terbata.
Dominic masih diam, namun kini manik gelapnya beralih menatap bunga mawar kuning yang dibawa Aveline dalam genggaman tangannya yang gemetar.
"Apa bunga itu untukku?"
Aveline mengangguk. "Maaf, aku tidak tahu harus membawa kado apa untuk Anda."
Dominic bergerak, berjalan pelan ke arah Aveline untuk mengambil mawar kuning dari gadis itu dengan satu tangannya yang bebas, karena satu tangan yang lain masih memegang gelas alkohol.
"Baiklah, kuterima bunga ini darimu."
Keheningan yang kemudian mengikuti, terasa seperti dinding tebal dan tinggi yang memisahkan mereka.
Aveline masih berdiri dengan tangan lurus dan kaku di samping tubuh. Mencoba untuk tetap tenang, namun kegelisahannya tampak dengan sangat jelas.
Ia merasa seperti seekor kelinci mungil yang tersesat di sarang serigala.
Sorot dengan bola mata coklat milik Dominic Wolfe terlalu menusuk untuk dihindari, dan terlalu dingin untuk dilawan.
“Semua yang Anda lakukan... semua bantuan itu...” Aveline kembali berucap dengan perlahan.
“Aku tidak akan pernah lupa. Dan jika suatu hari nanti aku bisa membalas kebaikan Anda, aku akan melakukannya.”
Dominic memutar gelasnya, melihat isi minumannya sejenak, lalu dengan perlahan meletakkannya di atas meja kaca.
“Kenapa harus menunggu suatu hari nanti?” tanyanya datar. “Kenapa tidak sekarang saja kamu membalas budi itu?”
Aveline terdiam. Butuh waktu beberapa detik baginya untuk mencerna kalimat tersebut.
“A-apa maksud Anda?”
Dominic pun semakin maju beberapa langkah hingga kini jaraknya dengan Aveline terasa terlalu dekat dan terlalu mendebarkan.
Wajah pria itu masih tampak tenang, dan suaranya masih terdengar rendah.
Namun atmosfer di ruangan itu seolah berubah, menjadi lebih... berbahaya.
“Jika kamu ingin membalas semua yang kulakukan,” cetusnya pelan namun tajam, “kenapa tidak sekarang saja?”
Sekarang Aveline pun menjadi panik. “Aku... aku tidak punya uang sebanyak itu, Tuan Dominic. Aku tahu jika biaya kuliahku kemarin itu sangat mahal. Dan... aku belum punya pekerjaan...”
Dominic mengangkat sebelah tangannya ke atas, membuat Aveline seketika langsung terdiam.
“Aku tidak butuh uangmu, Aveline.”
Gadis itu menelan ludah. Matanya pun berkedip cepat penuh antisipasi.
Dominic menyeringai tipis, tapi bukan senyuman yang hangat. Lebih menyerupai ekspresi predator yang baru saja mengunci target mangsanya.
“Tapi kamu tetap bisa membayarnya dengan cara yang lain.”
Aveline menatap Dominic dengan sorot bingung. “C-cara lain?”
Dominic mendekat satu langkah lagi, membuat jarak di antara mereka cukup dekat hingga Aveline dapat mendengar desah napas berat pria itu, serta aroma parfumnya yang semakin jelas terhirup.
“Bayar saja dengan tubuhmu,” ucap Dominic dingin.
“Setiap hari. Setiap malam.”
***