Rasa kecewa

2016 Words
Sesampainya di rumah, Aruna langsung masuk ke dalam kamarnya. Ia lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang, menenggelamkan wajahnya ke kedua tangannya yang terlipat. Ia menangis sekencang-kencangnya untuk meluapkan kekecewaannya pada Brian. Aruna sangat kecewa dengan sikap Brian yang telah menjadikannya sebagai bahan taruhan. Pria yang sudah ia anggap seperti kakaknya sendiri, dengan begitu tega menjadikan dirinya seperti sebuah barang. Aruna kini tengah menangis. “Kak Brian jahat! apa salah aku, Kak? hingga Kakak sebenci ini sama aku? kenapa Kakak tega sama aku? Kak Brian menganggap aku seperti barang yang dengan mudahnya bisa Kakak pindah tangankan. Aku juga punya hati, Kak. Kenapa kakak jahat sama aku? kenapa?” Aruna merasa kali ini Brian benar-benar sudah kelewat batas. Ia masih saja menangis. Hatinya benar-benar terluka dengan sikap Brian kali ini. Bagaimana bisa... astaga! Karena kelelahan akhirnya Aruna terlelap dengan sisa air mata di sudut kedua matanya yang indah. Aruna sengaja bangun lebih awal dari biasanya. Matahari pun belum menampakan cahayanya karena cuaca sepertinya sedikit mendung. Ia beranjak dari ranjang dan bergegas menuju kamar mandi. Setelah selesai mandi dan berpakaian Aruna menyiapkan semua yang perlu ia bawa ke kampus. Ia lalu bergegas keluar dari kamar dan menuruni tangga satu persatu. Aruna melangkah menuju dapur untuk menemui mama angkatnya yang tengah membantu asisten rumah tangganya untuk menyiapkan sarapan pagi ini. Aruna lalu menyapa mama angkatnya itu. “Pagi, Ma,” sapanya sambil mencium pipi mama angkatnya itu. Meskipun sikap Ines tak begitu peduli pada Aruna, tapi ia tetap menerima semua perlakukan Aruna padanya. Terkadang hatinya mulai menghangat saat Aruna mencium pipinya seperti saat ini. “Tumben jam segini kamu sudah bangun?” tanya Ines sambil menata makanan ke atas meja. “Iya, Ma. Mulai sekarang Aruna akan bangun lebih pagi dari biasanya,” ucap Aruna dengan senyuman di wajahnya. Aruna melihat jam di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukan pukul enam lebih tiga puluh menit. Ia tidak ingin bertemu maupun bertegur sapa dengan Brian. Aruna lalu bergegas berpamitan kepada mama angkatnya untuk berangkat ke kampus. Ia bahkan juga melewatkan sarapannya. “Ma, Aruna berangkat kuliah dulu ya,” pamitnya lalu mencium tangan mama angkatnya. “Kamu tidak sarapan dulu?” Aruna mengelengkan kepalanya. “Aruna sudah ada janji sama Iren untuk sarapan bareng, Ma. Aruna sudah janji soalnya,” ucapnya berbohong. “Kalau begitu hati-hati,” ucap Ines tulus. Aruna menganggukkan kepalanya. Ia merasa sangat bahagia, karena ini pertama kalinya mama angkatnya itu begitu peduli akan keselamatannya. “Aruna pergi dulu, Ma,” pamitnya lagi. Aruna lalu bergegas keluar dari rumah. Ia tak ingin sampai Brian melihatnya berangkat lebih dulu ke kampus. Bagaimanapun ia hari ini tak ingin menatap wajah kakak angkatnya itu. Aruna melihat taksi yang dipesannya sudah ada di depan gerbang rumahnya. Ia membuka pintu taksi dan masuk ke dalam taksi. Taksi melaju meninggalkan rumah Aruna, setelah Aruna masuk ke dalam taksi. Sedangan di dalam sebuah kamar yang terlihat begitu luas. Dengan begitu banyak pernak-pernak barang koleksi Brian. Seorang pria dengan malasnya turun dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. Di dalam kamar mandi pun ia masih menguap sampai berkali-kali. Itu karena ia semalam pulang sampai pukul satu dini hari. Sesampainya di rumah pun Brian harus mengerjakan tugas dari dosennya. Hingga ia harus tidur pukul tiga pagi. Bisa banyangkan tidur pukul tiga pagi dan harus bangun pagi untuk berangkat ke kampus? Tentu itu membuatnya malas bangun pagi ini. Apalagi kedua mata yang masih terasa begitu berat saat menahan rasa kantuknya. Brian keluar dari kamar mandi sambil terus mengerutu karena ternyata Electric Water Heater di kamar mandinya tidak bisa berfungsi jadi terpaksa ia harus mandi menggunakan air dingin. Setelah selesai bersiap-siap Brian keluar dari kamarnya. Ia melirik pintu kamar Aruna yang masih tertutup, karena letak kamarnya ada di sebelah kamar Aruna. Brian nampak cuek, ia lalu melenggang menuruni anak tangga satu persatu. Ia lalu berjalan menuju ruang makan. “Pagi, Ma, Pa,” sapanya. Brian lalu menarik salah satu kursi meja makan untuk didudukinya. Ia mengernyitkan dahinya saat tak melihat Aruna di sana. Tumben jam segini dia belum bangun. Bukannya dia masuk pagi? “O ya Pa, tadi Aruna sudah berangkat pagi-pagi sekali,” ucap Ines sambil meletakan piring yang sudah terisi makanan di depan suaminya. Daren mengernyitkan dahinya. Ia merasa ada yang tidak beres, karena tidak seperti biasanya Aruna berangkat ke kampus pagi-pagi sekali. Apalagi tak pamit padanya terlebih dahulu. Itu bukanlah kebiasaan Aruna. “Tumben Aruna jam segini sudah berangkat, Ma? Apa Aruna sedang ada masalah?” Daren lalu menatap Brian dengan sorot mata seolah berkata-kata dan entah mengapa Brian seolah-olah merasa tengah terintimidasi. Brian mengedikkan kedua bahunya secara bersamaan sebagai pertanda ia tidak tahu apa-apa. “Katanya Aruna sudah ada janji mau sarapan sama sahabatnya, Pa, jadi dia buru-buru berangkat ke kampus,” jelas Ines sambil mengambil makanan untuk dirinya sendiri. Daren hanya menganggukkan kepalanya. Mungkin memang seperti itu adanya. Ia juga tak bisa selalu mencurigai putranya. Setelah menghabiskan makanannya Brian berpamitan kepada kedua orang tuanya dengan mencium punggung tangan mereka. Entah mengapa bayangan wajah Aruna sekilas muncul dibenaknya. Sebenarnya ada apa dengannya? apa dia sengaja menghindari dari gue? Brian masuk ke dalam mobil dan melajukan mobilnya menuju kampus. Sesampainya di kampus ia tidak sengaja berpapasan dengan Thomas. “Semalam apa lo langsung mengantar Aruna pulang?” tanyanya tanpa basa-basi. Brian bukannya menyapa sahabatnya terlebih dulu, tapi malah langsung memberinya pertanyaan yang membuat Thomas mengeryitkan dahi. Apa maksud pertanyaan sahabatnya itu? Apa dia nuduh gue sudah memanfaatkan Aruna? “Maksud lo apa?” tanya Thomas masih dengan mengernyitkan dahi. “Semalam lo dan Aruna gak melakukan....” Thomas sontak langsung menjitak kening Brian hingga membuat Brian mendengus kesal. Karena hanya Thomas yang berani melakukan itu ke Brian. “Sialan! Sakit tau!” seru Brian tak terima dengan perlakukan Thomas padanya. “Dipikiran lo itu ya, adanya cuma pikiran kotor! Lo pikir gue akan merusak masa depan Aruna gitu! Dasar! Gue gak kayak lo yang ingin mencelakai adik lo sendiri! gue justru sudah menyelematkan Aruna dari niat jahat Jordy!” seru Thomas sambil menggelengkan kepalanya. “Gue berusaha menang dalam pertandingan semalam itu hanya untuk menyelamatkan Aruna. Lo tega sama adik lo sendiri, lo ingin menghancurkan masa depan Aruna. Lo itu kakak yang gak punya hati tau gak!” lanjutnya. Brian hanya menanggapi ucapan Thomas dengan senyuman sinisnya. “Asal lo tahu saja, bagi gue Aruna itu bukan siapa-siapa gue. Adik bukan saudara juga bukan, jadi terserah gue mau melakukan apa sama dia! Justru gue bahagia saat melihat dia menderita!” ketus Brian. Thomas menepuk bahu Brian. “Lo, suatu saat akan menyesal karena telah menyakiti Aruna. Rasa benci lo sama Aruna lambat laun akan berubah. Gue akan pastikan itu.” “Ya, berubah makin benci! Gue akan terus membenci Aruna seumur hidup gue!” seru Brian emosi. Brian berlalu meninggalkan Thomas. Thomas hanya menggelengkan kepalanya sambil berjalan mengikuti Brian. ‘Rasa benci lo itu lambat laun akan berubah menjadi rasa peduli sama Aruna. Seandainya lo mau mencoba untuk lebih dekat dengan Aruna, maka lo gak akan sebenci ini sama Aruna. Lo akan tau, kalau Aruna itu gadis yang baik,’ gumamnya dalam hati. Sedangkan didalam kelas, saat ini Aruna menenggelamkan wajahnya ke kedua tangannya yang dilipat dan ia sandarkan ke atas meja. Ia merasa masih mengantuk, karena semalam ia juga tidur larut malam karena terus-terusan menangis. Bahkan kedua mata Aruna terlihat sembab dan ada kantung mata di area bawah matanya. Iren yang baru saja datang berjalan menghampiri Aruna. “Woy! lo begadang lagi! sampai di kelas pun lo sempet-sempetnya tidur!” serunya sambil menepuk bahu Aruna. Aruna mendongakkan wajahnya menatap Iren dengan mata yang malas untuk terbuka. Iren terkejut melihat raut wajah Aruna yang terlihat begitu kusut dan menyedihkan. “Lo kenapa Na? lo habis menangis semalaman? Apa lagi yang dilakukan kakak lo yang jahat itu?” tanya Iren sambil mengepalkan kedua tangannya. Iren memang mengagumi ketampanan Brian, tapi ia tidak suka dengan sikap Brian yang bersikap seenaknya pada Aruna. Meskipun Aruna hanya adik angkatnya, tapi Brian tak seharusnya memperlakukan Aruna seperti itu. Aruna kembali menenggelamkan wajahnya ke kedua tangannya yang dilipat di atas meja. Ia enggan untuk menceritakan masalahnya kepada Iren, saat ini hatinya benar-benar sakit atas perlakuan Brian terhadapnya. “Cerita sama gue, jangan lo pendem sendiri. Gue siap untuk mendengar cerita lo,” lanjut Iren lagi sambil mengusap lembut punggung Aruna. Aruna mengubah posisi duduknya, menopang dagunya dengan tangan kanannya yang ditumpu di atas meja. Ia lalu menghela nafas panjang. “Kak Brian menjadikan gue sebagai bahan taruhan,” lirihnya, tapi masih bisa di dengar oleh Iren. Iren duduk di depan Aruna seketika lansung melebarkan tatapannya. Ia mencoba untuk mencerna kata-kata Aruna. “Maksud lo apa? Taruhan? Buat?” tanyanya sambil mengernyitkan dahinya. “Taruhan untuk pertandingan balap motor. Gue dijadikan hadiah bagi siapa yang menang dalam pertandingan balap motor itu.” Aruna menundukkan kepalanya. Matanya kembali berkaca-kaca. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa sakit dihatinya karena perbuatan Brian. “Gila kali ya kakak lo itu! Dia pikir lo itu barang yang bisa di pindah tangankan sesuka hati dia!” teriak Iren emosi. Iren tidak habis pikir Brian sampai tega melakukan itu sama Aruna. Sikap Brian kali ini memang sudah diluar batas. Sungguh sangat keterlaluan. “Kakak lo itu memang benar-benar gak mempunyai hati, Na,” sambungnya lagi. Mereka berdua tak menyadari, kalau bukan hanya mereka berdua yang berada di sana. Ada seseorang yang sejak tadi mendengar percakapan mereka. Brian yang sedari tadi berdiri di samping pintu kelas Aruna sudah mendengar percakapan Aruna dan Iren. Apa sikap gue benar-benar sudah keterlaluan ya? tapi gue gak perduli, yang terpenting gue sudah puas membuat Aruna merasakan bagaimana rasanya di buang sama keluarganya sendiri. Brian lalu bergegas pergi dari tempat itu sebelum Aruna dan Iren menyadari kehadirannya. Iren mengusap lembut punggung Aruna. “Gue tau apa yang lo alami ini sangat menyakitkan buat lo. Jika gue yang ada diposisi lo, gue pasti akan merasa marah kayak lo saat ini. Tapi, lo masih punya gue, Na. Gue akan selalu ada buat lo.” Aruna menepiskan senyumannya. “Makasih, Ren. Lo memang sahabat terbaik gue. Meski sikap gue selama ini ketus sama lo, tapi gue sangat bersyukur mempunyai sahabat seperti lo.” “Astaga! Jadi lo baru nyadar, kalau sikap lo selama ini sudah keterlaluan!” cebik Iren sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya. Aruna dan Iren lalu sama-sama tertawa. Makasih, Ren. Selama ini hanya lo yang ada buat gue. Hanya lo yang mau mendengar keluh kesah gue. Hidup gue memang gak seberuntung lo. Tapi, gue sama sekali gak pernah menyesal telah menjadi bagian dari keluarga angkat gue saat ini. Iren lalu beranjak dari duduknya. “Lebih baik sekarang kita ke kantin. Gue tau lo pasti belum sarapan.” Aruna menganggukkan kepalanya. “Tau aja kalau gue belum makan. Perut gue dari tadi sudah keroncongan. Cacing dalam perut gue kayaknya sudah pada demo,” ucapnya sambil nyengir kuda. Aruna lalu beranjak dari duduknya. Mereka lalu melangkah keluar dari ruangan itu. Melangkah menuju kantin. Aruna dan Iren melihat Brian dan kedua sahabatnya. “Na, gak usah lo liat. Entar mood lo jadi semakin jelek.” Iren lalu menarik tangan Aruna untuk mencari meja yang kosong. Tentunya dengan jarak yang jauh dari Brian dan kedua sahabatnya. Tapi Brian sudah melihat kedatangan Iren dan Aruna. Bahkan sejak tadi tatapannya terus mengarah ke meja Aruna dan Iren. Hingga apa yang Brian lakukan tak luput dari penglihatan Thomas dan Jordy. Siapa yang Brian tatap dari tadi? Thomas lalu mengikuti kemana arah tatapan Brian. Begitu juga dengan Jordy. Jadi Brian tengah memperhatikan Aruna dan Iren. Apa dia sudah menyesali perbuatannya pada Aruna? Itu yang Thomas pikirkan saat ini. Jordy menepuk bahu Brian. “Kenapa lo tatap Aruna terus? Apa lo mulai simpati pada adik angkat lo itu?” tanyanya sambil mengernyitkan dahinya. Brian tersenyum sinis. “Gue?” menunjuk dirinya sendiri. “Simpati sama Aruna? Apa lo udah gila! mana mungkin gue simpati pada itu anak!” Iren menatap ke arah Brian dan kedua sahabatnya. “Na, sepertinya dari tadi kakak lo itu terus menatap kesini deh. Atau jangan-jangan kakak lo itu lagi merencanakan sesuatu buat ngerjain lo lagi?” Aruna menatap ke meja Brian. “Gue gak peduli. Gue benci sama mereka semua!” geramnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD