Perubahan sikap

2097 Words
"Lo gak ada hubungan apa-apa kan sama Thomas?" tanya Brian sekali lagi. Aruna masih diam. Ia tidak ingin memberitahu Brian soal urusan pribadinya. Apalagi itu tidak ada hubungannya dengan kakak angkatnya itu. Kalau gue bicara pun, Kak Brian juga gak akan peduli. Atau justru Kak Brian akan menjadikan itu sebagai bahan becandaan dia lagi. "Kenapa lo diem aja? apa lo benar-benar ada hubungan sama Thomas setelah kejadian malam itu?" tanya Brian lagi. "Kenapa Kakak menanyakan itu? Bukankah Kakak sudah menjadikan aku sebagai bahan taruhan! Terus sekarang Kakak jadi sok perhatian gitu sama aku!" Aruna masih berbicara dengan nada ketus kepada Brian. Ia bahkan tak peduli, kalau Brian akan semakin membencinya. Ia tak akan pernah memaafkan Brian begitu saja. "Terserah lo mau mikir apa tentang gue, tapi mulai besok lo berangkat ke kampus sama gue, terus pulangnya lo tunggu gue. Jangan ikut sama Thomas lagi." Brian menyandarkan kepalanya ke punggung sofa. Ia lalu memiringkan wajahnya untuk menatap Aruna yang duduk di sebelahnya. "Kenapa sekarang kakak baik sama aku? Kenapa sekarang Kakak sok peduli sama aku? Kakak juga gak berhak ngelarang aku untuk satu mobil sama Kak Thomas!” kesal Aruna sambil menatap Brian dengan sorot mata yang tajam. Brian menghela nafas panjang. "Karena lo adik gue dan hanya gue yang boleh mengerjai lo, gak akan gue biarkan orang lain menyakiti lo." Aruna mencoba untuk mencerna kata-kata Brian. Ia lalu memberanikan diri untuk menyentuh kening Brian. "Kakak gak lagi sakit kan! Atau Kakak tadi salah minum obat?" tanya Aruna begitu terkejut dengan sikap Brian yang mendadak berubah baik padanya. Brian menarik tangan Aruna dan memeluk tubuh Aruna. Aruna terkejut dengan perlakuan Brian kepadanya. Kenapa dengan jantung gue? kenapa jantung gue berdebar-debar? Ada apa ini? kenapa sikap Kak Brian berubah ke gue? "Jangan pernah lo deketin Sela, sebisa mungkin lo harus menghindar darinya. Gue akan melindungi lo." Brian lalu melepaskan pelukannya dan mengecup kening Aruna. Aruna hanya bisa diam mematung mendapatkan perlakuan seperti itu dari seorang Brian. Kakak angkat yang sudah membencinya sejak pertama kali ia menginjakkan kaki di rumah itu. Tapi, sekarang sikap Brian berubah seratus delapan puluh derajat dari biasanya kepada Aruna. Ada apa ini? kenapa sikap Kak Brian berubah sama gue? Atau ini hanya rencana baru Kak Brian untuk mengerjai gue lagi? Itu yang ada di pikiran Aruna saat ini saat melihat perubahan sikap Brian yang mendadak peduli padanya. Brian tersenyum menatap Aruna yang hanya diam mematung sambil menatap dirinya. Ia lalu mencolek hidung mancung Aruna. Entah mengapa ditatap Aruna seperti itu membuat Brian menjadi gemas. Ia ingin mencubit kedua pipi Aruna yang cabby. Tapi, ia mengurungkan niatnya itu. “Sudah, jangan lama-lama menatap gue, gue memang sudah ganteng dari dulu,” goda Brian. Hah? Brian lalu beranjak dari duduknya, melangkah menuju pintu. Ia lalu kembali membalikkan tubuhnya menghadap Aruna. "Ingat, mulai besok lo berangkat sama gue.” Aruna hanya bisa menganggukkan kepalanya. Entah mengapa mulutnya seakan sulit sekali untuk ia buka, hanya untuk mengucapkan sepatah dua patah kata. “Bagus. Lo harus ikuti kata-kata gue, karena itu buat kebaikan lo.” Brian lalu melangkah keluar dari kamar Aruna dan menutup pintu. Aruna menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. Saat ini jantungnya masih berdetak dengan sangat cepat. "Ada apa ini? Ada apa dengan Kak Brian? Jantung gue. Ada apa dengan jantung gue?” Aruna mencoba mengatur nafasnya yang seakan terasa menyesakan dadanya. “Sepertinya gue butuh minum untuk mendinginkan otak gue. Siapa tau otak gue bermasalah dan gak bisa mencerna dengan benar apa yang tadi Kak Brian katakan.” Aruna beranjak dari duduknya. Ia lalu melangkah keluar dari kamarnya, menuruni anak tangga satu persatu dan berjalan menuju dapur. Aruna melihat mama angkatnya yang tengah menyiapkan makan malam. Ia juga melihat Brian yang tengah duduk sambil memakan buah apel yang ada di tangannya. Aduh! ngapain juga Kak Brian harus ada disitu! Mendingan gue balik ke kamar saja deh! Gue males ketemu sama Kak Brian. Apalagi sikapnya tadi anehnya banget. Aruna sudah bersiap-siap untuk melangkah pergi. Tapi, Ines melihat Aruna lalu memanggilnya. “Aruna! Sini bantuin Mama menyiapkan makan malam, karena Bibik baru Mama suruh untuk keluar membeli sesuatu,” panggilnya yang sontak membuat Aruna terkejut. Brian menatap ke arah Aruna sambil mengernyitkan dahinya. Jangan bilang dia mau pergi setelah melihat gue disini? Apa dia mau menghindar dari gue lagi? Itu yang ada di pikiran Brian saat ini. Ia pikir, setelah kejadian di kamar Aruna tadi, Aruna akan bersikap seperti biasanya padanya. Tapi ternyata.... Aruna menghela nafas panjang. Gak apa Aruna. Lo harus tenang. Kak Brian gak akan berani berbuat macam-macam sama lo di depan Mama. Aruna dengan terpaksa melangkahkan kakinya menuju dapur. Ia bahkan tak berani menatap ke arah Brian. "Kenapa lo gak menyapa gue?” tanya Brian sambil menatap Aruna. "Emm... gak apa-apa. Aku malas aja lihat muka Kakak,” sahut Aruna tanpa melihat ke arah Brian. Brian semakin mengernyitkan dahinya setelah mendengar jawaban Aruna. Ines hanya geleng kepala melihat interaksi Aruna dan Brian. Aruna tidak memperdulikan Brian dan membantu mama angkatnya untuk menyiapkan makanan. “Mama yang memasak semua ini?” tanya Aruna sambil mengambil udang krispi kesukaannya. “Dibantu Bibik tadi. Tapi Mama meminta Bibik untuk keluar membeli sesuatu.” Aruna hanya menganggukkan kepalanya. Sesekali ia melirik ke arah Brian yang masih menikmati buah apel yang ada di tangannya. Setelah selesai menyiapkan makanan Ines meninggalkan Brian dan Aruna untuk memanggil suaminya untuk makan malam. Setelah kepergian mamanya, Brian beranjak dari duduknya dan berjalan mendekati Aruna. Aruna yang melihat Brian melangkah mendekat, memilih untuk melangkah mundur. "Kenapa lo malah berjalan mundur?" tanya Brian sambil terus melangkah maju. Aruna hanya diam dan terus berjalan mundur. Brian menarik tangan Aruna. "Lepasin, Kak!” teriak Aruna dengan wajah penuh ketakutan. Brian semakin erat mencengkram tangan Aruna. “Sakit kak!” pekik Aruna saat merasakan perih di tangannya karena Brian mencengkram tangannya dengan sangat erat. Brian melepaskan tangan Aruna. Ia lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Aruna dan membisikan sesuatu di telinga Aruna. "Jangan sekali-kali lo menghindar dari gue lagi. Ingat itu baik-baik," bisiknya di telinga Aruna. Aruna bisa merasakan hembusan nafas hangat Brian di telinganya, hingga membuat tubuhnya merinding. Brian memundurkan tubuhnya. “Kalau sampai lo menghindar dari gue lagi, lo akan tau akibatnya,” ucapnya lalu kembali duduk di tempatnya semula. Aruna menelan ludah dengan susah payah. Ia benar-benar bingung dengan jantungnya saat ini. Kenapa jantungnya selalu berdetak dengan sangat cepat saat jarak tubuhnya begitu dekat dengan tubuh kakak angkatnya itu. Aruna menarik kursi yang ada di sebelah Brian, karena Brian yang menyuruhnya. Ia melihat kedua orang tua angkatnya yang tengah berjalan menuju meja makan. Daren menatap ke arah Brian yang sedari tadi senyum-senyum sendiri. "Brian, kenapa kamu senyum-senyum sendiri?” tanyanya penasaran. Brian dan Aruna saling menatap. "Salah minum obat kali, Pa,” celetuk Aruna sambil melirik ke arah Brian. Brian menatap tajam ke arah Aruna. Sialan! Dia mau balas dendam gitu ke gue! Daren hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah Brian dan Aruna. Apa mereka sudah baikan sekarang? Saat ini, Brian sudah bersiap-siap untuk berangkat ke kampus. Ia akan menepati janjinya kepada Aruna untuk berangkat ke kampus bersama. Brian mendudukkan tubuhnya di sofa ruang tamu sambil menunggu Aruna keluar dari kamarnya. Ia mengambil ponselnya dari dalam saku celananya, lalu membuka aplikasi WA. Ines yang sudah selesai membereskan meja makan berjalan menghampiri Brian. "Sayang, kenapa kamu belum berangkat?” tanyanya penasaran. Ines lalu mendudukkan tubuhnya di samping Brian, menatap Brian yang tengah memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. "Nungguin Aruna, Ma. Mulai sekarang Aruna akan berangkat sama Brian,” ucap Brian dengan senyuman di wajahnya. Brian lalu menatap jam di pergelangan tangannya. "Aruna kemana sih, Ma? sudah siang gini belum muncul juga?” "Oya, Sayang. Mama baru ingat, tadi Aruna sudah berangkat di antar sama Papa kamu." "Aiss... sial! Brian berangkat dulu Ma,” pamit Brian sambil mencium tangan mamanya. Brian lalu beranjak dari duduknya dan bergegas keluar dari rumahnya. Brian masuk ke dalam mobil dan melajukan mobilnya menuju kampus. Dalam perjalanan ke kampus Brian mengumpat bahkan mengutuk Aruna. "Awas aja nanti kalau ketemu! akan gue kasih pelajaran dia! Berani-beraninya dia melawan gue!” umpat Brian dengan rahang mengeras. Sesampainya di kampus Brian langsung mencari sosok yang telah membuatnya menunggu lama. Sedangkan Aruna tengah asyik mengoceh bersama dengan Iren di kelasnya. Brian menatap ke arah Aruna dan Iren. Itu orangnya! Lihat hukuman yang akan lo dapat karena telah mempermainkan gue! Terdengar suara dentuman pintu, karena Brian menendang pintu kelas Aruna. Semua orang yang ada di kelas itu begitu terkejut dan menatap ke arah Brian. Kedua Mata Brian menatap tajam ke arah Aruna. Aruna dan Iren terkejut melihat Brian berada di kelas mereka. Iren menatap ke arah Aruna. “Na, mau apa kakak lo kesini?” tanyanya penasaran sekaligus takut. Iren takut, Brian akan membuat masalah baru buat Aruna. Apalagi mengingat sikap buruk Brian kepada sahabatnya itu selama ini. “Lo disini aja. Gue mau temui Kak Brian dulu.” “Tapi, Na. bagaimana kalai kakak lo itu nyakitin lo lagi?” Iren terlihat sangat cemas. “Lo gak usah cemas. Kak Brian gak akan berani nyakitin gue di kampus,” ucap Aruna sambil menepiskan senyumannya. Aruna langsung beranjak dari duduknya. Meskipun saat ini ia berusaha untuk tetap tenang, tapi ia tetap merasa ketakutan. Tubuhnya bahkan gemetar. Ia benar-benar takut melihat Brian saat ini. Aduh... gimana ini? Kak Brian pasti marah besar. Gue harus memberi alasan apa sama kak Brian. Dengan perlahan, Aruna melangkah mendekati Brian. “Kak....” Brian langsung menarik tangan Aruna dan mengajaknya keluar dari kelas. Ia bahkan mencengkram erat pergelangan tangan Aruna, hingga membuat Aruna meringis kesakitan. “Kak, Lepas!” Brian tak memperdulikan teriakan Aruna. Ia juga tak peduli dengan tatapan orang-orang yang mereka lewati. Brian mengajak Aruna ke belakang kampus. "Lo sudah berani melawan ya sekarang!” seru Brian sambil menghempaskan tangan Aruna, hingga Aruna terbentur dinding. Brian melangkah mendekati Aruna, lalu kembali mencengkram erat tangan Aruna. Aruna memekik kesakitan. "Kak, sakit! aku minta maaf, Kak. Tadi aku buru-buru, karena aku ada janji sama Iren. Tadi aku sudah menunggu Kakak, tapi Kakak lama banget gak keluar-keluar juga dari dalam kamar. Aku juga sudah panggil-panggil Kakak, tapi Kakak juga gak menjawab,” lanjut Aruna sambil menundukkan wajahnya. Brian masih tetap tak melepaskan cengkraman tangannya. Aruna semakin merasakan sakit di pergelangan tangannya. "Tadi Kakak ngapain aja di kamar? masa cuma mengambil tas aja lama banget.” Brian mengingat-ingat lagi apa saja yang ia lakukan di kamar. Ia ingat kalau tadi waktu mengambil tas tiba-tiba perutnya terasa sakit, jadi ia harus pergi ke kamar mandi karena panggilan alam. Brian menghela nafas panjang, lalu melepaskan cengkeramannya pada tangan Aruna. Sial! Kenapa gue tadi pake acara sakit perut segala sih! Brian menatap Aruna yang saat ini tengah mengusap pergelangan tangannya yang memerah akibat ulahnya. "Maaf.” Brian lalu menyentuh pergelangan tangan Aruna. “Apa masih sakit?” tanyanya menyesal. Aruna menganggukkan kepalanya. Tapi ia tak berani menatap kedua mata Brian. Brian menghela nafas. “Maaf.” Aruna mendongakkan wajahnya, memberanikan diri untuk menatap kedua mata Brian. Gue gak salah dengarkan tadi? Kak Brian berulang kali mengucapkan kata maaf? Benar-benar aneh deh rasanya. “Sekarang lo balik ke kelas gih.” Aruna mengernyitkan dahinya. “Kak Brian gak marah sama aku lagi?” Brian menatap Aruna kedua mata Aruna, lalu menggelengkan kepalanya. “Beneran? Kakak gak marah sama aku lagi?” tanya Aruna sekali lagi. "Sudah sana pergi! sebelum gue berubah pikiran." Tanpa pikir panjang lagi Aruna langsung pergi meninggalkan Brian. Brian menghela nafas panjang sambil menatap kepergian Aruna. "Kenapa gue jadi kayak gini ya? kenapa gue jadi kesal saat Aruna memilih di antar Papa ketimbang bareng sama aku?” Argh! Brian melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Saat melewati lorong menuju kelasnya, ia berpapasan dengan Thomas dan Jordy. “Kenapa lo?” tanya Thomas saat melihat wajah Brian yang muram durjana. Jordy merangkul bahu Brian. “Lo lagi patah hati?” ledeknya. Brian menyingkirkan lengan Jordy dari bahunya. “Sialan, lo!” kesalnya. “Tadi Aruna berangkat sama lo? Soalnya dia chat gue untuk gak menjemputnya lagi mulai sekarang?” Thomas kini gantian merangkul bahu Brian. “Mana mungkin Brian berangkat ke kampus sama Aruna. Apa lo lupa bagaimana bencinya Brian sama Aruna selama ini?” Jordy tersenyum sinis. “Bener juga sih apa kata lo. Terus Aruna berangkat sama siapa dong? Tau gini tadi aku jemput,” ucap Thomas sambil menghela nafas panjang. “Kalian berisik amat sih!” kesal Brian lalu masuk ke dalam kelas. Thomas dan Jordy saling menatap satu sama lain. “Dia kenapa sih?” tanya Thomas penasaran. Jordy mengedikkan kedua bahunya. Ia lalu melangkah masuk ke dalam kelas. Thomas melangkah masuk ke dalam kelas sambil mengernyitkan dahinya. Apa ini ada hubungannya sama Aruna ya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD