4. Feisya : Perempuan Pemuas Syahwat

1589 Words
Eril mengendari mobilnya dengan ugal-ugalan. Dia melaju ke arah rumahnya, rumah sebenarnya, di mana istri dan dua anak kembarnya tinggal. Hari ini hari Sabtu, ketiga orang itu pasti ada di rumah. Eril buka pintu depan rumahnya, ucap salam tapi tidak melihat ada kehidupan di ruang tamu dan ruang keluarga. Mungkin anak-anaknya sedang istirahat tidur siang karena ini memang jam rawan mengantuk di siang hari. Akhirnya Eril ke kamarnya, mendorong pintu kamar dan terlihat Gendis sedang membereskan lemari, memasukkan baju yang sudah terlipat rapih. “Loh Mas Eril? Katanya pulangnya besok?” tanya Gendis, keheranan. Dia menutup lemari dan akan lanjutkan nanti saja. Lebih penting baginya untuk melayani Eril. Gendis berikan senyum terbaik. Akhir-akhir ini Eril seringkali ke luar kota, bukankah itu artinya dia sedang digandrungi? Karena banyak acara jumpa fans dan podcast. Itu yang dipikirkan Gendis selama ini. Tanpa dia tahu yang sebenarnya terjadi adalah Eril lebih sering menghabiskan waktu bersama Feisya, mendapatkan kehangatan tubuh perempuan itu. Iya, memang benar Eril ke luar kota, jumpa fans, menjadi bintang tamu di beberapa podcast tapi…, setelah usai acara, dia memilih pulang ke apartemen mewah yang dia beli untuk Feisya, dibanding kembali kepada Gendis dan dua anak kembarnya yang menunggu dengan setia dan tanpa curiga. Langsung saja Eril memeluk Gendis dari belakang, menciumi pundak dan leher jenjang sang istri yang berkulit kuning langsat. Dia ingin menyalurkan syahwatnya! “Dek, kamu gak lagi haid kan?” tanya Eril, usai membalik tubuh Gendis agar mereka berhadapan. Gendis yang sudah memejamkan mata tanda menikmati cumbuan Eril, menggeleng pasrah. Sudah lama dia tidak menginginkan belaian dan cumbuan Eril padanya. Bibir Eril menyunggingkan senyum, kembali dia melabuhkan ciuman dalam pada Gendis. Bahkan dia membopong tubuh Gendis kemudian dia rebahkan di atas kasur empuk mereka. Mata keduanya beradu sebelum akhirnya Gendis kembali memejamkan mata dan terhanyut dalam permainan Eril untuk memuaskannya. Siang itu, biarlah jam dinding menjadi saksi penyatuan hangat mereka. Tubuh Eril meluruh usai syahwatnya tersalurkan. Dia terengah-engah, nafasnya memburu, demikian pula nafas Gendis yang bagai lomba marathon. Keduanya tersenyum. Eril rebahkan tubuh ke samping Gendis, dia merasa heran, baru kali ini setelah si kembar lahir, dia merasakan nikmat luar biasa saat b******a dengan Gendis. Apakah karena dia tadi merasa emosional pada Feisya tapi malah melampiaskan syahwatnya pada Gendis? Bisa jadi, tapi tadi mereka kan juga sudah melakukan satu ronde sebelum akhirnya Feisya ngambek padanya. Kenapa pada saat seperti ini, aku malah kepikiran Fei sih? “Makasih Mas, kamu liar sekali siang ini.” kecup lembut dan suara merdu mendayu terdengar di telinga Eril. Eril mengangguk lemah. Matanya sudah terpejam, tanda kelelahan. “Love you Mas.” bisik lirih Gendis, antara sadar dan tidak karena dia juga merasa kelelahan. “Love you too, Fei.” jawab Eril, tak kalah lirih, kemudian terdengar dengkuran halus dari lelaki ini. Mata Gendis yang tadi sudah terpejam, mendadak kembali terbuka. Fei? Apakah aku tidak salah dengar? Mungkin saja karena aku tadi sangat mengantuk, jadi salah dengar kalau Mas Eril menyebut Fei? * “Ayaah… horse ada ayah. Aku kangen ayah.” suara Zahra terdengar ceria saat melihat Eril keluar kamar. “Aku yang lebih kangen sama ayah!” seru Reza, tak mau kalah dari adik kembar sepuluh menitnya. “Haiii semuaaa…. Yang paling kangeeen tentu ayah dong. Sini… sini peluk ayah!” Eril berjongkok, merentangkan kedua tangan lebar untuk bisa menyambut serbuan pelukan dua buah hatinya. “Hahaha… aku duluan yang peluk ayah!” teriak Reza, kegirangan. Bocah lelaki bahkan menerjang Eril hingga terjengkang, menyebabkan sang ayah terjatuh ke belakang. “Ta… tapi… aku juga ingin dipeluk ayah.” Zahra mulai menangis, ungkap kesedihan karena kalah dari Reza. “Eeh cantiknya ayah kok menangis? Sini… sini jangan nangis dong. Ayah kan bisa peluk kalian berdua, bisa gendong kalian berdua juga kok. Ayah kan kuaatt!” Eril meraih Zahra, putri cantiknya, ke dalam pelukannya. Dia berdiri menggendong kedua bocah kembar itu. Zahra di tangan kanan dan Reza di tangan kiri. Dia berjalan menuju sofa keluarga yang nyaman, menjatuhkan pantatnya dengan tetap memeluk kedua putra putrinya. “Aku sayaaang ayah. Cuup…” kecup Zahra ke pipi Eril. Matanya bersinar indah, terlihat sekali dia sangat merindukan Eril. “Aku lebih sayang ayah. Cup cup cup…” Reza tidak mau kalah, dia malah berikan kecupan ke pipi Eril beberapa kali, membuat tawa Eril membahana. “Eza apa sih ikut aku terus? Ini ayahku!” sisi posesif Zahra sebagai seorang anak perempuan yang menjadi kesayangan sang ayah mulai muncul. Dia peluk Eril sangat erat, mata bulat indahnya mendelik ke arah Reza, merasa kesal karena bocah lelaki itu selalu mengikuti apa yang dia katakan. Tentu saja Reza tidak mau kalah, dia ikut memeluk Eril dengan sangat erat! Yang terjadi kemudian Eril tentu batuk-batuk karena susah bernafas. Eril pura-pura pingsan agar kedua anaknya berhenti bertengkar! “Ayaah! Ayah kenapa? Ayah jangan pingsan dong! Ayah aku minta maaf, gak akan peluk ayah erat lagi kaya tadi. Ayah jadi gak bisa nafas yaa?” tanya Zahra dengan panik. Dia goyangkan pipi Eril dengan dua tangan kecilnya, bermaksud agar sang ayah bangun. “Kamu sih Za, pakai peluk ayah erat banget tuh kan ayah jadi susah nafas jadi pingsan deh.” Reza malah menyalahkan Zahra, padahal dia yang lebih erat memeluk Eril. “Sudah… jangan berantem. Cium aja pipi ayah kanan kiri bersamaan, pasti ayah akan sadar lagi kok.” Gendis, dengan suara lembut keibuannya, datang melerai. Dia letakkan secangkir kopi hitam panas dan seporsi pisang goreng kipas kesukaan Eril. “Lagipula ayah gak akan mungkin melewatkan pisang goreng ini loh.” goda Gendis dengan suara ceria. “Iyaa… iyaa… kita cium bareng-bareng Za!” Kemudian dua bocah kembar itu bersamaan mencium pipi Eril, membuatnya segera membuka mata dan tertawa keras karena berhasil mengelabui anak-anaknya. “Euum… ayah suka banget kok dicium kalian. Zahra cantiknya ayah dan Eza jagoannya ayah. Tapi sekarang, kita makan pisang goreng yang enak ini dulu yuk! Perut ayah lapar nih.” Eril mencium Zahra kemudian Reza, mengacak rambut keduanya dengan penuh sayang, kemudian mengambil pisang goreng yang sudah tersedia. Ketiganya larut dalam canda dan kebahagiaan. Gendis yang melihat dari meja makan, hanya mampu tersenyum kecut. Perih. Dia masih kepikiran dengan satu nama yang tadi diucapkan Eril usai permainan ranjang mereka. Dihembusnya nafas panjang, dia akan cari tahu hal ini pelan-pelan. Jujur, sejak menjadi pengusaha katering yang cukup terkenal, waktunya menjadi tersita. Dia sudah jarang menemani Eril bersosialisasi dengan teman-teman selebritisnya. Hanya sesekali saja dia ikut hadir, itupun jika ada yang dia kenal dekat, siapa yang datang. “Ayah, aku ingin jalan-jalan sama ayah sama bunda kaya dulu lagi. Sekarang kan ayah sibuk banget, bunda juga. Mumpung ayah ada di rumah, gak ada syuting, kita jalan-jalan yuk.” rayu Zahra penuh harap pada Eril. “Iya yah, aku mau banget jalan-jalan lagi. Yaa yah…” kali ini Reza mendukung ide Zahra. Kening Eril berkerut, dia sedang berpikir apakah besok ada acara yang harus dia hadiri atau tidak. Tapi seingatnya rencana besok adalah menghabiskan waktu bersama Feisya, seharian di apartemen! Karena Feisya sedang ngambek, dia bisa gunakan waktunya esok untuk jalan-jalan bersama kedua anaknya. “Gak bisa ya yah? Padahal aku kangen banget sama ayah. Ayah jarang pulang sejak ayah jadi terkenal. Aku merasa gak punya ayah lagi, aku… aku… hiks hiks…” raut kekecewaan nampak di wajah Zahra. Suaranya tercekat, sangat sedih, takut jika Eril tidak bisa memenuhi permintaannya. Eril melihat ke arah Zahra dengan serius. Benarkah dia jarang pulang dan habiskan waktu dengan Zahra dan Reza? Sejak kapan? “Maaf ya sayang, ayah gak bermaksud seperti itu. Tapi ayah janji, hari Sabtu dan Minggu besok, kita akan habiskan waktu untuk jalan-jalan. Kalian ingin ke mana?” dipeluknya Zahra erat. Sungguh, dia merasa bersalah pada putrinya ini. “Asiiik… ayah bisa temani jalan-jalan. Aku mau ke Lembang aja yah, kita menginap di vila yang bagus, terus naik kuda dan makan yang banyak!” teriak Reza, penuh semangat. “Ya sudah, segera kalian siapkan baju. Kita berangkat besok pagi setelah sholat subuh biar gak terjebak kemacetan ya.” langsung saja Reza berlari riang menuju kamarnya, berniat membereskan baju untuk dibawa esok. “Terima kasih ayah, aku sayaaang banget sama ayah.” bisik Zahra, kembali memeluk Eril bahkan sekarang dia letakkan kepala ke d**a ayahnya. “Za, maaf ayah mau nanya. Benarkah ayah jarang habiskan waktu bersama kalian?” tanya Eril dengan serius pada putrinya. “Iya. Sejak ayah jadi terkenal, jadi sering keluar kota juga kan? Kasian bunda loh yah, bunda sering nangis. Kata bunda, bunda kangen sama ayah. Ayah emangnya gak kangen sama bunda ya? Sama aku? Tapi ayah gak usah kangen Eza gak papa kok! Eza mah suka usil.” jawab Zahra, berikan senyum terbaiknya. “Maafin ayah ya Za.” pinta Eril, serius. Diusapnya lembut wajah cantik nan lembut Zahra. “Ayah gak perlu minta maaf. Kata bunda, ayah bekerja keras agar aku dan Eza bisa sekolah setinggi mungkin, bisa jalan-jalan juga, makanya waktu ayah untuk kami jadi sangat berkurang. Tapi ayah tetap sayangi kami kan? Iya kan yah?” Pertanyaan itu sebenarnya diajukan dengan nada sangat lembut, khas Zahra, tapi entah kenapa terdengar bagai sembilu bagi Eril. Itu memang benar, dia bekerja keras, dia juga keluar kota hingga waktunya untuk keluarganya menjadi berkurang. Dia juga menyayangi keluarganya, terutama Zahra, yang sangat mirip dengannya. Tapi… yang putra putri dan istrinya tidak tahu adalah : dia lebih sering habiskan waktu bersama Feisya setelah pekerjaannya selesai! Pelukan Feisya, hangatnya ranjang di apartemen itu, cantik dan moleknya Feisya, menjadikannya lupa diri, lupa istri bahkan lupa anak. Sayangnya, dia juga tidak mau lepaskan Feisya. Sebisa mungkin dia akan pertahankan Feisya, walau sebagai istri sirinya, sebagai simpanannya, sebagai pemuas syahwatnya!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD