Chapter 2

1444 Words
Rachel menumpahkan isi ranselnya di atas tempat tidur. Keningnya berkerut samar. Benda yang dicarinya tidak ada di sana. Ia menghela napas berlebihan dan berjalan terseok-seok ke ruangan sebelah yang hanya dibatasi lemari tinggi. Sebuah ruangan kecil yang hanya berisi meja, kursi dan rak buku besar yang menutup sisi dinding lain yang berseberangan dengan jendela di atas meja. Rachel memutar bola matanya malas. Meja itu terlihat berantakan dengan kertas-kertas dan buku catatan yang berserakan juga sebuah headphone yang masih terhubung dengan ipod yang menggantung di sisi meja. Matanya beralih pada rak buku. Tapi ia tetap tidak menemukan benda yang dicarinya. Dengan langkah yang sama beratnya seperti sebelumnya ia memutar tubuh dan kembali ke tempat tidur. Tubuhnya terasa begitu rapuh dan seakan bisa runtuh kapan saja. Ia sangat lelah. Bahkan sampai lupa melepas sepatu. Dan dengan rasa lelah yang berlebihan itu ia harus memaksakan tangannya bergerak menyingkirkan laptop, dompet, sebuah novel baru, dua bungkus keripik kentang, sisir, lipbalm, kotak kacamata, sebotol parfum yang isinya tinggal setengah dan sebatang coklat almond dari atas tempat tidurnya. Sementara ia meletakkan semua benda itu di lantai. Ia berjanji akan membereskannya nanti. Mulutnya terbuka, entah sudah berapa kali ia menguap sejak.. sejak yang tidak ia ingat. Sudahlah, ia tidak punya waktu untuk mengingat itu. Oh ya, sepatunya juga belum dilepas. Matanya sudah terpejam dan ia merasa tidak mampu membukanya lagi. Sudahlah biarkan saja. Rasa lelahnya akan segera hilang setelah ia terlelap. Astaga! Dengan sekali hentakkan ia terduduk. Bukankah tadi ia sedang mencari ponselnya? Kenapa ia bisa lupa secepat itu? Ia merutuki ingatannya yang sangat buruk, ia bisa mati jika kehilangan benda itu! Astaga.. apa yang harus ia lakukan sekarang? Rachel melangkah bolak-balik di ruangan kecil itu. Rasa lelahnya terlupakan begitu saja. Tangannya terlipat di d**a, ia harus memaksa otaknya berpikir. Langkahnya terhenti ketika ia semakin memaksa otaknya sendiri berpikir keras, tanpa sadar sebelah kakinya bergerak gelisah mengetuk-ngetuk lantai. Astaga! Kenapa otaknya berubah tumpul begini? Tiba-tiba ia menjentikkan jari dan kakinya berhenti bergerak. Tadi pagi, sebelum Karin “menculiknya” ia sempat bertemu Seung-Hun di kafe. Lalu mereka sarapan bertiga bersama Karin dan saat itu mendadak Karin mengajaknya pergi karena tiket konsernya tertinggal di hotel. Ya, sekarang Rachel sudah ingat. Pasti ponselnya tertinggal karena Karin langsung menyeretnya bahkan sebelum ia sempat minum. “Baiklah,” gumamnya riang. Sekarang ia hanya tinggal menelepon Seung-Hun dan menyuruhnya untuk membawakan ponselnya ke sini. “Ya ampun!” Rachel menepuk keningnya sendiri. “Apa otakku sudah rusak? Bagaimana bisa aku menelepon Seung-Hun jika ponselku ada di sana. Astaga... kenapa jadi rumit begini?” Rachel terus menggerutu dan mengomel pada dirinya sendiri. Ah, hari yang menyebalkan dan melelahkan, pikirnya. Seketika tubuhnya kembali ambruk. Kali ini Rachel melepas sepatu, melemparkannya ke sudut ruangan acuh tak acuh dan meringkuk dalam selimut tebalnya. Satu hal lagi. Apa ia sudah mengunci pintu? *** Rachel merasa mencium aroma sesuatu yang asing. Matanya belum terbuka tetapi tubuhnya serasa terhipnotis dengan aroma lezat itu. Ia duduk terhuyung, ia belum sadar seratus persen. Namun aroma itu benar-benar menarik perhatian perutnya yang kosong. Perlahan kesadarannya mulai terkumpul hingga ia bisa membuka mata dan menatap pintu kamarnya yang setengah terbuka. Alisnya bertaut. Sebuah semangat muncul dalam dirinya. Ia bangun dan berjalan menuju dapur. “Seung...” Rachel tak menyelesaikan kalimatnya saat melihat Karin di sana. Tunggu. Karin? Kenapa ia berada di sini? Satu-satunya orang yang memiliki kunci cadangan apartemennya hanya Seung-Hun, jadi bagaimana bisa sepupunya itu berada di dapurnya dan.. apa yang sedang ia lakukan? Memasak? “Apa yang kau lakukan?” Rachel sendiri juga bingung kenapa justru itu yang ia tanyakan padahal sudah jelas ia tahu jawabannya. Karin yang sedang membelakangi Rachel segera menoleh. “Kau sudah bangun?” katanya dan kembali memusatkan perhatiannya pada panci. “Aku sedang memasak ramyeon instan,” lanjutnya dengan nada ceria seperti biasa. “Kenapa kau bisa masuk ke apartemenku?” Rachel baru menyadari suaranya terdengar serak. Karin mematikan kompor dan berbalik memandang Rachel bingung. “Kenapa bertanya kenapa? Pintu apartemenmu tidak terkunci.” Mata Rachel membelalak, ia terkejut sampai tidak jadi menguap. “Sungguh?” tanyanya lebih pada diri sendiri. “Kukira kau sengaja tidak mengunci pintu apartemen untukku,” gumam Karin masih sedikit bingung. Lalu ia mengangkat bahu dan meniriskan ramyeonnya, tidak terlalu ambil pusing dengan masalah itu. Sudah kuduga, pikirnya. Baru saja Rachel ingin melangkah ketika di saat yang sama suara Karin kembali terdengar. “Tadi kau memanggil Seung, Seung siapa? Apa kau mengira Seung itu yang datang?” Karin menatapnya penuh arti sambil tersenyum lebar. “Tidak, bukan siapa-siapa,” Rachel berlalu menyembunyikan kegugupannya. “Oh.. kukira yang kau maksud Lee Seung-Gi,” guraunya sebelum Rachel menghilang di balik pintu kamar mandi. “Ya kurasa kau benar,” sahutnya, menyempatkan diri untuk berbalik dan kembali memutar tubuhnya masuk ke kamar mandi dan mengunci pintu. “Karin, kau memasak ramyeon instan untukku juga, kan?” *** Rachel baru saja duduk di kursi makan ketika terdengar pintu apartemennya diketuk. Ia memandang Karin yang sibuk menikmati ramyeon dengan sebelah tangan mengusap-ngusap layar ponselnya yang tergeletak di meja. Kening Rachel berkerut samar. Karin memang tidak mendengar suara pintu diketuk atau memang tidak peduli? Suara ketukan itu terdengar lagi. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. Rachel terpaksa bangun dan berjalan keluar. “Siapa yang pagi-pagi datang? Mengganggu saja. Tidak bisakah aku menikmati sarapan dengan tenang setelah kemarin –seharian- tenagaku dikuras tanpa ampun,” Rachel terus menggerutu dengan wajah kesal. Tangannya meraih kenop pintu dan dengan sekali tarik pintu terbuka lebar. Alisnya terangkat begitu melihat sosok Han Seung-Hun berdiri membelakanginya. Rachel cepat-cepat menahan senyum dan berlagak kesal. “Apa yang kau lakukan?” Seung-Hun berbalik dan tersenyum ketika melihatnya. “Aku ingin mengantarkan ponselmu,” katanya sambil menunjukkan sebuah ponsel warna putih pada Rachel. Seketika Rachel tersenyum cerah. Ia melupakan rencananya untuk terlihat kesal di depan Seung-Hun karena sudah mengganggu waktu sarapannya. Saking senangnya Rachel langsung menerima ponselnya sampai lupa mengucapkan terima kasih. Mata Rachel berkilat-kilat cerah memandang layar ponselnya yang baru menyala. Setelah itu ia sibuk memeriksa isi ponselnya, seolah ingin memastikan tak ada sesuatu yang hilang dari sana. “Aku tidak dipersilakan masuk?” Suara Seung-Hun menyadarkannya. Ia mendongak memandang wajah Seung-Hun sekilas. “Tidak perlu,” gumamnya, tapi ia malah menyingkir dari pintu dan duduk bersila di samping meja. Rasa laparnya sudah terlupakan begitu saja. Seung-Hun ikut duduk di sebelah Rachel. Sebelah sikunya ditumpukan ke meja dan bertopang dagu memandangnya. Kemudian tangannya yang lain bergerak menyingkirkan ponsel Rachel dari hadapannya. “Hei, apa-apaan kau!” protes Rachel cepat, tapi ia tidak berhasil merebut ponselnya kembali. “Sejak kapan ponselmu jadi lebih penting dariku?” kata Seung-Hun berlagak kesal, tapi ia justru terlihat seperti seorang kekasih yang protektif. “Kembalikan ponselku,” kata Rachel dengan nada merengek. Sebelah alis Seung-Hun terangkat, “ambil saja kalau bisa,” nada bicaranya terdengar menantang. Rachel memandangnya dengan mata disipitkan. Tangannya bergerak cepat berusaha mengambil ponselnya. Seung-Hun juga tidak mau kalah. Tangannya bergerak cepat memindahkan ponsel dan menghindari cengkeraman Rachel. Seseorang berdeham. Serempak mereka menoleh ke arah yang sama. “Maaf Seung-Hun ssi, bolehkah aku meminjam Rachelmu sebentar?” Seung-Hun tersenyum dan mengangguk kecil. “Tentu saja.” Karin menarik tangan Rachel dan membawanya ke dapur. Mata Rachel menangkap bayangan sebuah mangkuk di meja. Ia baru ingat, ia belum sempat memakan ramyeonnya tadi. “Kenapa Seung-Hun datang? Kau akan pergi dengannya? Lalu rencana kita bagaimana?” “Rencana? Rencana apa?” “Hari ini kita akan keliling Seoul, kan?” “Apa?” mata Rachel melebar kaget. “Yang benar saja. Kemarin kita sudah menonton konser idolamu dan jalan-jalan kebanyak tempat. Bahkan rasa lelahku juga belum hilang, aku ingin istirahat hari ini.” Karin mendesah kecewa. Lalu kembali memandang Rachel dengan tatapan memohon. “Mengerikan,” desisnya. “Sudahlah aku ingin sarapan dulu.” Belum sempat Rachel menjauh selangkah dari Karin, gadis itu sudah menarik tangannya lebih dulu. “Lalu bagaimana dengan Seung-Hun? Dia menunggumu.” Rachel mendecak. Padahal ia sudah sangat kelaparan. Tiba-tiba sebuah ide muncul di otaknya yang belum mendapat asupan sejak semalam. “Bagaimana jika kau keliling Seoul dengan Seung-Hun saja?” Karin berpikir sejenak. Sedetik kemudian ia menjentikkan jari dan tersenyum lebar. “Ide bagus!” serunya. “Kita bisa keliling Seoul bertiga, semakin banyak teman semakin menyenangkan, bukan?” “Eh?” bukan itu yang Rachel maksud! Rachel membuka mulut untuk bicara tapi Karin sudah lebih dulu menarik tangannya dan membawa Rachel keluar. “Seung-Hun ssi,” kata Karin dengan nada ceria. “Kuharap kau tidak sibuk hari ini. Aku dan Rachel akan keliling Seoul. Pasti akan menyenangkan jika kau juga ikut bersama kami.” Rachel menghela napas pasrah. “Bicaralah dengan Seung-Hun aku akan sarapan sebelum jatuh pingsan,” tanpa menunggu jawaban Rachel langsung pergi ke dapur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD