[2]

2161 Words
Kota Terassen Ibu Kota Kerajaan Odor Istana Odor, 2001 Suara gerbang istana yang terbuka diiringi dengan suara decitan, seolah saling bergesekan untuk menyambut kepulangan orang terpenting dan terpercaya di kerajaan itu. Langkahan kaki kuda silih berganti memasuki istana yang di d******i dengan hiasan berwarna merah. Tak! Tik! Tuk! Suara sepatu kuda perlahan menghilang. Keret aitu berhenti tepat di sebuah pintu masuk istana megah. Dua orang penjaga yang semula terdiam dengan wajah tak berekspresi langsung berjalan menghampiri kereta yang baru saja tiba. Setiap gagang pintu kereta dipegang oleh sang penjaga dan secara bersamaan dibukanya pintu itu. Kaki jenjang yang dibalut dengan kaus kaki tinggi berwarna putih muncul dari dalam kereta. Lengkap dengan sebuah heels berwarna hijau, perempuan itu melangkahkan kakinya keluar dari dalam kereta. Gaun hijau dengan aksen berwarna coklat langsung menyentuh tanah ketika sang penggunanya menampakan diri di depan gerbang. Perempuan itu mendongakkan kepalanya dan melihat sekitarnya. “Tempat ini masih sama rupanya,” gumam perempuan itu. Seorang pria yang tadi duduk di kursi kemudi bagian depan segera menghampiri perempuan itu dan memberikan tangan kirinya untuk digandeng. “Mari saya antar anda ke dalam, Nyonya Yuhwa,” ujar pria berambut pirang yang berprofesi sebagai supir pribadi sekaligus pengawal dari perempuan bernama Yuhwa. Yuhwa – sang peramal, melangkahkan kakinya masuk ke dalam istana megah itu. Sesekali mulutnya berdecak kagum dengan keindangan istana itu. Sudah delapan tahun ia tidak pernah menapakkan kakinya ke sana. Meski sebagian besar bentuk bangunan istana masih sama seperti 8 tahun yang lalu, namun beberapa aksen baru yang ditambah untuk menghiasi dinding membuat Yuhwa semakin terkagum, terutama desain unik yang menambah kesan mewah pada Kerajaan Odor itu. Di ujung ruangan, terdapat sebuah singgasana yang megah. Di sana lah tujuan akhirnya, yaitu untuk menemui sang Raja Odor, Matthew. Yuhwa menghentikan langkahan kakinya dan melepas kaitan tangannya pada lengan supirnya tadi. Ia menundukan diri memberi hormat dengan khidmat lalu menatap pria yang sedang duduk di singgasana-nya. “Selamat siang, Tuan. Saya Yuhwa telah kembali ke istana dengan selamat,” ujar Yuhwa sembari tersenyum. Pria dengan perawakan sedikit gemuk, mata biru, kulit putih yang dihiasi dengan pakaian mewah berwarna senada dengan istananya segera bangkit dari duduknya. Ia berjalan menghampiri Yuhwa dan menepuk bahu wanita itu perlahan. “Terima kasih sudah kembali dengan selamat. Bagaimana perjalananmu selama delapan tahun dalam misi mengunjungi seluruh penjuru Locaste?” tanya Matthew. Yuhwa menundukan kepalanya sebagai rasa hormat yang ia berikan kepada Matthew – sang Raja Kerajaan Odor. “Sangat menyenangkan, Tuan. Saya sangat menikmati perjalanan saya dalam mencari berbagai informasi serta memberikan ramalan yang mendatangkan kebahagiaan bagia seluruh rakyat di Lacoste,” jelas Yuhwa. Matthew menyunggingkan senyumannya seraya berjalan menuju tempat singgasana-nya kembali. “Aku senang mendengarnya,” ujar Matthew. Dua orang pelayan pun datang menghampiri Yuhwa dan secara perlahan mulai berbisik, “Permisi, Nyonya. Kamar anda sudah kami siapkan. Air hangat dengan bunga chamomile yang anda minta sudah kami lakukan.” Matthew masih mendengar suara kecil yang dihasilkan oleh pelayan itu. Ia pun tersenyum. “Ternyata kalian sudah mempersiapkan kedatangan Yuhwa dengan baik,” ujar Matthew. Yuhwa tersenyum mendengarnya tanpa membalas apapun. “Silakan pergi ke kamarmu dan bersihkan dirimu segera. Jangan lupa untuk ikut makan malam dengan saya di ruang makan kerajaan.” “Tapi saya baru saja tib—” “Itu perintah, bukan tawaran,” potong Matthew cepat. Yuhwa menganggukan kepalanya mengerti. Diiringi dengan kedua pelayan, ia pergi meninggalkan aula istana dan berjalan menuju kamarnya untuk membersihkan diri. Kini, Yuhwa berhadapan dengan sebuah pintu kayu dengan ukiran naga berwarna hijau dan kuning. Sepertinya sudah menjadi ciri khas bagi seorang Yuhwa yang gemar dengan warna hijau dan selalu menggunakan warna tersebut pada setiap kesempatan. Warna hijau yang digunakan Yuhwa pun tidak boleh terlalu terang atau terlalu gelap, jika saja ia mendapatkan warna hijau yang tidak sesuai seleranya, wanita itu bisa dengan kejam untuk meminta ganti warna sampai ia mendapatkan warna yang ia sukai. Yuhwa membuka pintu itu dan menampilkan sebuah ruangan yang cukup luas dengan ranjang yang tersusun rapi berada di tengah-tengah ruang kamarnya. Di sudut, ia melihat sebuah pintu tanpa daun yang langsung mengakses ke kamar mandinya. Langkahan kakinya terhenti saat ia melihat sebuah lukisan besar di kamarnya. Lukisan yang dengan jelas menampakkan dirinya berbalut dua ekor naga berwarna hijau. “Aku bahkan tidak ingat kapan aku membuat pose untuk lukisan itu,” gumamnya. Pintu kamarnya ditutup rapat dan dikunci agar tidak ada seorang pun yang masuk ke dalam kamarnya. Lalu ia kembali melangkahkan kakinya menjelajahi ruang kamar yang tidak pernah ia sentuh selama delapan tahun terakhir. Tangannya terhenti saat merasakan bahan sprei yang digunakan untuk menutup kasurnya. “Sutra mulberry,” gumam Yuhwa lalu tersenyum. Itu adalah sebuah sutra dengan kualitas paling tinggi. Merupakan kain termahal di Lacoste karena terbuat dari 100% kepompong larva ulat sutra murbei yang hanya diberi makan daun murbei, sehingga kain nya pun terasa lembut di tangan. Tangan Yuhwa meraih belakang bajunya, setelah ia berhasil mendapatkan resletingnya, ia langsung menurunkan pakaiannya hingga tak sehelai benang pun menutupi tubuhnya. Ikatan rambut yang berada di atas kepalanya pun ia lepas hingga kini ia tampak lebih cantik dengan rambut hitam yang lurus dan panjang tergerai. Yuhwa berjalan menuju area kamar mandinya. Ia bisa melihat uap panas yang keluar dari dalam bak mandinya. Tanpa basa-basi, ia langsung mencelupkan dirinya ke dalam bak dan menikmati semerbak harum bunga chamomile yang sudah ditaburkan oleh para pelayannya. Dengan mata terpejam, ia mulai menenggelamkan tubuhnya secara perlahan. Terlihat dengan jelas raut bahagia dan merasa puas dengan apa yang ia dapat di Kerajaan Odor. ***** Lampu kristal raksasa yang tergantung di langit-langit ruang makan Kerajaan Odor terlihat sangat cantik. Cahaya putih dengan pencahayaannya sebesar 2000 lumens tampak menyinari ruangan itu dengan baik. Penempatan lampu yang baik, lagi-lagi memberikan kesan elegan nan mewah di ruangan itu. Meja panjang sudah dipenuhi dengan kursi-kursi serta makan malam yang tersaji dengan lezat. Ayam panggang, ikan bakar dan berbagai makanan penggugah selera lain yang terlihat nikmat dan membuat siapapun yang melihatnya akan meneteskan air liurnya. Sang juru masak tampak beridiri di ambang pintu ruang makan guna memastikan makan malam yang ia buat tersaji dengan baik. Aroma ruang makan pun sudah dipenuhi dengan wangi dari rempah-rempah yang ditambahkan pada setiap masakan. Setelah semua makanan hangat tersaji, Matthew beserta Yuhwa berjalan memasuki ruang makan. Beberapa pelayan sibuk menjamu mereka. Mulai dari yang membantu untuk memberikan akses tempat duduk yang mudah, memasangkan napkin di leher dan di pangkuan kedua orang tersebut. Pelayan lain silih berganti membantu mereka dalam menuangkan minuman serta mengambil makanan yang mereka inginkan ke dalam pirinng kosong yang sudah disiapkan di hadapan mereka masing-masing. “Silakan Tuan, Nyonya,” ujar salah seorang pelayan ketika persiapan Matthew dan Yuhwa telah selesai. Matthew meraih sebuah pisau dan juga garpu kemudian mulai memotong daging ayam di hadapannya secara perlahan dan memasukannya ke dalam mulut. Sang juru masak yang sedari tadi berdiri di ambang pintu tampak gelisah, terlihat dari bagaimana wajahnya yang memucat serta keringat dingin yang mulai mengalir di pelipisnya. Merasa cocok dengan menu makan malam yang disajikan, Matthew pun menelan makanan itu dan memberi isyarat pada sang juru masak bahwa ia menerima masakannya mala mini. Hembusan napas kasar terdengar, seolah ia baru saja keluar dari kekangan psikologis yang menerpanya. Juru masak itupun membalikan tubuhnya dan berjalan meninggalkan ruang makan. Matthew dikenal sebagai raja pemilih. Lidahnya sangat manja sehingga ia tidak bisa menerima sembarang makanan. Bahkan, jika ia merasa cita rasa masakannya kurang sesuai di lidahnya, ia tidak segan meludahkan kembali makanan yang sudah ia kunyah, dan yang paling buruk jika ia membenci masakan, ia akan melemparkan piring berisi makanan tersebut ke dinding hingga pecahannya berserakan di lantai. “Kau menyukainya?” tanya Matthew membuka percakapan makan malam mereka. “Aku menyukai segala makanan yang disajikan ke hadapanku, Tuan,” jawab Yuhwa. Matthew menyeringai mendengar kata terakhir yang dilontarkan oleh wanita di hadapannya. “Tidak perlu memanggilku demikian. Panggil saja namaku,” ujarnya. “Tapi kau adalah seorang raja sekarang. Beda hal nya dengan delapan tahun yang lalu.” “Anggap saja itu perintah. Jika sedang makan malam bersamaku, panggil aku dengan nama, tanpa gelar tuan. Aku muak mendengarnya.” Delapan tahun yang lalu, mereka hanyalah seorang remaja berusia 16 tahun yang terjebak dalam ikatan pertemanan di Kerajaan Odor. Matthew adalah seorang putra mahkota, anak tunggal dari raja Cassian. Setelah ayahnya wafat lima tahun yang lalu, Matthew langsung naik tahta dan menjadi raja bagi Lacoste. Sedangkan Yuhwa, hanyalah seorang gadis yang beruntung bertemu dengan Matthew lalu bisa menikmati fasilitas kerajaan setelah raja Cassian mengetahui keahlian yang dimilikinya sebagai seorang peramal. Ramalan yang digambarkan oleh Yuhwa tidak pernah meleset sedikit pun. Hanya dengan bermodalkan sebuah kartu yang ia desain sendiri, ia bisa membuat ramalan mendetail akan masa depan. Seolah ingat dengan keahliannya sebagai seorang peramal, Yuhwa meletakkan pisau dan garpunya lalu menatap teman makan malamnya. Matthew yang tak lagi mendengar suara aduan pisau, garpu dan juga piring turut menghentikan kegiatannya dan menatap Yuhwa. “Ada apa?” tanya Matthew. “Apa kau bisa menebak kota mana yang aku singgahi terakhir?” ujar Yuhwa membalikkan pertanyaan. Matthew menaikkan sebelah alisnya dan mengerenyitkan dahi, “Adarlan?” Yuhwa menjentikkan jarinya. “Benar. Apa kau tahu apa yang aku dapat tadi?” “Tidak. Apa ada hal penting?” “Tadi siang aku meramal dua orang pria yang datang. Satu pria memintaku untuk meramal kapan istrinya akan hamil. Lalu seperti biasa aku mengeluarkan kartu dan mulai membalikannya. Aku sangat terkejut ketika menemukan kartu hitam dan gunung darah yang aku sembunyikan keluar,” jelas Yuhwa. Matthew menatap Yuhwa, berusaha mencari celah kebohongan dari wanita itu namun hasilnya nihil. Matanya membulat dan dengan antusias menceritakan kejadian yang baru saja ia temui. “Bukankah itu sangat aneh? Padahal aku baru saja memberikan ramalan bahwa istri dari pria itu sedang hamil dan anaknya akan membawa rejeki bagi keluarga kecilnya. Namun entah mengapa kartu s**l itu keluar,” sambungnya. “Kau yakin sudah memisahkan kartu itu sebelum kau mulai mengacak urutannya?” tanya Matthew memastikan. Yuhwa menganggukan kepalanya semangat, “Aku sudah memisahkan kartu itu. Bahkan selama delapan tahun, kartu hitam itu tidak pernah keluar. Lalu secara tiba-tiba kartu itu keluar dan membuatku merinding.” “Apa pendapatmu tentang ramalan pada pria itu?” tanya Matthew. “Aku merasa anak itu memang akan membawa kesejahteraan. Namun hidupnya akan berada di pertengahan garis kehidupan. Ketika ia tidak menjaga keseimbangan, ia akan jatuh ke salah satunya. Namun karena kartu ke empat yang kubuka adalah gunung jasad dengan darah, aku bisa memastikan jika anak itu terjatuh, kekacauan pun akan terjadi.” Yuhwa menerangkan seluruh pengetahuan tentang ilmu ramalannya pada Matthew. “Apa kau yakin?” “Sangat yakin. Dan mungkin saja, jika memang benar, anak itu bisa memberikan dampak yang besar.” “Bagi Adarlan?” tanya Matthew memastikan. “Lacoste,” jawab Yuhwa. Matthew meraih minum yang ada di hadapannya dan meneguknya sampai habis. Seorang pelayan tampak ingin berjalan ke arah Matthew untuk mengisi ulang gelasnya yang kosong, karena pantang bagi seorang raja mendapati gelas kosong. Namun Matthew dengan cepat mengangkat tangannya dan memberikan isyarat pada sang pelayan untuk tidak perlu mengisi gelasnya yang kosong. “Apa kau ingin aku memperhatikan anak itu?” tanya Yuhwa menawarkan dirinya. “Mungkin sebaiknya iya. Mengingat ramalanmu tidak pernah meleset sekalipun,” jawab Matthew. Matthew segera bangkit dari duduknya dan menyudahi makan malamnya. “Jika ada informasi lanjut tentang anak itu, tolong beritahu aku,” ujar Matthew sebelum meninggalkan ruang makan. Yuhwa menatap punggung Matthew yang menghilang dari pandangan matanya. Ia pun kembali melihat piringnya yang masih penuh dan kembali melanjutkan makan malamnya. ***** Usai menikmati makan malamnya, Yuhwa kembali ke kamarnya dan langsung melempar dirinya ke atas kasur. Ia menatap langit-langit kamarnya. Perutnya terasa penuh dan sesak, karena ia memakan hamper setengah dari seluruh sajian makan malam yang dihidangkan. Selama delapan tahun ia pergi berpetualang mendalami ilmu meramalnya, ia tak pernah lagi menikmati makan malam yang nikmat dan melimpah. Meski ia sering mendapat bayaran berupa makanan mahal, namun makanan itu tidak pernah sebanding dengan hidangan juru masak istana. “Ah kenyang sekali,” gumam Yuhwa. Yuhwa kembali mendudukan dirinya di atas kasur dan kembali memikirkan ramalan yang ia berikan pada pria di Kota Adarlan tadi. Ia pun membuka sebuah laci dan mengeluarkan tumpukan buku-buku yang ia gunakan selama delapan tahun terakhir untuk mencatat ramalan yang telah ia berikan di seluruh Lacoste. Selama tiga puluh ia berkutat dengan buku-buku itu, jarinya terus menelusuri setiap hasil ramalan yang ia dapat dari tahun pertama hingga hari ini. Hasilnya nihil. Ia tidak pernah mengeluarkan kartu hitam serta gunung jasad manusia yang berlumur darah pada pelanggannya. “Kenapa bisa? Siapa sebenarnya anak ini?” tanya Yuhwa pada dirinya sendiri. Yuhwa kembali mensejajarkan tulang punggungnya di atas kasur dan melihat langit kamarnya. Matanya sudah sangat berat. Perlahan kesadarannya pun menghilang dan wanita itu mulai menyelam memasuki dunia mimpinya. Di sisi lain, Matthew berdiri di depan jendela kamarnya. Pandangannya tertuju ke arah Selatan, letak dimana Kota Adarlan berada. Sesekali ia menghisap rokok yang ada di tangannya lalu menghembuskan asap rokoknya ke sembarang arah. “Akan kupastikan kalian tidak pernah bangkit lagi,” gumam Matthew.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD