Situasi rumit

2912 Words
Satu bulan telah berlalu semenjak kejadian di rumah kedua orang tua Dava siang itu. Sejak saat itu dirinya tak lagi pulang ke rumah kedua orang tuanya. Bukan dirinya tak merindukan kedua orang tuanya. Bukan dirinya ingin menjadi anak durhaka. Tapi dirinya tak akan sanggup untuk selalu ditekan dengan masalah yang sama lagi. Tapi kini Dava tak lagi memikirkan ucapan sang papa yang menurutnya sudah keterlaluan itu. Dava sebenarnya mengerti, kenapa kedua orang tuanya sangat menginginkan dirinya untuk segera menikah. Tapi apalah daya, dirinya tak lagi percaya dengan yang namanya cinta. Hatinya sudah mati bersama dengan kepergian Dina dan Naura dari hidupnya untuk selama-lamanya. Tapi malam ini, Dava terpaksa menginjakkan kakinya lagi di rumah kedua orang tuanya, karena sang mama memintanya untuk datang. Dirinya juga tak bisa menolak, saat sang mama memohon padanya. “Sayang, kamu sudah datang.” Santi memeluk anak semata wayangnya yang begitu sangat dirindukannya. “Apa kamu sudah makan malam?” tanyanya setelah melepaskan pelukannya. “Hem. Kalau aku boleh tau, kenapa Mama memintaku untuk datang?” “Tentu saja karena Mama sangat merindukan anak Mama ini,” ucap Santi dengan tersenyum sambil mengusap lengan sang putra. Dava mengernyitkan dahinya, dirinya tau kalau sang mama menyembunyikan sesuatu darinya. “Apa Mama sedang merencanakan sesuatu?” tanya Dava sambil mengernyitkan dahinya. Santi tau, kalau dirinya tak akan bisa membohongi putranya itu. Ia lalu menghela nafas. “Maafkan Mama, Sayang. Mama terpaksa membohongimu.” “Apa maksud, Mama? jadi semua ini hanya....” “Lebih baik kamu ikut Mama sekarang.” Santi lalu menarik Dava masuk ke dalam rumahnya. Dirinya memang meminta sang putra untuk pulang ke rumah, karena ada seseorang yang ingin dirinya perkenalkan kepada putranya itu. “Ma! Apa-apaan ini!” seru Dava terkejut saat melihat ada dua orang wanita yang tengah duduk di sofa ruang tamu rumahnya. Satu wanita muda dan satu lagi wanita paruh baya yang mungkin ibu dari wanita muda itu. Dava tau, kalau mamanya berencana ingin mengenalkan wanita muda itu padanya. “Sayang, Mama mohon. Jangan bikin malu Mama. Sekarang kita temui mereka.” Dava terpaksa mengikuti mau sang mama, karena dirinya juga tak ingin mempermalukan sang mama di depan kedua wanita itu. Dava mendudukkan tubuhnya di sofa tunggal. “Sayang, kenalkan. Dia Maharani anak teman Mama.” Maharani tersenyum manis kepada Dava. Ia benar-benar terpesona melihat ketampanan seorang Dava Rahendra. Dirinya sudah tau tentang siapa Dava dari sang mama. Seorang duda tanpa anak. Usia juga sudah kepala tiga. Maharani pikir, Dava seperti pria tua karena dia seorang duda. Tapi ternyata, Dava bahkan lebih tampan dari kekasihnya. “Mama sengaja meminta Tante Indri untuk datang kesini bersama dengan Maharani. Mama berharap kalian bisa saling mengenal satu sama lain. Syukur-syukur kalian bisa cocok dan bisa melanjutkan hubungan sampai ke jenjang pernikahan nantinya,” ucap Santi dengan senyuman di wajahnya. Maharani bahkan sejak tadi tak mengalihkan tatapannya dari pria tampan yang duduk tak jauh darinya itu. Sedangkan Dava sejak tadi hanya diam dengan tatapan nanar menatap sang mama yang sejak tadi terus mengoceh. Dimana semua ucapan mamanya itu hanya akan masuk telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. “Jeng Santi, lebih baik kita biarkan mereka berdua. Mungkin mereka merasa malu karena ada kita disini,” ucap Indri sambil menatap putrinya dan Dava secara bergantian. Indri tak peduli, jika putrinya menikah dengan seorang duda yang bahkan usianya jauh diatas putrinya. Baginya yang penting calon menantunya itu seorang yang mempunyai masa depan cerah. Indri bahkan meminta Maharani untuk meninggalkan kekasihnya yang hanya seorang pengangguran, karena tawaran yang Santi berikan padanya. Dimana Santi ingin menjodohkan Dava dengan Maharani. “Apa yang Jeng Indri katakan benar. Sepertinya kedua anak kita masih pada malu-malu ya. Kalau begitu lebih baik kita tinggalkan mereka berdua.” Santi dan Indri lalu beranjak dari duduknya, mereka lalu melangkah pergi dari tempat itu, meninggalkan Maharani dan Dava berdua. Dava menopangkan kaki kirinya ke kaki kanannya, dengan kedua tangan terlipat di depan dadanya. “Siapa tadi nama kamu?” tanya Dava sambil mengernyitkan dahinya. “Maharani.” “Apa kamu tau kenapa Mamaku mengundang kamu dan mama kamu kesini?” “Hem. Tante Santi dan Mama aku ingin menjodohkan kita berdua.” Dava tersenyum sinis. “Dan kamu terima begitu saja? kamu yakin ingin dijodohkan sama duda sepertiku? Kamu gak akan pernah menyesal menikah dengan pria yang sama sekali tak kamu kenal?” “Kita bisa saling mengenal satu sama lain. Lagian masih banyak waktu untuk kita bisa saling mengenal. Gak mungkin juga kita akan langsung menikah.” Dava tak menyangka, kalau Maharani akan bicara setenang itu saat ini. Dirinya pikir gadis itu bisa dirinya ajak bekerja sama untuk menolak perjodohan bodoh yang mamanya lakukan. “Kalau boleh tau, berapa usia kamu sekarang?” “21 tahun.” Dava tertawa, hingga membuat Maharani mengernyitkan dahinya. “Masih bocah ingusan ternyata.” Maharani mengepalkan kedua tangannya. Dirinya tak terima dengan hinaan Dava padanya. “Apa maksud kamu dengan aku masih bocah ingusan!” geramnya tak terima. “Kamu tau berapa usiaku sekarang? usia kamu bahkan jauh dibawahku. Apa itu kalau bukan bocah ingusan. Kamu bahkan tak tau bagaimana kehidupan aku selama ini.” “Tapi, kalau kamu mencari tau soal aku dengan teliti lagi, kamu akan tau bagaimana kehidupan aku selama ini.” “Aku tau.” Maharani lalu beranjak dari duduknya, melangkah mendekati Dava yang kedua matanya mengikuti setiap pergerakannya. “Bisa kita bicara diluar?” “Ok.” Dava lalu beranjak dari duduknya, melangkahkan kakinya mengikuti langkah Maharani yang sudah berjalan lebih dulu. Maharani mengajak Dava untuk duduk di bangku taman, karena dirinya tak ingin pembicaraannya dengan Dava didengar oleh mamanya dan juga Santi. “Ok, sekarang apa yang ingin kamu katakan?” Dava sudah mendudukkan tubuhnya tepat disamping Maharani sesuai dengan permintaan gadis cantik itu. Dava mengernyitkan dahinya saat telapak tangan Maharani mulai mengusap pipi kirinya dengan lembut. “Aku tau apa yang kamu lakukan dengan semua mantan kekasihmu dulu. Tapi aku gak peduli itu. Aku bahkan bisa melakukan apa yang mereka lakukan,” ucap Maharani dengan suara menggoda. “Jadi kamu juga sama seperti mereka? Yang dengan mudahnya akan memberikan tubuhnya disaat aku memintanya?” “Jangan samakan aku dengan mereka, karena aku berbeda dengan mereka. Aku rela memberikan semua yang aku miliki, karena kita sudah dijodohkan.” Dava terkekeh. “Dijodohkan? Ternyata kamu berharap lebih dengan perjodohan bodoh ini?” Dava menyingkirkan telapak tangan Maharani dari pipinya. “Aku belum memberikan jawaban aku tentang perjodohan bodoh ini.” Dava lalu melipat kedua tangannya di depan dadanya. “Tapi, aku akan mencoba untuk memikirkannya, kalau kamu mau melakukan sesuatu buat aku,” ucapnya dengan menyunggingkan senyumannya. Maharani mengernyitkan dahinya. “Sesuatu? apa itu? apa aku harus tidur denganmu dulu, baru kamu mau menerima perjodohan ini?” “Em... itu ide yang bagus. Tapi selain itu, apa kamu mau menemaniku ke suatu tempat?” “Kemana?” “Nanti kamu juga akan tau. Kalau kamu mau, kita bisa pergi sekarang, karena teman-temanku sudah menungguku sekarang.” Maharani sejenak terdiam. Ia ragu dengan keputusan yang akan diambilnya. Tapi, demi bisa melancarkan rencana agar bisa menikah dengan Dava, apapun akan dilakukannya. “Ok. Aku akan ikut denganmu.” “Kamu yakin?” “Hem.” Dava terkejut saat Maharani langsung membungkam indra pengecapnya. Bahkan bukan hanya kecupan biasa. Dirinya bahkan tak perlu membalas apa yang Maharani lakukan, karena wanita itu sudah mengambil alih semuanya. "Ternyata wanita ini sama saja seperti wanita-wanita yang selama ini gue pakai buat teman tidur. Kasihan Mama yang tak tau apa-apa dan berharap wanita ini menjadi menantunya," gumam Dava dalam hati. Dava mengusap bibirnya yang basah karena ulah Maharani, nafasnya bahkan masih memburu. “Gimana? Apa aku sudah lulus sekarang?” Dava menyunggingkan senyumannya. “Boleh juga. Tapi tes yang sebenarnya belum tentu kamu bisa melakukannya.” “Jangan panggil aku Maharani kalau aku tidak bisa melakukan apa yang kamu inginkan.” Dava beranjak dari duduknya. “Kalau begitu kita berangkat sekarang. Tapi kamu harus minta izin sama mama kamu dulu. Aku gak mau dituduh menculik kamu.” “Kamu gak perlu cemas, Mama tau kalau aku pergi sama kamu,” ucap Maharani sambil merangkul lengan Dava. Dava menatap arah lain, lalu menghela nafas panjang. “Ma, sampai kapan Mama akan memintaku untuk menikah? Apa yang aku katakan waktu itu belum jelas? Ini sudah keberapa kalinya Mama menjodohkanku dengan anak teman-teman Mama. Aku juga lelah Ma dengan hidup ini,” gumamnya dalam hati. Dava membukakan pintu mobil untuk Maharani. Bagaimanapun dirinya harus bersikap ramah dengan wanita pilihan mamanya itu bukan? “Masuklah.” Maharani mengecup pipi Dava, ia lalu tersenyum. “Terima kasih.” Maharani lalu melangkah masuk ke dalam mobil. Dava menutup pintu mobil, lalu berjalan memutar untuk bisa masuk ke ruang pengemudi. “Pakai sabuk pengaman kamu,” pintanya saat melihat Maharani belum juga memakai sabuk pengamannya. “Apa kamu bisa memakaikannya untukku?” pinta Maharani sambil membelai dadanya Dava yang bidang. Dava semakin muak dengan sikap Maharani yang semakin terlihat seperti wanita rendahan. Sampai matipun dirinya tak akan mau menikah dengan wanita yang saat ini bahkan sudah menurunkan salah satu lengan gaun yang dipakainya. “Apa AC-nya mati ya? kok disini panas banget sih.” Maharani bahkan semakin menurunkan lengan gaunnya sampai kedua mata Dava bisa melihat apa yang ingin Maharani perlihatkan kepada Dava. Dava hanya diam sambil memakaikan sabuk pengaman di tubuh Maharani. Bahkan pemandangan yang ada di depan kedua matanya sama sekali tak menarik perhatiannya. Tapi justru membuatnya semakin jijik. Maharani terlihat kesal, karena Dava sama sekali tak termakan oleh umpannya. “Sialan! Apa kedua matanya itu buta! Atau dia mulai menopause! Padahal gue sudah buang jauh-jauh harga diri gue, tapi dia sama sekali tak melirik ke arah gue!” umpat Maharani dalam hati dengan kedua tangan mengepal erat. “Sebaiknya kamu naikan lengan pakaian kamu itu. Udara malam tak baik buat tubuh kamu. Kecuali kamu mau masuk angin setelah ini.” Suhu di dalam mobil itu bahkan terasa sangat dingin. Dava menaikan suhu AC mobil itu. Dengan kesal Maharani kembali menaikan lengan gaunnya. Sungguh kali ini dirinya sudah dipermalukan oleh Dava. Dava menghentikan mobilnya di sebuah club malam. “Kita keluar,” ucapnya lalu membuka pintu dan melangkah keluar dari mobilnya. Maharani menghela nafas panjang. “Untuk apa Dava membawaku kesini? apa dia memintaku untuk menemaninya minum?” gumamnya dalam hati. Maharani membuka pintu mobil, lalu melangkah keluar dari mobil itu, dan berjalan mendekati Dava. “Kenapa kamu membawaku kesini?” “Nanti kamu juga akan tau.” Dava lalu melangkah menuju pintu masuk. Mau tak mau Maharani mengikuti langkah Dava, karena dirinya tak ingin berada di luar sendirian. Dava menemui teman-temannya. Tapi mereka bukan Jonathan, Tegar, maupun Rendy. Tapi teman-teman Dava yang lainnya. “Gue pikir lo gak akan datang,” ucap Mahesa saat melihat Dava masuk ke dalam ruangan dirinya berada bersama dengan Niko. Tapi di dalam ruangan itu ada dua orang wanita yang bertugas untuk menemani Mahesa dan Niko. Wanita yang bekerja di bar itu sebagai wanita malam. “Gue ke rumah dulu. Biasa, Nyokap gue bawakan wanita cantik buat temani gue malam ini.” Dava menarik tangan Maharani dan mendudukkan tubuhnya di pangkuannya. Maharani tak menyangka, Dava akan mempermalukannya di depan teman-temannya seperti ini. “Turunkan aku!” Maharani mencoba untuk turun dari pangkuan Dava. “Ini ujian buat kamu. Kalau kamu lulus, aku akan pertimbangkan keputusan aku.” “Sial!” umpat Maharani dalam hati. Dava menyunggingkan senyumannya, saat melihat Maharani yang tak lagi berontak. “Sekarang tuangkan wine itu ke gelas dan berikan padaku.” Maharani mengikuti kemauan Dava, ia lalu mengambil botol wine yang sudah terbuka, lalu menuangkannya ke dalam gelas kosong. Maharani lalu memberikan gelas yang berisi setengah wine itu kepada Dava. “Apa kamu berencana untuk minum-minum malam ini?” “Hem. Kenapa? apa kamu gak mau menemaniku?” Dava mengambil gelas dari tangan Maharani, lalu mulai meneguk wine itu sampai tandas. “Isi lagi,” pintanya sambil menyodorkan gelas kosong itu di depan Maharani. Maharani kembali menuangkan wine itu di gelas Dava yang kosong. Kini tatapannya menatap ke arah dua wanita yang saat ini menjadi santapan kedua sahabat Dava. Maharani merasa risih dengan pemandangan yang ada di depannya. Ia ingin segera pergi dari tempat itu. Ia akui, dirinya bukan orang suci. Tapi melihat semua yang dirinya lihat saat ini membuatnya ingin muntah. Maharani terkejut saat tangan Dava mulai membelai kaki jenjangnya. “Apa yang kamu lakukan!” Maharani menepis tangan Dava dengan kesal. “Apa kamu ingin mempermalukan aku!” geramnya lalu turun dari pangkuan Dava. Mahesa menatap Maharani. “Bukannya lo kesini buat temani Dava minum? Tapi melihat sikap lo tadi sepertinya lo itu....” “Aku tunangan Dava! jangan samakan aku dengan kedua wanita itu!” geram Maharani sambil mengepalkan kedua telapak tangannya. Dava menyunggingkan senyumannya. “Jangan bermimpi untuk menjadi tunangan gue. Lo bahkan tak pantas untuk jadi istri gue.” Mahesa, Niko, dan kedua wanita itu tertawa. “Kamu!” Dava mencengkram erat pergelangan tangan Maharani yang sudah bersiap untuk menamparnya. “Katakan sama mama kamu, aku gak akan menerima perjodohan bodoh ini!” Dava lalu menghempaskan tangan Maharani dengan kasar. “Pergi dari sini!” “Dav, lo serius minta dia pergi? lo gak kasihan sama dia. Lihat pakaian dia sekarang. Gue yakin, dia akan jadi santapan mantap untuk singa-singa lapar diluar sana,” ucap Mahesa sambil melihat penampilan Maharani saat ini. Dimana Maharani saat ini memakai pakaian dengan lengan pendek, serta panjang gaun diatas lutut dan memperlihatkan betapa indahnya kaki jenjangnya. “Dav, kalau lo gak mau sama ini cewek, gue mau kok menampungnya. Sini manis, sama Aak Niko,” goda Niko yang saat ini merangkul bahu wanita yang ada di sebelahnya. Mahesa dan Dava tertawa. “Kalau lo mau, lo ambil aja. Gue mah mau yang masih segelan ya, biarpun pergaulan gue seperti ini.” Dava lalu kembali menuang wine ke dalam gelasnya sampai penuh, lalu mengambil gelas itu dan meneguk wine itu sampai habis. Mendengar apa yang Mahesa katakan membuat nyali Maharani menciut. Dirinya tak ingin menjadi santapan bagi singa-singa kelaparan yang ada di luar. Dirinya tahu bagaimana ganasnya kehidupan di club malam. Dava tersenyum sinis, saat melihat Maharani kembali mendudukkan tubuhnya di sampingnya. “Kenapa? kamu gak berani keluar dari tempat ini?” Maharani hanya diam. Ia lalu mengambil botol wine dan menuangkannya ke dalam gelas kosong, lalu meneguk wine itu sampai habis. Dava hanya geleng kepala melihat tingkah Maharani. Tapi dirinya tak peduli, jika nanti Maharani sampai mabuk. Maharani tak menyangka, Dava akan benar-benar mabuk. Sekarang dirinya bahkan harus membawa Dava keluar dari club malam itu. “Sial! Kenapa sekarang gue yang harus susah sih! Bukan ini yang gue mau.” Maharani menatap kedua sahabat Dava yang bahkan sudah tak sadarkan diri. “Apa kalian akan membawa dia keluar dari sini?” Kedua wanita itu menggelengkan kepalanya. “Tugas kami hanya melayani mereka minum. Kalau mereka sampai tak sadarkan diri, itu bukan lagi tugas kami.” Kedua wanita itu lalu beranjak dari duduknya dan melangkah keluar dari ruangan itu meninggalkan Maharani yang saat ini membulatkan kedua matanya. “Bagus. Sekarang tinggal lo sendiri, Ran disini. Sekarang apa yang akan lo lakukan, hah!” Maharani menatap Dava yang masih menggumam tak jelas. “Lebih baik gue bawa dia keluar dari sini. Gue gak mau sampai Tante Santi berpikiran buruk tentang gue.” Maharani lalu mencoba untuk membantu Dava berdiri. “Sial! Berat banget sih lo! Kebanyakan dosa ya lo!” Maharani memapah tubuh Dava keluar dari ruangan itu sambil terus mengumpat. Dirinya bahkan harus membela kerumunan orang-orang yang tengah asyik berjoget menikmati musik yang melantun dengan sangat keras dan sangat memekakan telinga. Sementara ini Siska tengah dalam perjalanan untuk menemani teman-temannya. Dimana teman-temannya itu memintanya untuk datang ke club malam. Awalnya Siska menolak, tapi Dita memohon padanya untuk datang ke tempat yang bahkan belum pernah Siska masuki sekalipun. Siska menghentikan mobilnya di sebuah klub yang diberitahu oleh teman-temannya. “Astaga! apa aku sudah gila ya, kenapa aku mau saja disuruh datang kesini? kalau sampai Mama dan Papa tau, mereka pasti marah.” Siska membuka pintu mobilnya dan melangkah keluar dari mobilnya. Tapi, dahinya mengernyit saat melihat sosok yang sangat familiar. “Bukannya itu si Om yang aku tabrak waktu itu ya? Siapa wanita itu? waktu itu bukan wanita itu yang bersamanya. Tapi, sekarang dia sama wanita yang beda lagi.” “Lho... kenapa dia malah memaki-maki wanita itu!” Tanpa Siska sadari kakinya melangkah menghampiri Dava dan wanita itu. “Jangan harap gue akan mau sama lo!” seru Dava sambil mengarahkan jari telunjuknya ke wajah Maharani. “Lo itu gak pantas buat jadi istri gue!” Maharani mengepalkan kedua tangannya. “Lo sudah kelewatan tau gak!” geramnya. “Ada apa ini?” Siska kini berada di antara Maharani dan Dava. Dava yang masih bersandar di badan mobil dengan tubuh sempoyongan, mengalihkan tatapannya menatap ke arah Siska. “Lo kan si bocah ingusan.” Dava mengayunkan jari telunjuknya ke kanan dan ke kiri tepat di depan Siska. Maharani menatap Siska sambil mengernyitkan dahinya. “Lo kenal dia?” Siska belum sempat menjawab, Maharani sudah menyerahkan Dava yang setengah sadar itu kepadanya. “Sekarang dia jadi tanggung jawab lo! Gue pergi!” Maharani lalu melangkah pergi, meninggalkan Siska yang membulatkan kedua matanya. “Hai! Kamu mau kemana! Jangan tinggalkan Om ini disini dong!” teriak Siska keras tapi malah dibalas dengan lambaian tangan dari Maharani. “Sial! Tau gini aku gak akan ikut campur tadi. Sekarang apa yang harus aku lakukan!” umpat Siska dalam hati. Siska menatap Dava yang kini memejamkan kedua matanya sambil mengigau tak jelas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD