Night 31: Crazy

2447 Words
* Delisha pertama kali memiliki ketertarikan khusus terhadap seorang pria dan untuk kali ini, dia merasakan betapa tidak enaknya cemburu. Meringkuk dalam kegelapan, menahan dinginnya malam dan terpapar udara malam yang lembab, kaki kesemutan dan digigiti nyamuk, sementara nun jauh di sana, pria dan wanita duduk berduaan menikmati hidangan makan malam ditemani lilin dan sebuket bunga mawar merah. Kedua orang itu makan malam di sebuah restoran bergaya Eropa kontemporer dengan meja dan kursi berbentuk bulat terbuat dari besi berlekuk. Jendela-jendela kaca bening di sepanjang dinding mempertontonkan kemewahan dalam restoran tersebut. Delisha menilik lewat teropong binokuler. Bibirnya dimonyongkan tertekuk ke bawah, mencibir kelakukan Imdad Hussain pada teman kencannya. Dia melihat mereka sesekali menyesap anggur, berbincang-bincang dan tertawa-tawa, lalu berciuman mesra. Silakan, cium tuh hyena! maki Delisha dalam hati. Wanita yang bersama Imdad itu sangat cantik dengan bibir merah dan rambut hitam tergerai bak satin. Namun dalam penglihatannya wanita itu hanyalah seekor hyena hitam yang siap menerkam. Delisha dan Sunil memantau Imdad dari atap sebuah gedung bertingkat 10. Melihat ke bawah, restoran tersebut merupakan bagian dari penginapan model kondominium-kondominium kecil dengan dua kamar tidur. Selain makan malam di restoran, Imdad juga membooking sebuah kondominium. Pria itu benar-benar ingin mendapatkan suasana pribadi dan intim dengan wanitanya. Rambut cokelat Delisha dikepang dan disanggul melingkar di belakang kepalanya, mengenakan setelan terusan hitam layaknya ninja. Dia melengkapi diri dengan dua buah revolver berperedam di pinggang. Dua buah belati kecil tersembunyi di pergelangan kakinya. Delisha mempersiapkan dirinya untuk bertarung. Dia akan menyerbu Imdad dan pasangannya jika waktunya tiba. "Kenapa kita mesti menunggu lama di sini? Bukankah posisi Imdad dan wanita itu sudah jelas?" gumam Delisha. "Sesuai instruksi Tuan Imdad, Marianne-ji, kita memantau dari jauh saja, mencari orang yang gelagatnya mencurigakan dari kejauhan." Sunil menjelaskan. "Dua kali usaha pembunuhan Tuan Imdad dengan bom mobil gagal. Tuhan sangat menyayangi Tuan Imdad, ia selalu lolos dari maut. Walaupun sangat disayangkan dua orang anggota kami menjadi korban. Tuan Imdad sangat sedih apalagi penyelidikan kami belum dapat mengungkapkan identitas dalang semua ini. Kali ini mereka mengirim kontak langsung untuk menghabisi Tuan Imdad. Wanita itu adalah seorang pembunuh bayaran bernama Soraya.Tuan Imdad terang-terangan menjadikan dirinya umpan. " "Mudah saja bagi Tuan Imdad untuk menghabisinya, tetapi Tuan Imdad ingin mempergunakan wanita itu untuk memancing rekan-rekannya dan menangkap mereka, dengan begitu, kami berharap mendapatkan sumber informasi yang lebih banyak. Tuan Imdad perlu tahu lebih jelas siapa yang mengirim Soraya." Celah antara dua alis Delisha berkerut dalam. Memang, dari segi persaingan bisnis bisa saja ada yang ingin mengambil jalan pintas untuk menyingkirkan lawan, akan tetapi jika sudah sampai ke tahap usaha pembunuhan terencana, orang tersebut pasti menganggap Imdad lawan yang sangat berbahaya. Setelah berjam-jam acara makan malam romantis yang tampak memuakkan itu, Imdad dan Soraya menuju kondominium mereka. Dua orang itu saling mendekap sambil menapaki jalan berbatu. Soraya tertawa dan terpekik geli ketika Imdad menciumi lehernya, mendekap erat tubuhnya dan mencumbunya, lalu membawa wanita itu dalam gendongannya masuk ke dalam kondominium. Delisha mengepalkan tinjunya. Tunggu saja, wanita jalang, jika aku turun tangan, kubuat kau babak belur!! maki Delisha dalam hati. Sunil meneropong ke area sekitar kondominium dan ia melihat sebuah mobil SUV hitam dengan lampu dimatikan, berjalan pelan di antara pepohonan dekat kondominium, bersembunyi di kegelapan. Lima sosok dalam setelan hitam bertutup kepala ala ninja keluar dari dalam mobil. "Lihat, Marianne-ji, sepertinya yang kita tunggu-tunggu telah tiba. Mereka pasti rekan Soraya." Delisha memasang matanya ke teropongnya sendiri dan menyorot ke arah yang dimaksud Sunil. Tampak satu orang sosok hitam memberi komando pada empat sosok yang lain. Empat sosok itu mengendap-endap menuju kondominium yang dipergunakan Imdad, sementara sosok yang memberi komando masuk ke dalam mobil lalu meninggalkan tempat itu. "Ah, sialan, kepalanya ditutupi! Kalau begini sia-sia usaha Tuan Imdad untuk mengungkap identitas orang itu!" tuding Sunil. Delisha menurunkan teropongnya dan menatap Sunil. Pria berwajah cemas itu meliriknya lalu balas menatapnya dengan penuh tanda tanya. "Ada apa, Marianne-ji? Apa ada sesuatu yang ingin kau katakan?" "Orang itu Aftab Shivdasani, Manajer Hotel Golden Star," ujar Delisha. Mata Sunil membelalak mendengarnya. Pria itu membuka mulut tetapi tak mampu berucap sepatah kata pun. Walaupun mengenakan penutup wajah serta setelan seluruh tubuh, hal itu tak menghalangi mata Delisha untuk melihat aura seseorang. Tentu saja dia mengenali monster laba-laba raksasa yang ditemuinya di Hotel Golden Star, tidak lain dan tidak bukan, yaitu Aftab Sivdasani. Sambil menepuk pundak Sunil, wanita itu berdiri dan berkata penuh semangat, "Ayo kita turun, Tuan Imdad mungkin membutuhkan bantuan kita untuk menangani para pembunuh bayaran itu." Tanpa menimbulkan suara dua orang itu menuruni gedung menggunakan tali baja dilengkapi pengait dan katrol otomatis. Mereka berlari sambil merunduk di antara semak dan pepohonan menuju kondominiumminium tempat Imdad berada. Empat orang penyusup sudah memasuki kondominium melalui pintu belakang yang sengaja tidak dikunci oleh rekan mereka, yaitu Soraya. Delisha dan Sunil mengendap-endap di dinding luar kondominium dan mendengar suara gaduh disertai erangan kesakitan serta beberapa kali suara desingan peluru. Mereka bergegas masuk ke dalam kondominium sambil memegang pistol masing-masing. Lampu ruang tengah menyala memudahkan mereka melihat keadaan di dalam kondominium. Delisha dan Sunil mengacungkan pistol mereka ke arah kamar tidur yang temaram. Pintunya terbuka lebar. Tak ada lagi suara-suara gaduh yang semula mereka dengar. Sunil bersandar ke dinding mendekati pintu. "Tuan Imdad?" Ia berseru ragu. Tak ada jawaban. Delisha melirik ke dalam kamar dari seberang ruangan itu dan melihat pendar keemasan tubuh Imdad bergerak bangkit dari tepi ranjang lalu membungkuk untuk mengenakan celana panjang. "Raj?" panggil Delisha, membuat sosok berpendar itu membeku sesaat. Delisha dan Sunil memasuki kamar dan ketika Sunil menyalakan lampu tampaklah kondisi dalam kamar itu. Bekas peluru mendarat di dinding, lemari serta ranjang. Empat jasad dalam setelan hitam tergeletak di lantai dengan luka tembak di tubuh mereka. Jasad-jasad itu memegang senjata api berperedam khas pembunuh bayaran. Darah mulai merembes keluar dari jasad-jasad itu. Tubuh wanita tanpa busana telentang di atas ranjang dengan luka bekas sabetan pisau menganga di lehernya. Rambut hitam wanita itu tergerai di tepi ranjang, dengan mata dan mulut terbuka lebar, kepala terdongak karena lehernya nyaris putus. Percikan darah mengenai kepala ranjang, dinding dan perabotan sekitar. Sprei putih ranjang itu bernoda merah tua yang perlahan-lahan melebar mulai dari bawah tubuh si wanita hingga hampir memenuhi seluruh permukaan sprei. Mata Delisha mengerjap-ngerjap melihat pemandangan itu. Tanpa perlu dijelaskan dia tahu apa saja yang dilakukan Imdad pada wanita itu. Dia merasa tak senang, sekaligus berusaha logis. Hal itu terjadi karena Imdad menjalankan misi. Dia memusatkan perhatiannya pada jasad-jasad di kamar itu. Dia tak melihat pancaran aura apa pun dari jasad-jasad itu, karena mereka sudah mati. Arwah mereka juga tidak terlihat, kalaupun mereka jadi arwah gentayangan mungkin beberapa hari kemudian baru muncul. Imdad tak punya pilihan lain kecuali menghabisi nyawa mereka semua. Imdad mengenakan kemeja tanpa mengancingnya, menampilkan dadanya yang berotot padat basah oleh keringat, serta percikan darah. Noda darah turut mewarnai kemeja putih polos itu. Ia menatap Delisha yang tengah mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Kehadiran wanita itu sangat tidak diharapkannya. "Bos, Anda tidak apa-apa?" tanya Sunil sambil menyimpan senjatanya dan mendekati Imdad. Ia melihat-lihat kalau ada luka di tubuh pria itu. "Aku baik-baik saja," jawab Imdad tanpa mengalihkan pandangannya dari Delisha. Sorot matanya dingin dan tajam pada wanita itu. Kepolosan yang ditunjukkan wajah wanita itu membuatnya ingin menekan dan mengintimidasinya agar menyadari kebrutalan seperti inilah yang harus dilakukan seorang agen demi bertahan hidup atau sekadar menyelesaikan misi. Imdad menarik selimut dan melemparnya ke atas jasad wanita di ranjang untuk menutupi tubuh bugil itu. Cairan merah tua kental langsung menjalar ke kain putih itu. Bertindaklah profesional! Delisha mengingatkan dirinya agar jangan terbawa emosi. Dia menyibukkan diri dengan memeriksa jasad para pembunuh bayaran di lantai. Penutup kepala mereka dibuka dan memeriksa barang-barang di tubuh mereka kalau ada sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk. Di samping itu, dia berusaha menghindari tatapan Imdad padanya. Pria itu sekarang sangat berbeda dari yang biasa dilihatnya. Ia tetap berpendar keemasan, tetapi sorot matanya sangar dan kejam. Tak ada lagi sorot hangat dan bersahabat. "Apa kau mengetahui identitas orang yang mengirim mereka?" tanya Imdad pada Sunil. Ia memunggungi pria itu. Tangannya memasang sebagian kancing kemejanya, membiarkan bagian da.da tetap terbuka. "Nomor plat mobil mereka sengaja ditutupi, bos dan orang yang mengomando mereka mengenakan penutup kepala, foto dan rekaman yang didapat rasanya tidak akan bayak berguna," jawab Sunil sambil membersihkan belati yang digunakan Imdad untuk membunuh Soraya. Ia juga menyimpan pistol yang telah digunakan Imdad serta beberapa alat penyadap ke dalam koper kecil. "Oh!" Imdad terdengar kecewa. "Tetapi kata Nona Marianne orang itu adalah Tuan Aftab Shivdasani, Manajer Hotel Golden Star," imbuh Sunil. "Aftab?" ulang Imdad sambil menoleh pada Sunil. Ia mengenal Aftab. Mereka satu alumni universitas dan berasal dari panti asuhan yang sama, Khuda Jaane. Pria itu menggoyang-goyangkan kepalanya. "Haan, Imdad-ji. Suatu keberuntungan Nona Marianne menemani saya kali ini. Sekali lihat saja dia langsung tahu siapa orang itu. Agen dari Xin Pusat benar-benar top!" Imdad berpaling pada Delisha. Delisha sedang membungkuk memungut sebuah ampul dilengkapi dua jarum kecil dari lantai. Tampak cairan kental kehijauan dalam ampul seukuran jari kelingking itu. Melihat posisi jatuhnya dekat ranjang, sepertinya Soraya ingin menusukkan ampul tersebut sambil bergumul dengan Imdad di ranjang. Sekarang wanita itu mati dengan sayatan di lehernya, Delisha merasa kesal. Akan lebih memuaskan seandainya dia yang menghabisi wanita itu. "Racun dari bisa ular kobra India," gumam Delisha sambil mengangkat ampul tersebut ke depan matanya "Dalam dosis satu ampul ini akan membuatmu lumpuh dan merasa sakit teramat sangat namun tak dapat bergerak, hingga ajal menjemputmu dalam 5-10 menit karena serangan jantung mendadak. Sepertinya dia ingin membuat kematianmu seperti kena gigitan ular." Kematian karena gigitan ular adalah hal yang biasa terjadi di India. Dia lalu menatap pada jasad Soraya. "Wanita ini pantas mati." "Serahkan benda itu pada Sunil, mungkin bisa digunakan untuk melacak dari mana mereka mendapatkan benda itu," suruh Imdad. Delisha menyorong ampul itu pada Sunil. Kembali, dia sibuk memeriksa hal-hal lainnya, seperti cat kuku warna apa yang digunakan Soraya dan sedalam apa gorokan yang dibuat Imdad pada leher wanita itu. "Bagaimana kau bisa tahu pria itu Aftab?" tanya Imdad pada wanita yang tampak penakut tetapi tahu banyak hal itu. Ia mendekati Delisha untuk memperkuat intimidasinya. Delisha menjadi gugup dan dia terpojok ke lemari di belakangnya. Oh, Imdad, aku tahu karena mataku bisa melihat hal-hal tak kasatmata, Delisha ingin sekali berkata begitu tetapi dia tidak bisa. "Dari bentuk tubuhnya," jawab Delisha sekenanya, "dan dari cara pria itu berjalan." Imdad tampak belum puas dengan jawabannya. Pria itu berusaha menatap ke dalam matanya. "Apa kau tidak tahu? Cara berjalan seseorang itu seperti sidik jari, tiap orang memiliki ciri khas." Delisha mencoba berargumen dengan gaya sok tahu. Imdad tahu hal itu, hanya saja cara wanita itu bicara tidak meyakinkan. Seperti anak kecil yang berusaha berbohong. "Aku bertemu dengannya dua kali di Golden Star. Ia bahkan mengajakku melihat-lihat fasilitas hotel." Delisha menjelaskan. "Ia pria yang sangat ramah, aku tak menyangka ia berniat menghabisimu." Delisha tiba-tiba merasa penasaran. Dia memicingkan matanya pada Imdad. "Hmm, memangnya kalian ada masalah apa sampai-sampai ia berniat membunuhmu? Hmm?" Imdad berbalik memunggunginya. "Bisnis!" jawabnya singkat lalu menjauh dari Delisha. Ia segera memerintahkan Sunil memanggil tim penanganan pasca misi, yaitu tim yang membereskan segala bentuk kekacauan yang telah terjadi, termasuk menangani jasad. Merasa Imdad sekarang berusaha menghindar, Delisha menjadi semakin ingin tahu. Dia mengiringi Imdad keluar dari kamar. Pria itu melangkah lebar dengan kaki panjangnya sehingga Delisha setengah berlari untuk mengimbanginya. Mereka melintasi ruang tengah. "Bisnis?" tuding Delisha. "Jika ini hanya soal bisnis, dengan kondisi sekarang Golden Star, maupun Star Corp dapat bersaing dengan Xin India secara wajar di dunia bisnis. Berusaha membunuhmu berkali-kali dengan bom dan mengirim satu tim pembunuh bayaran, Imdad, ini bukan lagi soal bisnis biasa. Ini sesuatu yang sangat sensitif dan krusial." Imdad membuka pintu sebuah kamar tidur dan memasuki kamar tersebut sementara Delisha terus mengiringinya. "Aftab Shivdasani kemungkinan besar memiliki dendam padamu. Aku tahu kalian satu alumni dan sama-sama dibesarkan di Khuda Jaane. Apa yang telah terjadi di antara kalian berdua?" cecar wanita itu. Imdad berhenti mendadak menyebabkan wanita itu menubruk punggungnya. Dengan cepat ia berbalik dan berkacak pinggang, menunduk untuk menatap ke dalam mata wanita yang sekarang wajahnya nyaris menempel ke dadanya. "Nona Marianne, ada satu hal lagi yang harus kau pelajari!" ujarnya dingin dibalas dengan mata bundar cokelat hangat berkedip-kedip. "... yaitu harus tahu kapan saatnya berhenti." Bibir ranum kemerahannya sedikit terbuka karena menarik napas terkesiap. Sebagai seorang agen, Imdad mengenal banyak agen wanita. Mereka anggun, tegas, meyakinkan dan memesona, berpengalaman, tahu cara memikat lawan jenis. Wanita yang satu ini, Imdad berusaha mencari kata yang tepat, butuh bimbingan. "Semakin kau berusaha menjauhiku, kau malah semakin mendekatiku. Sekarang aku yang berusaha menjauhimu, kau tetap saja mendekatiku. Nona Marianne, sebegitu besarnyakah rasa tertarikmu padaku? ... seperti anak anjing yang menemukan tuannya," ujarnya sinis. Delisha gentar. Matanya mulai berkaca-kaca. Perumpamaan itu menusuk relung hatinya. "Imdad, kenapa kau berkata seperti itu? Kau tidak seperti biasanya ...," gumamnya sambil melangkah mundur. Dia merasa perumpamaan itu benar. Sekarang dia seperti anak anjing yang ketakutan dimarahi tuannya. Mata Imdad menggelap dengan dagu terangkat, menatapnya tajam, maju selangkah demi selangkah mengiringi langkah mundur wanita itu. "Saat seseorang mati di tangan kita maka sebagian manusia dalam diri kita juga ikut mati, Nona Marianne, kau harusnya tahu itu," sindir Imdad. "Aku yang saat ini berdiri di hadapanmu, mungkin akan menjadi orang yang sangat berbeda nantinya." Pandangan mereka berdua saling terkunci. Delisha membisu. "Jadi, kuperingatkan padamu, Nona ...," lanjut Imdad, "… menjauh dariku selagi kau masih bisa." Delisha menggeleng cepat. "Aku tidak bisa!" jawabnya hampir berbisik. Pria itu terus memojokkannya. Pintu di belakang Delisha tertutup dan wanita itu tersandar ke daun pintu. Ia mengungkungnya dengan kedua lengannya. "Kenapa? Apa kau tidak takut denganku?" Delisha menelan ludah tecekat. "Jauh darimu ... lebih menakutkan," desahnya dengan bibir bergetar. Melihat ketidakberdayaannya, Imdad menangkup bibir wanita itu dengan bibirnya. Menyesapnya kuat dan dalam. Memberinya pelajaran. Delisha kewalahan mengantisipasi ciuman itu. Dia mengerang pendek karena kesakitan. Dia merasakan asin darah dalam mulutnya. Tubuh pria itu menekannya seakan memaksakan diri. Tarikan napas dalam membuat bau anyir darah dari tubuh Imdad tercium kuat. Jemari halusnya mencengkeram d**a Imdad beserta kemejanya yang terbuka. Dia berusaha mendorong tubuh pria itu, tetapi tenaganya melemah, kehilangan daya karena mulai terbawa hasrat mendamba yang diluapkan pria itu. Delisha tidak bisa berpikir lagi. Matanya terpejam dan seluruh tubuhnya bergetar halus. Ketika Imdad melembutkan ciumannya, dia tak bisa menahan tangannya untuk melingkar di bahu pria itu, menggelayut di sana dan membiarkan pria itu membawanya dalam dekapan. Ini gila, tapi aku merindukannya. Since my gaze has gotten struck with Yours, I've become crazy I've become crazy, I've become crazy Everyone says that Mastani has become crazy Deewani Mastani -- Bajirao Mastani
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD