Suara tepuk tangan terdengar meriah memenuhi sebuah aula megah dan besar di tengah kota A. Sebuah aula pesta elit yang diketahui harga sewanya sangat mahal. Gedung besar bercat putih tersebut disulap menjadi begitu mewah dan menakjubkan.
Dekorasi serba silver dengan kain-kain tirai berkilau seolah dilapisi kristal cantik, ditambah meja-meja dengan berbagai jenis makanan mahal di atasnya, serta alunan musik akustik yang menambah kesan berkelas pesta pernikahan malam ini.
Entah telah berapa banyak uang yang dikucurkan demi meriahnya acara yang diselenggarakan tepat di tanggal 31 Desember ini. Tapi hal itu sudah pasti bukanlah masalah bagi orang kaya tersebut.
Malam ini adalah malam yang spesial untuk mereka, acara yang bisa dikatakan 'besar' dan bersejarah.
Malam dimana mereka menyatukan hubungan ke jenjang yang lebih tinggi. Sebuah pernikahan.
Pesta besar-besaran yang dilaksanakan malam ini adalah pesta pernikahan dari Noah Priatmoko dan Jihan Arisa.
"Tuan Noah..." Kata penghulu. "Anda bisa menyematkan cincinnya di jari manis Nona Jihan." Lanjutnya.
Noah sempat terdiam beberapa detik, namun pada akhirnya lelaki berwajah tampan tersebut pun menggerakkan tangannya, mengambil cincin berlian mahal yang masih tersimpan di dalam kotak merah. Kemudian meraih pelan tangan gadis muda di hadapannya.
Noah melakukannya dengan cepat—ia ingin agar semua ini segera berakhir. Tak sampai sepuluh detik cincin pernikahannya telah tersemat indah di jari manis Jihan. Begitu pas berada di sana.
Suara tepuk tangan kembali terdengar sesaat setelah Noah melakukan apa yang telah diperintahkan untuknya.
"Kali ini giliran Anda, Nona Jihan..." Penghulu tadi kembali bersuara. "Giliran Anda yang memasangkan cincin ke jari Tuan Noah." Tambahnya.
Gadis muda bernama Jihan tesebut tampak mengangguk gugup. Ini demi sahabat dan adiknya! Ia meyakinkan dirinya lagi dan lagi. Sempat ada keraguan di dalam hatinya. Namun segera ia tepis.
Dengan perlahan ia mengambil satu cincin yang tertinggal di dalam kotak, setelah menarik napas panjang ia pun menyentuh tangan kiri Noah, tangan yang lebih besar dari tangannya dan terasa begitu hangat. Jihan tertegun sebentar, tanpa sadar ia mulai menikmati sensasi nyaman tersebut.
"Jihan?"
"Eh?" Jihan panik. "Maaf, aku begitu gugup saat ini."
Para tamu yang datang sontak tertawa geli mendengar kalimat lugu yang diucapkan oleh Jihan.
"Ahh, santai saja, Sayang. Jangan gugup seperti itu... Lakukan dengan percaya diri, sama seperti ketika kau melayani para pelanggan toko." Bisik Noah.
Jihan menatap Noah kesal. Bisa-bisanya Noah berkata seperti itu? Menyamakan dirinya saat menjadi seorang kasir? Dan lagi, sayang? Yang benar saja!
"Semangat, Jihan! Pakaikan cincinnya!" Teriak Elisa dari kursi tamu.
"Sudah sikat saja, Jihan! Terus malam pertama setelah ini!" Ini adalah Edo, kekasihnya Elisa yang merupakan sahabat Noah dan juga Jihan. "Noah sudah tidak sabar!" Tambahnya dengan semangat.
Hal ini membuat suasana menjadi kembali ramai.
"Mbak Jihan, jangan gugup!" Lea teman kerjanya Jihan di toko ikut menyemangati. Tak lupa ia mengambil banyak foto untuk kenang-kenangan.
Mata indahnya Jihan lalu melirik ke arah teman-temannya yang kelewat heboh saat menyemangatinya. Jihan pun mengangguk pasti, perlahan dan penuh keberanian, ia mulai menyematkan cincin tersebut ke jari Noah.
"Cium! Cium! Cium!"
Sorak ramai permintaan untuk melakukan adegan ciuman itu menggema di aula pesta.
Jihan mendelik pada Noah karena Noah terlihat sedang menyeringai kepadanya. Ia sedikit menjauh ketika Noah meraih pinggang rampingnya. Risih. Namun, apa daya, ia pun menerima dengan pasrah ciuman bibir dari Noah. Mau marah tak bisa. Akhirnya dengan tampang merah padamnya, ia hanya bisa memamerkan senyuman anehnya kepada semua tamu undangan. Melambaikan tangan seolah sudah menjadi pengantin paling bahagia di dunia ini.
"Ayo berikan tepuk tangan lagi untuk pasangan muda kita ini!"
Dengan begitu, Noah dan Jihan kini telah resmi menjadi sepasang suami dan istri. Sepasang suami istri yang terikat dalam ikrar suci di hadapan Tuhan. Namun faktanya di hati banyak berkecamuk perasaan tak karuan.
"Tiada cinta di hati kami, tapi kami berani mengikat diri dalam ikatan suci sebuah pernikahan. Semoga Tuhan tidak melaknat kehidupan kami berdua."
***
Semua tamu undangan memberikan ucapan selamat pada pasangan pengantin baru ini.
"Jihan, Noah, terima kasih banyak sudah menolong diriku dan Edo." Kata Elisa. Ini jujur ia ucapkan dari dalam hatinya. "Jika kalian tidak menikah, aku dan Edo tidak akan bisa bersatu." Tambahnya.
"Sis, Bro, maaf untuk keegoisan kami! Namun hanya kalian berdua yang bisa menolong kami." Kata Edo.
"Ya, sudahlah, bukan hanya demi kalian saja. Aku dan Noah sama-sama memiliki kepentingan masing-masing." Kata Jihan.
"Hn. Santai saja." Kata Noah.
Edo menyadari seringai tipis di bibir Noah. Dalam hati ia berpikir jika Noah pasti sedang merencanakan sesuatu untuk Jihan. Ia tahu apa yang terjadi di masa lalu dan menurutnya tak wajar ketika Noah ngebet ingin menikah dengan Jihan.
"Bocah ini jiwanya iblis, semoga dia tidak macam-macam pada Jihan... Dan untuk Jihan, semangat!" Batin Edo.
***
Masih dalam suasana pesta pernikahan.
Noah melihat Jihan yang sedari tadi hanya diam saja.
"Ada apa? Kau tak menyukai pesta ini?" Tanya Noah.
"Aku tidak mengerti bagaimana perasaanku saat ini. Aku tidak tahu apa aku bahagia atau tidak. Kita menikah seminggu sejak pertemuan kita di restoran waktu itu. Tidak ada lamaran romantis dengan lilin dan bunga mawar. Tidak ada persiapan matang, tapi secepat ini kita sudah resmi menikah dan menjadi sepasang suami-istri." Jawab Jihan. Ia tak bohong akan perasaannya ini.
"Tidak usah kau pikirkan akan hal itu, kau dan aku sama-sama tidak saling cinta. Aku butuh kau dan kau butuh aku. Hubungan kita akan berjalan seperti itu."
"Hm. Memang itu kata yang tepat untuk menyimpulkan pernikahan ini."
Sejujurnya, Jihan ingin bertanya, kenapa keluarganya Noah sama sekali tidak ada yang datang? Jika diingat, ia sama sekali belum pernah melihat bagaimana dan seperti apa keluarganya Noah itu. Meski pernah berpacaran dengan Noah sebelumnya, tapi ia belum pernah dikenalkan dengan orang tuanya Noah. Saat wisuda pun, Noah wisuda sendirian. Sampai detik ini, yang ia tahu, Noah itu memiliki kakak, dan sekali lagi, ia juga belum pernah tahu atau kenal dengan kakaknya Noah.
Keluarga Noah sangat misterius. Mungkin karena keluarganya Noah itu adalah keluarga terkaya di negara ini, jadi sangat sibuk dan sulit ditemui? Atau bisa saja memang tidak terlalu ingin terekspos publik demi keamanan?
Entahlah, Jihan sendiri sama sekali tidak memahaminya.
"Rahangku pegal karena terlalu sering tersenyum." Gumam Jihan.
"Dan berlagak seperti badut bodoh yang ditonton banyak orang?" Lanjut Noah.
Jihan menoleh cepat ke arah Noah. "Bagaimana kau bisa tahu jika aku ingin mengatakan hal itu juga?" Tanya Jihan.
"Aku bisa membaca apa yang ada di benakmu."
"Jieh, jawaban macam apa itu?"
Seseorang mendekat dan membawa sebuah nampan setelah Noah memberi kode padanya. Ia lalu mengambil sesuatu dari atas nampan itu.
"Apa ini? Surat kontrak pernikahan?" Tanya Jihan.
Noah menggelengkan kepalanya. "Bukan, ini KTP barumu, buku nikah, dan pemindahan aset atas namamu serta akun bank baru untukmu." Jawab Noah.
Jihan membuka 'setumpuk' dokumen yang Noah berikan kepadanya. Ada tabungan dengan sembilan digit nol di sana. Ada kepemilikan villa dan juga toko atas nama OneMart. Ah, rupanya Noah membeli toko OneMart tempatnya bekerja untuk dirinya.
"Untuk uang dan aset sebanyak ini, kau tak berniat memberiku secara cuma-cuma, kan?" Tanya Jihan.
"Tentu saja! Kau paling tahu jika aku ini tak ingin rugi." Jawab Noah.
Tentulah Jihan tahu bagaimana Noah itu. Segala sifat dan sikap Noah sudah ia ketahui sejak lama.
"Baiklah, katakan kepadaku apa yang kau inginkan!" Jihan menatap 'suami resminya' itu.
"Lahirkan keturunan untukku!"
"Hah?"