Night 9: The Crowd°

759 Words
Temperatur kamar turun drastis. Udara menjadi berat dan berbau apek. Lampu mati-hidup membuat ruangan gelap terang bergantian. Barang-barang bergetar seperti ada gempa bumi. Wujud-wujud yang tadinya berupa orang berubah menjadi kabut hitam dengan puluhan mata putih kecil melayang mengelilingi ruangan. Delisha masih berdiri di ranjang. Bulu kuduknya berdiri. Hantu-hantu yang dihadapinya hantu yang lemah, tetapi jumlah mereka sangat banyak, sehingga energi negatif yang terkumpul menimbulkan efek telekinesis yang cukup kuat untuk mengangkat barang-barang kecil dan melempar ke arahnya. Delisha menangkis sebuah lampu meja yang melayang cepat dengan bantal. Silih berganti barang-barang dalam ruangan beterbangan ke arahnya. Pesawat telepon, teko pemanas air, televisi, remote, cangkir dan sebuah kursi. "Kyaah!!" Delisha terpekik. Dia bisa menepis barang-barang kecil, tetapi ketika televisi layar datar 32 inchi melayang ke arahnya, dia harus berguling turun dari ranjang dan merunduk. Televisi itu hancur membentur dinding. "Berengsek!" maki Delisha sambil bangkit dan meraih jaketnya di kastok. Delisha berlagak berani walaupun dalam hati ketar-ketir ketakutan. Dia mengambil koper dan tas dari dalam lemari lalu menuju pintu untuk ke luar. Namun, pintunya tidak bisa dibuka. Berkali-kali Delisha menarik-narik pintu, tetapi pintu bergeming, sementara sebuah kursi melayang ke arahnya. "Kyaa!!" pekik Delisha sambil berkelit. Bruak!! Kursi itu membentur pintu dan patah beberapa bagian. Kabut hitam kumpulan arwah gentayangan bergerak ke arahnya. Delisha menodongkan emblem The Lady. Kumpulan arwah itu memudar dan ketika Delisha menarik pintu, pintu terbuka dengan mudahnya. "Sialan! Sialan!" Delisha memaki pengganggunya. Dia berhasil ke luar kamar. Delisha berharap dia bisa segera pergi. Ternyata harapnnya tak semudah itu kabul. Di koridor kamar hotel, dia dibuat tersentak lagi. Sosok-sosok hitam dan putih memadati koridor yang harus dilaluinya. "Ya Tuhan!" gumam Delisha dengan pundak bergidik. "Tempat apa ini?" Dia meringis ngeri. Apa ini semacam kuburan massal atau tempat pembantaian? Tangan-tangan pucat keriput berusaha menjangkaunya seolah dia seorang idola dan para penggemar ingin menyentuhnya. Dia berlari menembus kerumunan makhluk tak kasatmata itu. Lari secepat mungkin dan sejauh yang dia bisa. Namun sesuatu menahan kopernya. Tangan-tangan pucat keriput menarik kopernya. "Jangan pergi ...! Tolong kami ...!" Suara sayup-sayup menyayat hati berbicara padanya. "Ah, berengsek!" bentak Delisha. Dia menarik kopernya sekuat tenaga dan hampir terjungkal ketika tiba-tiba kopernya dilepaskan. Bergegas dia berlari sambil menarik kopernya menuju lift. Dia menekan tombol lift berkali-kali, seolah itu bisa mempercepat lift tiba di tempat. Sosok-sosok arwah hitam putih dengan rambut panjang dan tubuh keriput pucat mulai mengelilinginya. Delisha menatap ke lampu angka di atas pintu lift, menghindari menatap ke dalam mata hitam para hantu itu. Ding! Begitu pintu lift terbuka, Delisha menerobos kerumunan yang mengelilinginya dan bergegas memencet tombol penutup pintu. Beberapa makhluk tak kasatmata itu turut masuk ke dalam lift, memojokkannya hingga tersandar ke dinding. Namun, entah apa yang menahan mereka sehingga tidak menyentuh tubuhnya. Mungkin karena emblem The Lady di tangannya. Hmm, suatu keputusan yang tepat bagi Kimberly untuk menyerahkan emblem itu padanya. "Menjauh dariku!!" pekik Delisha sekencang-kencangnya. Makhluk-makhluk itu mendadak panik dan mereka bergumam gelisah, saling pandang, lalu satu persatu menghilang. Akhirnya lift mulai bergerak turun ke lobi. Delisha menarik napas dalam dan mengembuskan lega. Tanpa Delisha ketahui, dalam lift di jalur sebelahnya, Devdas Star Tailes beserta lima anak buahnya tengah menuju ke lantai atas. Makhluk-makhluk halus itu merasakan kehadiran pria itu dan mereka pergi karena takut padanya. Ding! Pintu lift baru separuh terbuka, Delisha langsung berlari keluar. Dia melihat seorang resepsionis laki-laki berjaga di meja lobi. Dia mengenakan jaketnya dengan terburu-buru. Dia bahkan tidak mengenakan alas kaki. Penampilannya benar-benar kacau. Dia memasang kacamata hitam dan merapikan rambutnya sedikit lalu berjalan melintasi lobi dengan tubuh ditegakkan dan dagu terangkat, sebisa mungkin tampak anggun. Nasib baik ketika keluar dari pintu utama hotel, mobil jemputannya tiba. Vijay yang berada di kemudi buru-buru turun dan membantu mengangkat kopernya ke dalam bagasi. Delisha sempat menangkap tatapan heran laki-laki itu padanya. Dia bisa memahami arti tatapan itu. Wanita mana yang lewat tengah malam dalam baju tidur tanpa alas kaki, berkacamata hitam, kabur dari sebuah hotel mewah. Bagaimanapun kacaunya kondisi saat itu, dia merasa lebih baik pergi daripada menghabiskan malam bersama kerumunan arwah gentayangan. "Apa yang terjadi, Nona?" tanya Vijay sambil memacu mobil meninggalkan halaman hotel. Delisha duduk di kursi penumpang dan tersandar dengan wajah pucat pasi. Jika reviewer hotel mendengar penyebabnya meninggalkan hotel sedemikian rupa, bisa dipastikan bintang Hotel Golden Star akan jatuh jauh sekali. "Tempat tidurnya penuh kutu busuk! Aku tidak akan membiarkan mereka menghisap darahku walaupun setetes!!" omel Delisha. "Ke mana kita akan pergi, Nona Marianne?" tanya Vijay kemudian. "Ke mana saja, asal jauh dari tempat ini!" jawabnya ketus. Akhirnya Vijay mengemudi keliling kota sampai pagi menjelang, sementara Delisha tertidur lelap di kursi penumpang. *** Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD