Kehilangan anak

1007 Words
Aku mengalihkan pandangan pada ibu yang terus menangis di hadapanku, aku yakin beliau pasti merasa bersalah atas apa yang terjadi pada bayiku. Namun, jika karena pingsan, mengapa aku sampai harus kehilangan bayiku? Aku yakin ada sesuatu besar yang terjadi saat aku pingsan. Apalagi, ibu di rumah seorang diri saat kejadian itu. Aku berusaha memgelus lembut bahu ibu, ingin mengatakan bahwa aku memang terluka, tapi aku yakin aku akan baik-baik saja. "Aww!" Ibu merintih kesakitan saat aku berusaha menyentuh bahu beliau, ada apa ini? "Maaf ya Lu, ibu tidak becus saat memapah tubuh kamu ... saat di tangga, kita berdua terjatuh dan itulah penyebab utama kamu harus kehilangan bayi kamu," ungkap ibu. Hatiku sungguh merasa terkejut, bayi yang sudah aku nantikan tiga tahun pernikahan dan sembilan bulan dalam kandungan harus pergi begitu saja. Air mata mengalir deras tak terbendung, tapi aku tak mampu bersuara seolah hanya dalam hati aku bisa menjerit. Bagaimanapun, aku yakin ibu telah melakukan yang terbaik. Wajar saja beliau tidak kuat menahan bobotku sembari menuruni tangga. Terbayang bagaimana paniknya beliau saat tahu aku pingsan. "Jadi, ibu yang bunuh anakku!" Tiba-tiba suara Mas Angga terdengar begitu memekik di telinga. Apa yang pria ini katakan? Jelas-jelas semua terjadi karena aku melihat ia tengah memadu kasih dengan wanita lain. Aku dan ibu serentak menoleh ke arah Mas Angga, menatapnya dengan tatapan tajam dan berusaha untuk membuat ia sadar atas kesalahannya. "Apa kalian! Jelas-jelas kan ibu mengakui kalau penyebab utama kamu kehilangan bayi kita karena jatuh dari tangga?" Mas Angga melotot, dasar lelaki tidak tahu diri. Ia malah memutar balikan fakta untuk menyalahkan ibu. Dimana otaknya saat ini! "Diam kamu Mas!" sentakku. Tubuh yang masih terasa lemah tidak menghalangiku untuk menyentak Mas Angga. Namun, tanpa disangka. Mas Angga justru menarik tangan ibu dan mencengkram kuat lengan beliau. Aku berusaha bangkit, tapi kondisi tak memungkinkan. Hanya bisa melihat ibu meringis kesakitan, sembari berusaha mencari tombol untuk memanggil perawat. "Berhenti menyalahkan aku nenek tua! Ternyata kamu sendiri yang salah!" teriak Mas Angga. Tanpa ampun suamiku terus memaki ibu, ia tak perduli saat bulir bening menetes dari ujung mata ibuku. Bahkan, beberapa kali ibu mengatakan sakit. Namun, Mas Angga tetap tak melepaskan cengkraman itu. Dengan mata kepala sendiri, aku menyaksikan ibu kandungku di sakiti oleh pria yang aku sebut sebagai suami. Ia benar-benar telah melampiaskan semua kekesalannya pada ibuku. Mungkin, ia merasa tak terima karena aku tahu perselingkuhannya. "Cukup Mas, cukup!" teriakku berkali-kali yang sama sekali tidak di hiraukan olehnya. Mas Angga terus mencengkram seraya menggoncang tubuh ibu dan memaki dengan kata-kata kasar. Air mata deras mengalir dari mata wanita yang selama ini sangat menyayangiku. Ya Allah, selamatkanlah ibu dari pria ini. Ibu jatuh tersungkur setelah Mas Angga melepaskan cengkeramannya di lengan ibu. Saat beberapa perawat wanita datang dan langsung menyentak Mas Angga dengan penuh amarah. "Sus, tolong ibu saya," ucapku setelah Mas Angga memutuskan pergi dari ruangan ini. Aku benar-benar tak menyangka ia bisa berbuat seperti ini padaku. Pria yang selalu bersikap hangat padaku, kini dengan tega memperlakukan aku seperti sampah. "Ibu, kami akan rawat ibu anda, tapi tolong jangan banyak bergerak dulu. Ibu masih dalam masa pemulihan," ucap perawat yang menolong ibuku. Aku diam, berusaha menguatkan diri. Benar apa yang di katakan perawat tersebut, aku memang harus secepatnya pulih. Aku tak boleh membuang waktu untuk membalas semua perbuatan Mas Angga padaku. Ia yang telah membuat bayiku pergi, ia yang membuat kekacauan ini terjadi. Aku tak akan pernah memberikan ampun untuknya. Siang telah berganti senja, aku masih berusaha untuk bisa bangkit. Dengan bantuan seorang perawat, aku belajar untuk duduk, bangkit dan berjalan. Perih bekas sayatan dan jahitan di perutku, tak seberapa jika di bandingkan dengan perihnya hatiku saat melihat suamiku membagi raganya dengan wanita lain. Belum lagi, kesedihan itu bertambah dengan kepergian bayi dalam kandunganku yang membuat aku semakin terpuruk. "Bagaimana keadaan ibu saya Sus?" tanyaku. Perawat muda itu tersenyum, "Alhamdulillah, sudah semakin membaik. Sepertinya, anda mewarisi ketegaran dari beliau," ungkapnya. Aku tahu, ibu pasti berusaha keras untuk sembuh sama seperti yang tengah aku lakukan. Mas Angga harus membayar semua yang telah ia lakukan. "Selamat siang, bagaimana? Sudah mendingan?" sapa dokter muda yang datang ke ruangan ku. Seorang perawat membimbing agar aku merebahkan diri karena dokter ingin mengecek bekas jahitan dan keadaanku. "Bagus, besok kalau sudah bisa jalan tanpa bantuan lusa bisa pulang ya," jelas dokter tersebut. Beberapa detik kemudian, seorang dokter yang aku pikir hanya mendampingi dokter muda tadi, kini maju dan menggantikan untuk memberikan keterangan. "Saya dokter Haris, dokter yang menangani ibu anda." Beliau memperkenalkan diri, dengan penuh sopan santun dan wibawa yang tinggi. "Beberapa luka dalam di temukan, trauma di organ dalam pun bisa membuat beliau semakin parah jika tidak secepatnya di tangani. Namun, saya salut dengan ibu anda, beliau benar-benar wanita yang kuat." Air mata ini luruh mendengar ucapan dari dokter tersebut, rasanya aku tak pantas jika menyalahkan beliau atas kepergian bayiku. "Lakukan yang terbaik untuk ibu saya Dok," pintaku sembari menahan sesak dalam d**a. Beliau mengangguk, "Baiklah, akan saya usahakan semampu saya. Hari ini, beliau sudah menunjukan perkembangan yang cukup baik. Semoga lusa kalian bisa pulang bersama," ungkap beliau. Aku hanya bisa tersenyum getir sembari mengucapkan terima kasih pada beliau. Akhirnya para dokter pun pergi, hanya tersisa aku dan satu perawat yang memang bertugas untuk membantuku berjalan. "Sus, apa kamu tahu bagaimana ibu saya membawa saya ke sini?" tanyaku. "Panggil sama Tamara saja Bu," ucapnya. "Ibu anda membawa anda dalam keadaan panik, beliau berteriak kesana kemari mencari pertolongan. Kebetulan, saya piket malam, jadi memang tahu saat beliau datang. Beliau menangis, memohon agar anak dan cucunya di selamatkan. Hanya saja ...." Ucapan Tamara terhenti, aku tahu ia tak sanggup untuk mengatakan tentang keadaan bayiku saat itu. "Iya Tam, ga apa-apa, insyaallah saya Ikhlas," jawabku. "Aku melihat luka lebam di bagian lutut beliau, bahkan baju panjang yang beliau kenakan sobek di bagian lengan. Mungkin terbentur sesuatu dengan sangat keras," ungkapnya. Ya Allah, aku tak bisa membayangkan bagaimana paniknya ibu saat itu. Beliau tak perduli tentang dirinya sendiri. Sungguh, Mas Angga keterlaluan sekali. Ia masih bisa memaki ibuku saat beliau sudah melakukan hal terbaik untukku. Jahat sekali kamu Mas!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD